MALIK BIN ANAS
Ch. 1: Aliyah bintu Syarik
"Sekarang, pergilah menuju Rabi'ah dan pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya. " Ungkap wanita itu usai mendandani anak lelakinya dengan baju yang indah, lengkap dengan sorban yang melilit di kepalanya.
Tidak hanya mendandaninya, wanita itu jugalah yang memilihkan guru untuk anak tersebut. Iya, Rabi'ah bin Abi Abdirrahman. Sosok ulama besar yang dipilihnya untuk mendidik sang putra.
Wanita itulah yang dengan tangannya --ba'dallah-- mengantarkan anak lelaki tersebut untuk menjadi orang besar di kemudian hari. Orang yang namanya terus dikenang, bahkan 12 setengah abad lebih setelah jasadnya terkubur tanah, namanya masih terus disebut dan dikenang.
Seperti kata orang, "Di balik pria sukses ada wanita hebat." Di balik suksesnya seorang Imam Malik, ada seorang ibu hebat bernama Aliyah bintu Syarik. Seorang ibu yang dengan tulus mendandani putra kecilnya, seorang ibu yang dengan hati-hati memilihkan guru untuk putranya.
Rabbanaghfirlanaa waliwaalidinaa warhamhum kamaa rabbawnaa shighaara
Sumber: Tartibul Madarik: 1/130
Ch 3. Kilas Balik: Dua Arah Mata Angin
Imam Malik hidup selama 87 tahun. Beliau tumbuh di dua dinasti yang memimpin. Antara Dinasti Umawiyyah dan Dinasti Abbasiyyah. Mendapati Dinasti Umawiyyah selama 40 tahun, kemudian Dinasti Abbasiyyah selama 47 tahun sisanya.
Penguasa Umawiyyah yang beliau dapati berjumlah 9 raja: Yang pertama adalah Al-Walid bin Abdul Malik, dimana Imam Malik dilahirkan pada masa kepemimpinannya, kemudian Sulaiman bin Abdul malik, lalu Umar bin Abdul Aziz. Saat Umar bin Abdul Aziz wafat, Imam Malik baru berusia 9 tahun. Lalu disusul penguasa berikutnya, Yazid bin Abdul Malik, hingga Hisyam bin Abdul Malik.
Kekuatan kerajaan, hingga masa kepemimpinan Hisyam sangatlah kokoh, dan disegani. Para penguasanya sangat teguh mengemban tugas kekhalifahan. Barulah setelahnya, mulai tampak kelonggaran pada pertahanan kerajaan.
Hal itu bisa ditengarai semenjak Al-Walid bin Yazid memimpin. Kepemimpinannya pun hanya bertahan selama satu tahun tiga bulan. Dirinya digulingkan oleh pasukan Yazid bin Al-Walid An-Naqish. Anggota keluarganya sendiri.
Selanjutnya, Yazid An-Naqish memimpin, pun hanya selama kurun waktu lima bulan. Di bulan terakhir, beliau wafat karena tha’un. Yazid An-naqish sendiri adalah penguasa yang disifati dengan wara’ dan kebaikan, sampai-sampai dikatakan bahwa di Bani Umayyah belum ada pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz maupun dirinya. Julukannya, An-Naqish beliau dapatkan karena beliau mengurangi ( نقص ) gaji para tentara setelah dahulu pernah dinaikkan oleh Al-Walid.
Selepas kepergiannya, kerajaan Bani Umayyah dipegang oleh saudaranya, Ibrahim bin Al-Walid. Sayang, tak jauh dengan penguasa sebelumnya, Ibrahim hanya memimpin dalam waktu yang sangat singkat. Tampuk kepemimpinan hanya dijalankannya selama 70 hari. Marwan bin Muhammad bin Marwan Al-Himar membelot dan mengambil kekuasaannya.
Marwan Al-Himar adalah seorang yang tangguh dan pemberani, dan dari sana juga julukannya muncul, karena dirinya tak pernah berhenti memerangi para pemberontak, selalu bersabar menghadapi pahit getirnya peperangan. Marwan Al-Himar juga menaklukan banyak negeri, seperti para pendahulunya. Sayang, suratan takdir telah tercatat, bahwa dirinya takkan mampu mempertahankan kekuasaan Bani Umayyah yang telah berada di panggung sejarah selama 91 tahun, kerajaan turun-temurun yang berusia hampir satu abad lamanya.
Sejarah pun mencatat, bahwa Marwan Al-Himar adalah penguasa terakhir Dinasti Umawiyyah.
Di saat itu, orang-orang Abbasiyyah telah berada di atas angin, mereka benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatu demi jatuhnya kerajaan Umawiyyah. Rencana penggulingan sebenarnya telah mereka gulirkan semenjak 30 tahun yang lalu, bahkan lebih lama lagi, namun, itu adalah rencana matang yang benar-benar dijaga kerahasiaannya. Dan saat mereka melihat celah akan goyahnya pertahanan kerajaan, mereka bergerak dalam satu komando, merangsek membunuh semua pihak yang menghalangi tujuan mereka. Target utama mereka adalah penguasa saat itu, Marwan Al-Himar. Dirinya wafat dalam tikaman Abbasiyah. Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Umawiyyah, kecuali di Andalusia.
Berdirilah sebuah haluan baru dalam sejarah Islam, Dinasti Abbasiyyah. Ada lima penguasa yang Imam Malik hidup pada masanya. Abul Abbas As-Saffah, Abu Ja’far Al-Manshur, Al-Mahdi, Al-Hadi, dan terakhir Harun Ar-Rasyid. Imam Malik wafat pada masa Ar-Rasyid, yang kekuasaannya berlangsung hingga tahun 193 H.
Bagai berada di dua arah mata angin kekuasaan, meski demikian, Malik bin Anas tetaplah Malik bin Anas. Pemuda yang giat mencari ilmu, yang akhirnya menjadi pemuka Kota Madinah. Namanya tak pernah tercatat sebagai raja, jangankan sebagai raja, bahkan hidupnya berada dalam kemiskinan. Hebatnya, namanya lebih harum dari para raja, seolah abadi, tak lekang oleh masa. Demikianlah ilmu menjaga pemiliknya, semasa hidup, maupun setelah kematiannya.
Biarlah dunia mereka perebutkan, asal akhirat jadi milik kita.
Ch. 3: Di Antara Bintang-Bintang
Tahun 93 hijriyah akan menjadi tahun yang begitu banyak merekam sejarah. terutama di sana, di kota yang penuh berkah, kota tempat jasad Nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam- dimakamkan. Kota yang semula bernama Yatsrib dan akhirnya diubah menjadi Madinah.
Pada tahun tersebut, seorang pembantu Nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam-, Anas bin Malik wafat. Namun, di tahun itu pula-lah, seorang tokoh lahir. Hadir ke muka bumi untuk kemudian menjelma menjadi seorang imam besar yang tiada duanya.
Beliaulah, Imam Daaril-Hijrah, Hujjatul-Ummah, Syaikhul-Islam, salah satu dari empat imam madzhab yang dijadikan panutan, Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits Dzi Ashbah bin Ghayman bin Khutsail bin Amr Al-Madani.
Terlahir dari sebuah keluarga yang memang cinta terhadap ilmu. Ayahnya, Anas adalah seorang ahli ilmu dan hadis. Paman-pamannya pun adalah tokoh ahli ilmu. Sebut saja Nafi' Abu Suhail, Uwais, Ar-Rabi', dan An-Nadhr, mereka semua putra Malik. Bahkan, tak hanya sampai di situ, karena kakeknya merupakan sosok kibar tabi'in yang hidup hingga masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz dan kerap dimintai pendapatnya oleh Umar.
Dalam lingkungan yang demikian gemerlaplah, Malik terlahir. Terlahir menjadi seorang buah hati yang begitu dijaga, dirawat, dan diberikan sepenuh kasih sayang. Terutama dalam masalah ilmu.
"Suatu hari," kenang beliau "aku dan kakakku pernah ditanya oleh ayah tentang sebuah permasalahan. Kakakku berhasil menjawabnya dengan tepat, Berbeda dengan diriku yang menjawabnya dengan keliru. Ayah lalu mengatakan: 'Sungguh, burung merpati itu telah melalaikanmu dari belajar!'
Mendengarnya, aku pun terpacu, kemudian aku segera belajar kepada Ibnu Hurmuz selama tujuh tahun."
"Ayah, Malik tidak mau berbaur dengan orang lain." Adu saudarinya demi melihat Malik yang mengikuti bayangan pohon untuk berteduh.
"Wahai anakku, biarlah! sesungguhnya dia sedang menghafal hadis-hadis Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-. Jawab ayahnya singkat. beliau mengerti betapa besar tekad putranya.
Ch. 4: Malik dan Nyanyian Masa Kecil
Bait demi bait bersambung, seperti bersambungnya malam dan siang. Larik lalu larik saling menarik, seperti rembulan yang beringsut, tergeser matahari. Bersama hari-hari yang terus berlari, Malik kian tumbuh besar. Tumbuh mencintai rangkaian kata indah para penyair. Mengikuti mereka kemanapun perginya.
Baiklah, biarkan Malik sendiri yang mengenangnya.
"Aku tumbuh menjadi seorang anak belia yang selalu mengikuti para penyanyi kemanapun mereka pergi, mendengarkan dendangan mereka, mengambil dan menukil sajak-sajak indah mereka.
Hingga akhirnya, ibunda berkata: 'Wahai Malik Putraku, sesungguhnya seorang penyanyi bila wajahnya buruk, lagu-lagunya takkan pernah mendapat perhatian orang lain. Demikianlah dirimu. Maka tinggalkanlah nyanyian-nyanyian itu! Mulai sekarang, belajarlah ilmu fikih. Karena sesungguhnya, bersama dengan fikih, wajah yang buruk takkan berpengaruh.' Mulai hari itu, aku mulai mengikuti majelisnya Rabi'ah. Aku meninggalkan nyanyian dan terus membersamai para ahli fikih. Sampai akhirnya, Allah menyampaikanku pada derajatku hari ini."
Sang ibu tak ingin kelak Malik hanya hidup dalam alunan, ibunda ingin agar Malik jauh lebih baik dari itu. Jauh lebih baik dari sosok yang diidolakannya saat ini.
Bertahun-tahun kemudian...
Seorang pemuda, Husain bin Dahman Al-Asyqar namanya. Sembari berjalan menyusuri tanah berpasir Kota Madinah, sebait syair didendangkannya.
ما بال أهلك يا رباب
خزرا كأنهم غضاب
'Ada apa dengan keluaragmu wahai Rabab,
Mereka semua memicingkan mata, seolah-olah mereka dipenuhi amarah?'
Tiba-tiba, sebuah pintu kecil terbuka. Darinya keluar seorang kakek tua berjambang merah, terlihat begitu berwibawa. "Hei Fasik," seru sang kakek, "Engkau telah mengganggu penduduk yang beristirahat, pun engkau sudah menyerukan perbuatan keji." Tak berselang lama, sang kakek mendengdangkan syair yang sama, akan tetapi dengan suara yang lebih indah.
"Dari mana engkau mempelajari ini sebelumnya?" Tanya Husain.
...
Sang kakek menyebutkan kisahnya. Iya, kakek itu dulunya adalah anak pengekor para penyair yang kini adalah alimnya Kota Nabi.
***
Kisah di atas dinukilkan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsirnya, Al-Jami' Liahkamil Qur'an (16/462). Namun, dengan konteks yang lebih lengkap, disebutkan oleh Abul Faraj Al-Ashfahani di dalam kitabnnya, Al-Aghani (4/159).
Abul Faraj menyebutkan kisah ini melalui riwayat Muhammad bin Amr Al-'Attabi, dari Muhammad bin Khalaf, dari Ishaq bin Muhammad bin Aban Al-Kufi, dari Husain bin Dahman.
Sayang sekali, cerita di atas perlu dipertanyakan kesahihannya.
Pertama: Periwayat bernama Ishaq bin Muhammad bin Aban Al-Kufi adalah seorang pendusta.
Kata Adz-Dzahabi dalam Tarikh Islam: 6/514-515: "Ishaq bin Muhammad bin Aban An-Nakha'i Abu Ya'qub Al-Kufi... Dirinya termasuk salah satu pentolan Rafidhah. Dimana dirinya adalah tokoh yang disematkan padanya kelompok Al-Ishaqiyyah yang mengatakan: 'Ali adalah Allah.' Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan."
Demikian pula Ibnu Hajar ( Lisanul Mizan: 2/71-75 ) mengatakan hal serupa. Ungkap beliau:
"Ishaq bin Muhammad An-Nakha'i Al-Ahmar, seorang pendusta besar, seorang yang benar-benar ghuluw."
Ibnu Hajar juga mengatakan: "Ishaq bin Muhammad ini, nama kakeknya adalah Ahmad bin Abban. Dan dialah yang Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban meriwayatkan darinya, dari Husain bin Dahman Al-Asyqar..."kemudian Ibnu Hajar menyebutkan riwayat di atas.
Di akhir penjelasan, Ibnu Hajar mengatakan: "Padanya ada kisah Imam Malik bersamanya. Dan cerita yang dinukilkan dari Imam Malik, bahwa dahulu beliau ahli dalam nyanyian adalah sebuah hikayat yang -menurut saya- adalah kisah yang dibuat-buat.
Cerita ini diriwayatkan oleh penulis kitab Al-Aghani dari Ibnul-Marzuban. Jangan tertipu dengan cerita ini, karena termasuk riwayat sang pendusta ini."
Kedua: Dalam kisah, disebutkan bahwa wajah Imam Malik tidaklah tampan. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terkenal dari Imam Malik bahwa beliau adalah seorang berwajah tampan.
Kata Adz-Dzahabi ( Siyar A'lamin Nubala: 8/49 ): "Beliau tumbuh dalam pengawasan yang baik, pakaian yang diperhatikan, dan ketampanan yang memukau."
Wallahu a'lam.
Ch 5: Ibnu Hurmuz: Matahari Nan Tersembunyi
Suatu hari, ayah Malik memberikan pertanyaan kepada kedua putranya, Malik dan sang kakak. Menguji keilmuan dua anak laki-lakinya. Ternyata, soal itu mampu dijawab dengan mudah oleh saudara Malik. Malik memang sudah berusaha menjawab, akan tetapi gagal.
Mengerti keadaan putranya, sang ayah mengatakan kepada Malik: "Burung merpati sudah membuatmu lalai dari belajar."
Marah, Malik pun pergi. Mencari seorang guru yang kiranya bisa membantunya mengangkat batu kebodohan yang mencengkeram punggungnya.
Tepat, Malik akhirnya memilih Ibnu Hurmuz untuk menjadi pembimbingnya.
Selama tujuh tahun, Malik hanya belajar kepada Ibnu Hurmuz. Tanpa guru yang lain. Benar-benar terfokus padanya.
Malik juga cerdas. Tak ingin fokusnya buyar, ia seringkali membawa beberapa butir kurma di lengan bajunya. Sesampainya di rumah sang guru, Malik akan memberikan kurma-kurma itu kepada anak-anak Ibnu Hurmuz. Sembari menyerahkan butiran-butiran kurma di tangan mungil mereka, Malik berpesan:
"Kalau ada orang yang bertanya 'di mana Syaikh?' jawab saja 'beliau sedang sibuk.'"
Setiap hari, Malik selalu datang ke rumah Ibnu Hurmuz. Hingga suatu saat, Malik menunggu Ibnu Hurmuz di depan rumahnya.
Setelah satu dua ketukan, budak wanita Ibnu Hurmuz mengecek. Benar saja, hanya ada Malik di depan pintu.
"Siapa di sana?" Tanya Ibnu Hurmuz.
"Aku tidak melihat siapapun kecuali anak berambut pirang yang biasa kemari." Jawab budaknya.
"Biarkan dia masuk," sahut Ibnu Hurmuz, "kelak dia akan menjadi seorang alim." Sebuah firasat yang akhirnya terbukti benar. Maha suci Allah.
Setiap kali datang, Malik selalu membawa potongan kecil kain, digunakannya potongan kain tersebut sebagai alas, menghindari dinginnya lantai masjid tempat majelis Ibnu Hurmuz.
Satu dua ilmu diambil dari lisan Ibnu Hurmuz. Malik baru pulang saat malam hari.
Terus hal itu dilakukannya selama tujuh tahun.
Melihat potensi Malik kecil yang amat besar, Ibnu Hurmuz pernah berpesan: "Jika suatu hari nanti engkau dipanggil oleh khalifah untuk bermusyawarah, jadilah orang yang paling banyak diam. Bilapun engkau ingin mengutarakan pendapat, jadilah orang yang paling terakhir berbicara." Nasehat luar biasa, dan Malik begitu memegang kata-kata gurunya.
***
Ibnu Hurmuz
Faqihnya Kota Madinah, ahli ibadah nan zuhud, beliaulah Abu Bakar Abdullah bin Yazid bin Hurmuz Al-Asham Maula Bani Laits. Salah seorang tabiin yang menjadi guru pertama Imam Malik. Lebih dikenal dengan nisbat pada kakeknya, Ibnu Hurmuz.
Ayahnya adalah seorang alim besar, periwayat hadis dari beberapa tokoh tabi'in, bahkan sahabat. Tercatat beberapa nama seperti Aban bin Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, bahkan Abu Hurairah adalah deretan nama yang ada dalam sanad beliau.
Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dzubab, Sa'id Al-Maqburi, Amr bin Dinar, dan Qais bin Sa'ad Al-Makki adalah deretan periwayat yang meriwayatkan dari beliau.
Apapun tentang sang putra, Imam Malik pernah mengatakan: "Tak ada satu tokoh pun di Madinah, melainkan apabila berhadapan dengan suatu permasalahan yang sulit pasti akan menjadikannya sebagai rujukan."
Di lain kesempatan, Imam Malik pernah bercerita: "Aku adalah orang yang suka mengikutinya. Beliau adalah orang yang sedikit fatwanya, begitu kuat sifat wara'nya. Seringkali setelah beliau memberi fatwa, beliau akan mengutus orang lain untuk mencegah fatwanya tersebar. Ibnu Hurmuz juga termasuk sosok yang pandai bicara. Kepandaiannya ini digunakan untuk membantah ahlul ahwa, dan memang beliau adalah orang yang paling ahli dalam hal tersebut.
Pernah suatu ketika beliau menjelaskan suatu permasalahan kepada Ibnu Ajlan, dan ketika Ibnu Ajlan memahami penjelasannya yang luar biasa, ia berdiri dan mencium kepala beliau."
Beliau memang bukan orang yang kuat hafalannya dalam bidang hadis. Namun dalam ilmu fikih, pemahaman beliau begitu luas. Sampai-sampai bisa mencetak satu dari empat imam madzhab yang diikuti.
Meski demikian, keluasan ilmu dan kecerdasan yang melekat pada diri Ibnu Hurmuz tidak serta-merta menjadikannya seorang yang angkuh lagi sombong. Sebaliknya, Ibnu Hurmuz adalah tokoh besar yang begitu dalam tawadhu'nya. Bahkan, karena sedemikian tawadhu'nya, beliau pernah bersumpah pada Imam Malik, sang anak didik agar tak sedikitpun menyebut namanya dalam hadis.
Begitu takut akan ketenaran, sampai-sampai nama dan biografinya begitu jarang ditemukan.
Ibarat matahari yang bersembunyi di balik gumpalan awan. Iya, bagaimanapun ia bersembunyi, setebal apapun awan menutupi, sinarnya pasti dinanti oleh penduduk bumi, kemilaunya pasti terlihat, meski mendung menyelimuti.
Ibnu Hurmuz wafat pada tahun 148 H. Rahimahullah.
Sekian.
Sumber:
- Al jarh wat Tadil: 5/199
- Siyar Alami Nubala: 6/379
- Tahdzibul Kamal: 32/270
- Tartibul Madarik: 1/130
Ch. 6: Rabi'ah Ar-Ra'yi
Dahulu, di masa Bani Umayyah...
Farrukh, begitulah pria itu dikenal. Panggilan jihad dari tanah Khurasan terasa begitu dekat di hatinya. Seolah berbisik, jangan sampai tertinggal. Ia memantapkan hatinya, membesarkan asanya.
Di sisi lain, berat juga baginya untuk beranjak. Sang istri sedang mengandung putranya.
Namun, kedua pasangan itu begitu tegar. Farrukh membulatkan tekadnya menyongsong matahari jihad. Tak lupa, ia menitipkan 30.000 dinar untuk sang istri. Untuk kebutuhan sang istri dan si buah hati bila bila sewaktu-waktu ia melihat dunia sedang ayahnya masih berada di tengah debu deru debu jihad fi sabilillah.
Rembulan susul menyusul dengan matahari. Malam berganti siang. 27 tahun berlalu sudah, dan kini Farrukh bisa pulang.
Dengan berkendara seekor kuda tunggangan dan sebilah tombak di tangan, Farrukh menuju rumah tuanya. Sampai di tempat dahulu ia meninggalkan istrinya, Farrukh mengetuk pintu.
Betapa terkejutnya Farrukh, seorang pemuda keluar dari rumahnya. Iya, rumah Farrukh dan istrinya dahulu.
"Wahai musuh Allah," teriak si pemuda, "apakah engkau menyambangi rumahku?!"
"Tidak!" Jawab Farrukh, "Wahai musuh Allah, justru engkau yang lancang mengunjungi keluargaku!"
Setelah beradu mulut, keduanya pun terlibat gulat yang sengit. Saling menyerang satu sama lain. Di sisi lain, para tetangga yang mendengar keributan mulai berdatangan. Mencoba melerai keduanya.
"Demi Allah, aku takkan melepaskanmu kecuali di hadapan sultan." Seru Rabi'ah.
"Bagaimana bisa!" sanggah Farrukh, "Sedangkan engkau bersama istriku, akulah Farrukh Maula Bani Fulan."
Sang istri, dari dalam rumah mendengar sayup-sayup keributan yang terjadi di luar. Segera ia menuju sumber suara. Benar sudah dugaannya…
"Ini adalah suamiku." Katanya di hadapan semua yang hadir memadati halamannya. Halaman rumah tempat di mana 27 tahun lalu mereka berdua berpisah. "Dan ini adalah putra yang dahulu engkau pergi sebelum sempat melihatnya. Putra yang dahulu masih dalam kandunganku."
Benar, keduanya adalah Rabi'ah dan Farrukh, ayah dan anak yang lama terpisah.
Keduanya pun berpelukan, menitikan air mata, air mata bahagia, air mata penuh kerinduan.
Farrukh akhirnya masuk ke rumah, "Ini putraku?" tanyanya meyakinkan dirinya sendiri. "Iya." Jawab sang istri singkat.
“Uang yang dulu aku berikan, masih adakah sisanya. Ini aku bawakan lagi 4000 dinar!?"
"Uangnya aku kuburkan. Akan kukeluarkan beberapa hari lagi."
Masuklah waktu salat, Rabi'ah lalu menuju masjid. Setelahnya, ia duduk dalam halaqah ilmu. Masyarakat Madinah berbondong-bondong memadati halaqahnya. Celah demi celah. Satu baris menjadi baris-baris berikutnya baris. Hingga akhirnya majelisnya penuh sesak dengan hadirin.
Dari rumah, istri Farrukh berkata pada suaminya sang veteran perang: "Pergilah, salatlah di masjid Rasul -shallallahu alaihi wasallam-."
Sang suami pun keluar untuk mengerjakan salat. Selepas salam, ia melihat sebuah halaqah yang begitu ramai sesak. Farrukh datang dan duduk. Halaqah yang tak lain adalah halaqah putranya, Rabi'ah.
Mengetahui bahwa yang datang adalah ayah dari sang guru besar, orang-orang memberikan celah untuk Farrukh. Rabi'ah sadar dan menundukkan kepalanya. Bertingkah seolah-olah tak melihat ayahnya.
Abu Abdirrahman Farrukh pun ragu. Siapakah yang sejatinya memimpin halaqah tersebut.
"Siapa orang ini?" Tanya Farrukh tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Beliau adalah Rabi'ah bin Abi Abdirrahman."
Terhenyak, Farrukh hanya bergumam: "Sungguh, Allah telah mengangkat derajat putraku."
Pulang ke rumah, Farrukh berkata pada istrinya: "Aku telah melihat putramu pada derajat yang begitu luar biasa, derajat yang belum pernah aku lihat ada seorang ulama maupun fuqaha berada padanya."
"Sekarang, manakah yang lebih engkau sukai," jawab sang istri, "30.000 dinar, atau derajat ini?"
"Tidak, demi Allah, ini lebih aku sukai."
"Maka," pungkas sang istri, "seluruh harta yang dulu, sudah aku gunakan semua untuk biaya belajar Rabiah."
Mendengarnya, Farrukh begitu bangga. "Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakannya."Ibnu Abdirrahman Farrukh, Al Imam, Mufti Madinah, Alim pada masanya, Abu Utsman Al-Qurasyi At-Taimi Maulahum. Lebih dikenal sebagai Rabi'ah Ar-Ra'yi. Termasuk Maula Keluarga Al-Munkadir.
***
Beliau meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, As-Saib bn Yazid, Said bin Al-Musayyib, Al-Harits bin Bilal bin Al-Harits, Atha bin Yasar, Al-Qasim bin Muhammad, Sulaiman bin Yasar, Salim bin Abdillah, dan sejumlah guru-guru yang lain.
Adapun murid-muridnya, juga adalah nama-nama besar, sebut saja Yahya bin Sa'id Al-Anshari, Sulaiman At-Taimi, Al-Auzai, Syu'bah, Sufyan Ats-Tsauri, Hammad bin Salamah, Al-Laits bin Sa'ad, Mis'ar, ibnul Mubarak, Sufyan bin Uyainah, dan tentu saja, Malik bin Anas, serta tokoh-tokoh yang lain.
Julukannya, Ar-Ra'yi, beliau dapatkan karena memang beliau lebih cenderung kepada Ra'yu dalam bab fikih. kata Rabiah sendiri: "Aku melihat, ar-ra'yu lebih mudah bagiku daripada mencari hadis."
Kata Yahya bin Said: "Saya belum pernah melihat seorang yang lebih tajam pemikirannya dari Rabi'ah bin Abi Abdirrahman."
Namun, dengan pendapatnya, beliau bukan justeru berbangga. Beliau justeru merendah hati di hadapan Ibnu Syihab. Kepadanya, Rabi'ah mengatakan: "Sesungguhnya keadaanku tak sama dengan keadaanmu."
"Maksud anda?" Tanya Ibnu Syihab.
"Aku berfikih dengan ra'yu, siapa yang mau, bisa mengambilnya, dan siapa yang tidak berkenan, bisa meninggalkannya. sedangkan engkau, menyampaikan hadis dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- (siapapun harus tunduk dan menerimanya)."
Mush'ab Az-Zubairi mengatakan: "Dahulu beliau dijuluki Rabi'ah Ar-Ra'yi. Beliaulah pemegang fatwa di Madinah. Wajah-wajah masyarakat senantiasa tertuju padanya."
Demikianlah ilmu mengangkat pemiliknya.
Salah seorang guru Rabi’ah adalah Al-Qasim bin Muhammad. Beliau adalah orang yang begitu dalam ucapannya. Apa yang disampaikannya selalu mengandung pemahaman yang begitu luar biasa. Namun, Apabila Al-Qasim ditanya tentang suatu permasalahan, beliau akan menilik, adakkah pembahasan tersebut di dalam Al-Qur'an atau hadis, bila ada di salah satu atau keduanya, Al-Qasim akan menjawab persoalan tersebut. Bila ternyata tidak beliau dapatkan, beliau akan berkata: "Tanyakan hal ini kepada Rabi'ah atau Salim!
Selain memiliki keilmuan yang begitu tinggi, Rabi'ah juga adalah seorang yang zuhud.
Pada tahun 132 H. Daulah Umawiyyah runtuh, digantikan dengan Daulah baru dalam sejarah Islam, dengan pemimpinnya, Abul Abbas As-Saffah. Rabi'ah dipanggil menemui Amirul Mukminin. Beliau mendatangkan tokoh Madinah tersebut untuk memberinya jabatan Qadhi. Namun kezuhudannya membuat Rabi'ah menolak jabatan tersebut.
Sebagai hadiah, Amirul Mukminin berniat memberi beliau hadiah seorang budak wanita. Beliapun menolaknya. Amirul Mukminin lalu berinisiatif memberikan beliau uang sejumlah 500 dirham, untuk membeli budak mana saja yang diinginkannya. Tegas, Rabiah tetap menolaknya.
Dan di perjalanannya inilah, Rabi'ah berhenti di kota Anbar. Kota yang akhirnya menjadi tempat terakhir Rabiah, kota sang alim Madinah menghembuskan nafas terakhirnya.
Di Anbar, tepatnya pada tahun 136 H. Rabi'ah wafat. semoga Allah merahmatinya.
Imam Malik pernah meratap: "Hilang sudah, manis rasa fikih, semenjak perginya Rabiah bin Abi Abdirrahman."
Sumber:
- Siyar A'lamin Nubala': 6/89-96
- Shifatush Shafwah: 348-350
Ch. 7: Az-Zuhri
Seorang alim besar, baru saja tiba di Madinah. Tak ingin rugi, Malik bersama Rabi'ah, Sang Guru segera mendatanginya. Setetes dua tetes ilmu berhasil mereka reguk. 40 hadis mereka dapatkan. Setelah dirasa cukup, mereka lalu pulang.
Keesokan harinya di majelis yang sama...
"Adakah di antara kalian yang hafal hadis yang kusampaikan kemarin?" Tanya Sang Alim membuka majelis. Hari ini, Malik dan Rabi'ah kembali menghadiri majelis Sang Alim, setelah kemarin keduanya memperoleh 40 hadis.
"Di sini!" Seru Rabi'ah penuh semangat. "Di sini ada yang mampu menyetorkan seluruh hadis yang kemarin anda sampaikan." Sambungnya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Siapa?" Tanya Sang Alim.
"Dia lah putra Abu Amir. " Jawab Rabi'ah mengisyaratkan pada anak emasnya, Malik. Bukan karena Rabi'ah tak mampu menyetorkan hadis-hadis itu, akan tetapi ia ingin membanggakan anak murid kesayangannya di hadapan seluruh hadirin.
"Kalau begitu, silahkan." Jawab Sang Alim kemuSang Alimdian.
"Aku belum pernah mendapati satu orang pun yang mampu menghafal hadis-hadis ini kecuali diriku." Ucap Sang Alim takjub usai mendengar Malik menyetorkan 40 hadis dengan baik dan lancar. Padahal, Malik baru mendengarnya sekali, baru mendengarnya tempo hari dari beliau.
***
Sang Alim
Muhammad Namanya, Muslim ayahnya, sedang kakeknya bernama Ubaidullah. Namun, ia lebih dikenal dengan nisbat kepada kakeknya yang ke-tiga, syihab. Ibnu Syihab Az-Zuhri, begitulah beliau dikenal. Bila diruntut ke atas, nasabnya bersambung hingga ke Zuhrah bin Kilab. Kilab sendiri adalah kakek ke-6 Nabi Muhammad -Shallallahu 'alaihi wasallam-. dengan nisbat kepada kakeknya yang ke-tiga, syihab. Ibnu Syihab Az-Zuhri, begitulah beliau dikenal. Bila diruntut ke atas, nasabnya bersambung hingga ke Zuhrah bin Kilab. Kilab sendiri adalah kakek ke-6 Nabi Muhammad -Shallallahu 'alaihi wasallam-.
Beliau dilahirkan pada tahun 51 Hijriah dengan latar belakang keluarga yang tak berharta. Walau demikian, semangat dan tekadnya begitu menyala dan membara.
Sedari kecil, Ibnu Syihab mempelajari nasab ( silsilah ) kaumnya dari seorang guru nasab ternama, Abdullah bin Tsa'labah bin Shu'air. Seorang yang juga memiliki ikatan persekutuan dengan kabilahnya Ibnu Syihab.
Suatu ketika, Sang Guru, Abdullah bin Tsa'labah didatangi oleh seseorang. Ia bertanya tentang permasalahan thalaq ( cerai ). Sayangnya, Abdullah bin Tsa'labah kurang memahami masalah fikih yang ditanyakan. Ia justeru menghimbau si penanya agar bertolak menuju Sa'id bin Al-Musayyab.
Akhirnya, si penanya pun berangkat menuju Sa'id bin Al-Musayyab. Namun ia tak sendirian. Karena bersamanya ada Az-Zuhri yang juga ingin belajar sari Sa'id.
Sejak saat itu, Az-Zuhri senantiasa belajar kepada Sa'id dan meninggalkan guru sebelumnya, Abdullah bin Tsa'labah.
Selain pada Sa'id bin Al-Musayyab, Az-Zuhri juga belajar pada Urwah, Ubaidullah, dan Abdurrahman bin Abi Bakar hingga dirinya menjadi begitu pandai.
Belum merasa puas, Az-Zuhri kemudian melanjutkan belajarnya ke Negeri Syam. Tentang hal itu ia bercerita:
"Aku kemudian melanjutkan belajarku dengan pergi ke Negeri Syam. Sampailah aku ke Damaskus. Aku masuk ke Masjid Damaskus pada waktu sahur. Begitu masuk, aku melihat sebuah halaqah yang besar dan dihadiri banyak jamaah. Kerena tertarik, aku duduk di dalamnya.
Tak lama berselang, orang-orang menanyakan nasabku. Maka aku beritahu mereka bahwa aku termasuk bangsa Quraisy.
Mendengarnya, mereka langsung melontarkan pertanyaan: "Apakah engkau mengerti tentang hukum yang berkaitan dengan budak yang melahirkan anak tuannya? "
Aku sampaikanlah perkataan Umar bin Khattab ( yang menjelaskan tentang itu ) kepada mereka.
Mereka begitu terkesima mendengar penjelasanku.
'Ini adalah majelisnya Qabishah bin Dzuaib dan beliau memiliki kekerabatan dengannu dari jalur ibu,' kata mereka, 'beliau pernah ditanya oleh Amirul Mukminin tentang permasalahan ini namun beliau justeru menanyakannya pada kami. Sayangnya, tak ada seorang pun di antara kami yang mengetahuinya.' Tukas mereka menjelaskan.
Tak lama kemudian Qabishah datang. Orang-orang yang hadir memberitahu beliau perihal diriku. Beliau kemudian bertanya tentang nasabku dan kujawab. Beliau juga bertanya kepadaku tentang guruku, Sa'id bin Al-Musayyab. Kuceritakanlah kabar terakhir Sa'id.
'Aku akan mengajakmu untuk bertemu Amirul Mukminin.' Kata Qabishah usai berbincang denganku.
Beliau lalu mengerjakan Salat Shubuh. Setelah itu pergi. Aku mengikutinya hingga hingga beliau akhirnya sampai dan menemui Abdul Malik bin Marwan yang sedang menjabat sebagai khalifah saat itu.
Apalah daya diriku yang bukan siapa-siapa. Hanya bisa duduk sembari menanti di depan pintu."
Matahari naik. Cahayanya mulai menghiasi cakrawala. Bersamaan dengan suara yang memanggil dan meminta Az-Zuhri untuk masuk.
"'Di mana orang Quraisy itu?' kata salah satu pelayan.
'Akulah orangnya.'
Bersamanya, akhirnya aku menghadap Amirul Mukminin. Kulihat di hadapannya ada mushaf yang sudah ia tutup. Melihat kedatanganku, beliau memberikan perintah agar mushafnya diambil.
Ruangan itu sepi. Hanya ada Amirul Mukminin dan Qabishah yang duduk di dekatnya.
'Sebutkan tentang dirimu!' kata Amirul Mukminin setelah kuucapkan salam padanya.
'Muhammad bin Muslim...' ( dan seterusnya sampai kepada Zuhrah ) jawabku.
'Apa yang engkau ketahui tentang seorang budak wanita yang melahirkan anak tuannya?' tanyanya kembali.
Maka, kusampaikanlah pada beliau hadis yang disebutkan dari Umar bin Khattab tentang budak wanita yang melahirkan anak tuannya.
...
Singkat cerita, setelah hari itu, Az-Zuhri sangat dimuliakan oleh Amirul Mukminin. Beliau menjadi kepercayaan khalifah. Menjadi rujukan dan tempat bertanya kaum muslimin. Beliau juga mendapatkan gaji dari pemerintah. Bahkan menjadi pengajar untuk Hisyam bin Abdul Malik, sang putra mahkota, dan berhaji bersamanya.
***
Itulah ilmu. Akan mengangkat dan meninggikan derajat siapa saja yang rela berkorban demi mendapatkannya.
Dari yang semula bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dengan ilmu beliau menjadi orang kepercayaan Khalifah.
***
Az-Zuhri, seorang tabi'in yang mulia. Perawakannya tidak tinggi bahkan cenderung pendek. Jenggotnya sedikit, dengan sedikit dihiasi warna merah seperti rambut di kepalanya.
Soal kecerdasan, tak perlu diragukan lagi. Andai di masa itu ada alat pengukur kecerdasan, skor kecerdasannya pasti akan menembus angka yang fantastis. Bagaimana tidak?! Beliau berhasil menghafal 30 Juz Al-Quran hanya dalam jangka waktu 80 malam. Iya, 80 Malam. 2 bulan lebih 20 hari. Kecerdasan yang terbukti dengan tercatatanya beliau sebagai orang pertama yang mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-. Luar biasa!
***
Imam Malik pernah bertutur tentang kenangan indah dirinya bersama Az-Zuhri. Kata beliau:
"Aku pernah berhari raya di suatu tahun. Usai salat ied, aku berpikir bahwa Az-Zuhri hari ini pasti senggang. Hari ini pasti tak ada sesiapa yang terpikirkan untuk belajar padanya. Dengan begitu, aku bisa leluasa meraup ilmu sebanyak-banyaknya.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi, aku akhirnya langsung bergegas menuju rumahnya. Tanpa pulang ke rumahku walau sesaat.
Setibanya di sana, aku langsung duduk di depan pintu sembari menanti.
'Coba kau lihat siapa yang ada di depan pintu?' terdengar ucapan beliau yang memerintahkan budaknya.
'Maula anda ( Maula adalah istilah untuk budak yang dimerdekakan oleh tuannya. Imam Malik sebenarnya bukan maula dari Az-Zuhri. Namun istilah itu diberikan sang budak pada Imam Malik karena saking dekatnya Malik dengan Az-Zuhri sampai seperti maula dan tuannya. ) yang berambut pirang.' jawab budaknya setelah memeriksa siapa yang menunggu di depan pintu.
'Persilahkan dia untuk masuk.' Titah Az-Zuhri pada budaknya.
'Engkau, tidakkah pulang ke rumahmu?' Kata Az-Zuhri padaku sesaat setelah aku masuk ke dalam rumahnya.
'Tidak.' Jawabku.
'Apakah kau sudah makan?'
'Belum.'
'Kaalu begitu, makanlah!' Pinta Az-Zuhri yang menyangka bahwa aku datang karena tak punya makanan di rumah.
'Tidak. Karena bukan itu hajatku kemari. Aku datang kemari hanya ingin agar anda menyampaikan hadis padaku.' Ucapku menjelaskan.
Beliau akhirnya menyampaikan 17 hadis padaku lalu berkata: 'Tak ada manfaatnya hadis-hadis ini bila kau tak menghafalnya.
'Kalau anda mau, aku bisa menyetorkan 17 hadis tadi saat ini juga.' Kataku padanya yang kemudian kususul dengan menyetorkan 17 hadis yang tadi beliau sampaikan.
***
Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Abdillah bin Al-Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib, Abu Bakar Al-Qurasyi Az-Zuhri. Seorang hafidz pada zamannya.
Beliau lahir pada tahun 51 Hijriyah dan meninggal pada tahun 123 Hijriyah. Di umur beliau yang ke-72 tahun.
Semoga Allah merahmati beliau, seorang guru besar juga sang murid terbaik, Imam Malik yang rela mengorbankan hari raya, waktu santai, waktu beristirahat demi mendatangi dan belajar darinya.
Sekian.
Sumber:
- Tartibul Madarik: 1/131-133, dan setelahnya
- Siyar A'lamin Nubala': 5/327-350
Ch. 8: Guru-Guru Yang Lain
Nafi’ Al Madani
Guru Terbesar di Madinah kala itu adalah Nafi Maula ibni Umar. Kata Adz-Dzhahabi menyanjung ( Siyar: 5/95 ):
“Beliau adalah seorang imam, mufti, kokoh ilmunya, alimnya Madinah, Abu Abdillah Al-Qurasyi. Maula Ibni Umar.”
Nafi’ adalah tabi’in, beliau banyak berguru kepada Ibnu Umar, Aisyah, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khudaij, dan beberapa sahabat yang lain.
Nafi’ wafat pada tahun 117 Hijriah.
Beberapa kali Malik datang, berguru pada sang guru besar. Kata Malik, menggali memorinya “Dahulu aku datang kepada Nafi’ Maula ibni Umar, saat itu aku masih anak-anak, aku datang juga tak sendirian. Ada satu temanku yang bergabung. Melihat kedatangan kami, Nafi turun dari tempat duduknya, menyambut kami, dan akhirnya duduk bersama kami di tempat yang sama. Beliau lalu membacakan hadis-hadisnya pada kami.” Sebuah sikap rendah hati yang selalu diingat oleh Malik kecil.
Kenangnya pula, “Aku juga beberapa kali mendatangi Nafi’ di pertengahan siang. Di saat yang begitu terik, tak ada pohon yang menghalau sinar matahari untuk langsung mengenaiku. Aku selalu menantikan kapan beliau akan keluar dari rumahnya. Hingga tiba saatnya beliau keluar. Saat beliau keluar, aku membiarkannya beberapa saat seolah-olah tak ingin bertanya padanya. Sampai akhirnya beliau memasuki pelataran dan mendapatkan naungan, barulah aku bertanya, ‘Bagaimana ucapan Ibnu Umar tentang permasalahan ini dan itu?’ beliaupun akan dengan senang menjawabnya. Tak banyak yang kutanyakan, setelah itu biasanya aku berhenti bertanya. Dan beliau adalah orang yang memang begitu teliti dan cermat.” ( Tartibul Madarik : 1/132 )
Tidak heran, pada akhirnya Al Bukhari mengatakan: “Rantai riwayat yang paling sahih adalah Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar.”
Zaid bin Aslam
Seorang imam, hujjah, teladan yang baik, Abu Abdillah Al Adawi, Al Umari, Al Madani, seorang ulama ahli fikih. ( Siyar : 5 / 316 )
Seorang ulama sekaligus ahli bait terkemuka, Ali bin Al-Husain beberapa kali duduk bersama Zaid bin Aslam. Beberapa orang kurang senang dengan hal ini. Komentar pun dilayangkan. Apa jawaban Ali?
Katanya; “Tidak lain, seseorang itu duduk bersama siapa yang bisa diambil manfaatnya.”
Zaid bin Aslam wafat pada Dzulhijjah, 136 H.
Adapun tentang Malik dan Zaid bin Aslam, maka Ibnu Uyainah pernah berkisah: “Saya menyaksikan Malik bertanya kepada Zaid bin Aslam tentang salah satu hadis. Pertanyaan Malik begitu lembut. Ia bertanya kata demi kata. Sedikit demi sedikit.”
Ayyub As Sikhtiyani
Seorang imam, hafidz, pemimpin para ulama, Abu Bakar bin Muhammad bin Abu Taimiyyah Kaisan Al ‘Anazi secara wala’. Termasuk generasi Shighar Tabi’in.
Dari sekian banyak gurunya, ada nama-nama besar seperti Sa’id bin Jubai, Abul ‘Aliyah, Mujahid bin Jabr.
Ayyub dilahirkan pada tahun dimana Ibnu Abbas wafat, 68 H. Beliau sendiri sempat menjumpai Anas bin Malik, karena memang beliau tinggal di kota yang sama dengan tempat tinggal Anas.
Tentangnya, Ibnu Uyainah pernah mengatakan: “Saya belum pernah berjumpa dengan seorang pun seperti Ayyub.” Dalam keadaan tidak sedikit Tabiin yang dijumpai olehnya. Tercatat, Ibnu Uyainah pernah bertemu dengan 86 tabiin.
Ayyub As Sikhtiyani wafat di Kota Basrah pada tahun 131 H. ( Siyar : 6/16 )
Salah satu murid Ayyub adalah Imam Malik. Katanya: “Aku pernah melihat Ayyu di Makkah sebanyak dua kali, semuanya terjadi di musim haji. Pada saat itu, aku sama sekali tak menulis hadis darinya. Hingga pada kali ketiga, aku melihat beliau, duduk di pelataran sekitar zamzam. Kulihat, setiap kali disebutkan nama Nabi Muhammad –Shallallahu ‘alaihi wasallam- di sisinya, beliau akan menangis tersedu. Tangisan itu terus mengalir hingga aku merasa kasihan kepadanya. Saat melihat semua itu, barulah aku mulai menulis hadis-hadis yang beliau sampaikan. (Tartibul Madarik: 1/138 )
Di balik itu semua...
Selektif Berteladan
Malik adalah orang yang paling selektif dalam mencari guru. Semenjak usia belia, ia telah memiliki kematangan berpikir yang luar biasa. Tak setiap ulama yang dijumpainya, akan ditulis, kemudian diambil hadis-hadisnya. Kalaulah iya, tentu guru-gurunya pasti tak terhitung.
Kata Malik: “Di Kota Madinah, aku telah berjumpa dengan banyak ulama. Mereka yang seandainya berdoa agar hujan diturunkan, pastilah doa itu kan terkabul. Pun mereka bukan orang-orang yang bodoh, mereka adalah kaum yang telah mempelajari ilmu agamadan mendengar banyak hadis. Mereka, sama sekali aku tak meriwayatkan darinya.
Hal ini dikarenakan mereka hanya menyibukkan diri-dirinya untuk takut kepada Allah dan zuhud. Namun, hal ini –yakni mengajarkan ilmu dan riwayat- membutuhkan hal yang lebih dari itu. Butuh akan adanya takwa, wara’, penguasaan, kekuatan hafalan, ilmu yang dalam, serta pemahaman yang mumpuni. Sehingga dia benar-benar mengerti apa yang dia sampaikan, mengetahui apa yang akan bermanfaat untuknya esok.
Adapun orang-orang yang tidak memiliki kapasitas, orang yang tak memiliki pengetahuan maupun kekuatan hafalan, dia tidak bisa diambil manfaat ilmunya, bukan pula hujjah, dan tidak bisa diambil riwayatnya. (Tartibul madarik: 1/137 )
Insya Allah akan ada bab tersendiri untuk pembahasan ini. Wallahul Muwaffiq.
Ch. 9: Seribu Guru
Membahas tentang guru-guru Imam Malik, tentu akan menghabiskan waktu yang sangat panjang. Bagaimana tidak, beliau sendiri sudah mulai terjun ke dalam luasnya lautan ilmu sejak usianya yang masih terhitung muda, bahkan belia.
Selain karena ketekunan beliau dalam membersamai seorang guru dengan waktu yang cukup lama, perjalanan beliau dalam menapaki jalan ilmu menjadi panjang juga karena jumlah guru beliau yang luar biasa banyak.
Disebutkan bahwa setelah wafatnya Qasim dan Salim beliau belajar pada, Nafi', Sa'id Al-Maqburi, 'Amir bin Abdillah bin Zubair, Ibnul Munkadir, Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, dan ulama-ulama lain yang jumlahnya bahkan mencapai 900 orang.
Iya, 900 orang, angka yang benar-benar fantastis untuk menggambarkan banyaknya ulama yang menjadi guru dan pengajar bagi sosok Imam Malik.
Namun demikian, hal itu ternyata memang sudah lumrah terjadi di kalangan para ulama terdahulu. Sebagai contoh saja, seorang ahli hadits dan pakar fiqih terkemuka asal Kufah, Sufyan Ats-Tsauri yang lahir pada tahun 97 H dan meninggal 64 tahun setelahnya yakni pada tahun 164 H. Beliau belajar kepada lebih dari 600 guru.
Jadi, bukanlah suatu hal yang aneh di zaman itu bila seseorang bisa memiliki guru dengan jumlah fantastis.
Di dalam Al-Muwattha', tersebutkan beberapa nama guru beliau. Di antaranya:
- Ishaq bin Abdullah bin Abi Talhah (18)
- Ayyub bin Abi Tamimah al-Sikhtiyani, ulama Basrah (4)
- Ayyub bin Habib al-Juhani, budak Sa'd bin Malik (1)
- Ibrahim bin Uqbah (1)
- Isma'il bin Abi Hakim (1)
- Isma'il bin Muhammad bin Sa'd (1)
- Thawr bin Zaid al-Dili (3)
- Ja'far bin Muhammad (7)
- Humayd al-Tawil (6)
- Humayd bin Qays al-A'raj (2)
- Khuwayb bin Abdurrahman (2)
- Dawud bin al-Husayn (4)
- Dawud Abu Layla bin Abdullah dalam kasus pembagian (1)
- Rabi'ah al-Ra'y (5)
- Zayd bin Aslam (26)
- Zayd bin Rabaah (1)
- Ziyad bin Sa'd (1)
- Zaid bin Abi Unaisah (1)
- Salim Abu al-Nadhr (13)
- Sa'id bin Abi Sa'id (4)
- Sumayy, budak Abu Bakr (13)
- Salamah bin Dinar Abu Hazim (8) -Suhail bin Abi Salih (11)
- Salamah bin Safwan al-Zuraqi (1)
- Sa'd bin Ishaq (1)
- Sa'id bin Amr bin Shurahbil (1)
- Sharik bin Abi Namir (1)
- Shalih bin Kaisan (2)
- Safwan bin Sulaym (2)
- Sayfi, budak Ibn Aflah (1)
- Dhamrah bin Sa'id (2)
- Talhah bin Abd al-Malik (1)
- Amir bin 'Abdullah bin Zubair (2)
- Abdullah bin al-Fadl (1)
- Abdullah bin 'Abdullah bin Jabir bin 'Atik (2)
- Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm (18)
- Abdullah bin Yazid, budak al-Aswad (5)
- Abdullah bin Dinar (31)
- Abu al-Zinad Abdullah bin Dhakwan (64)
- Abdurrahman bin al-Qasim (8)
- Abdurrahman bin Abi Sa'sa'ah (3)
- Abdullah bin Abdurrahman Abu Tuwalah (2)
- Ubaydullah bin Sulaiman al-Aghar (1)
- Ubaydullah bin Abdurrahman (1)
- Abdurrahman bin Harmalah (1)
- Abdurrahman bin Abi 'Amrah (1)
- Abdul Majid bin Suhayl (1)
- Abdu Rabbih bin Sa'id (2)
- Abdul Karim al-Jazari (1)
- 'Ata al-Khurasani (1)
- 'Amr bin al-Harith (1)
- 'Amr bin Abi 'Amr (1)
- 'Amr bin Yahya bin 'Ammar (3)
- 'Alqamah bin Abi 'Alqamah (2)
- Al-'Ala' bin Abdurrahman (1)
- Fudayl bin Abi 'Abdullah (1)
- Qatan bin Wahb (1)
- Al-Zuhri (18)
- Ibn Al-Munkadir (4)
- Abu Al-Zubayr (8)
- Muhammad bin Abdurrahman Yatim 'Urwah (4)
- Muhammad bin 'Amr bin Halhalah (2)
- Muhammad bin 'Umara (1)
- Muhammad bin Abi Umamah (1)
- Muhammad bin 'Abdullah bin Abi Sa'sa'ah (1)
- Muhammad bin Abi Bakr al-Thaqafi (1)
- Muhammad bin 'Amr bin 'Alqamah (1)
- Muhammad bin Yahya bin Hibban (4)
- Muhammad bin Abi Bakr bin Hazm (1)
- Abu al-Rijal Muhammad (1)
- Musa bin 'Uqbah (2)
- Musa bin Maysarah (2)
- Musa bin Abi Tamim (1)
- Makhramah bin Sulaiman (1)
- Muslim bin Abi Maryam (2)
- Al-Miswar bin Rifa'ah(1)
- Nafi'(85)
Kuantitas dan kualitas, benar-benar terpenuhi keduanya, guru-guru beliau banyak, dan pastinya bukan orang-orang sembarangan. Angka di dalam tanda kurung adalah jumlah penyebutan masing-masing dari guru beliau di dalam Kitab Al-Muwattha'.
Tak heran jika kemudian muncul ungkapan, 'katsratur rihaal, sunnatul awwaliin'. (Banyak bertualang dalam mencari ilmu adalah kebiasaan orang-orang terdahulu).
Sebagai tambahan saja, bahwa Imam Abu Hanifah (80-150 H), seorang pendiri Mazhab Hanafi, memiliki lebih dari 4000 orang guru. Di antaranya adalah, Hammad bin Sulaiman dan 'Atha bin Abi Rabah. 2 orang ulama generasi tabi'in yang sangat terkemuka.
Demikian pula disusul oleh nama-nama tersohor lain seperti, Imam Asy-Syafi'i ( 150-204 H) pendiri Mazhab Syafi'i yang kian terkenal. Beliau, selain berguru kepada Imam Malik, juga sempat belajar kepada Sufyan bin Uyaynah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (salah seorang murid Imam Abu Hanifah).
Berikutnya ada imam yang begitu ikonik di seantero dunia, seorang ulama yang begitu besar jasanya untuk umat islam, pendiri Mazhab Hanbali, Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Beliau belajar kepada lebih dari 280 sosok ulama, termasuk Imam Asy-Syafi'i dan Imam Waqi' bin Al-Jarrah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dua nama besar di antara lebih dari 200 guru yang dimiliki oleh penyusun kitab hadits monumental Jami' At-Tirmidzi. Iya, Al-Imam At-Tirmidzi (209-279 H) punya lebih dari 200 orang guru.
1000 adalah jumlah dari ulama tempat Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani (202-275 H) belajar. Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma'in termasuk dalam daftar guru beliau.
Selebihnya ada Imam An-Nasa'i (215-303 H) yang belajar pada banyak ulama dari negeri Syam dan Mesir seperti Qutaybah bin Sa'id dan Ishaq bin Rahawaih, lalu Imam Layth bin Sa'ad (94-175 H) ulama besar asal Mesir yang belajar dari banyak ulama fiqih dan hadits asal Hijaz. Dan Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (224-310 H), seorang pakar tafsir, fiqih, dan sejarah. Beliau belajar dari para ulama di Baghdad, Mesir, dan Syam. Muhamad bin Humayd dan Abdurrahman bin Waqid di antaranya.
Akan tetapi, ada suatu fakta menakjubkan di balik jumlah guru Imam Malik yang demikian banyak, yaitu, beliau tak pernah keluar dari kota kelahirannya Madinah dalam menuntut ilmu.
Sangat mencengangkan, ketika ulama-ulama lain berkelana ke banyak negeri tuk mendapat banyak guru, beliau Imam Malik bin Anas tidak melakukannya.
Selain karena memang Madinah adalah tanah tujuan, tanah suci yang selalu dicari oleh para ulama, tak bisa kita kesampingkan ketekunan Sang Imam dalam belajar.
Benar-benar membuktikan bahwa, bila tekad itu ada, selama semangat masih membara, semua akan tercapai -biidznillah- meski terkungkung dan terkekang oleh ruang dan waktu.
Sekian.
Sumber:
- Siyar A'lam An-Nubala oleh Adz-Dzahabi.
- Manaqib Abi Hanifah oleh Al-Makki
- Tartib Al-Madarik oleh Qadhi 'Iyadh
- Manaqib Asy-Syafi'i oleh Al-Bayhaqi
- Manaqib Ahmad oleh ibn Al-Jauzi
- Tabaqat Al-Fuqaha' oleh ibn Abi Ya'la
- Tahdzib Al-Kamal oleh Al-Mizzi
- Tabaqat Al-Mufassirin oleh As-Suyuthi
Ch. 10 : Selektif Berteladan
“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari mana kalian mengambilnya.” Kata Malik menjelaskan, “Sungguh, saya telah menyaksikan 70 tokoh yang mengatasnamakan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wasallam- di hadapan tiang-tiang ini,” sembari menunjuk ke arah tiang-tiang di dalam Masjid Nabawi, “akan tetapi saya tidak meriwayatkan dari mereka sama sekali. Padahal, sungguh, seandainya mereka ini diberikan amanah untuk menjaga baitul maal, pasti mereka adalah sosok-sosok yang benar-benar amanah. Akan tetapi sayangnya mereka bukanlah orang-orang yang layak untuk mengemban riwayat.” ( Tartibul Madarik: 1/131 )
Demikianlah prinsip Imam Malik. Hadis dan muhaddis, bukan tentang kuantitas, tapi kualitas.
Di Madinah, banyak guru besar, banyak tokoh agama, begitu tersebar ulama, tapi apakah semuanya bisa menjadi tonggak riwayat? Tidak. Malik, sejak kecil benar-benar selektif. Para guru besar Madinah harus melewati kualifikasi sebelum riwayatnya diambil oleh Malik.
Di kesempatan lain, Imam Malik menuturkan hal yang bisa menyebabkan seorang ulama tak beliau riwayatkan hadisnya. Di antaranya:
- Mereka yang berdusta saat berbicara dengan manusia, meskipun dalam meriwayatkan hadis tidak berdusta,
- Mereka yang tak mengerti apa yang disampaikannya,
- Atau mereka yang memiliki pemahaman yang buruk.
Bukan karena merendahkan, bukan pula karena meremehkan apalagi menganggapnya hina, tapi ilmu harus diambil dari mereka yang memang layak. Kata Malik: “Terkadang, ada seorang guru yang mengajar kami seharian penuh akan tetapi kami tak meriwayatkan hadisnya. Bukan karena menuduhnya macam-macam, akan tetapi beliau memang bukan seorang ahli hadis.”
Iya, tentunya ada perbedaan antara mengambil pelajaran, dengan mengambil riwayatnya.
Sekaliber Atha’ bin Abi Rabah pun, tak lepas dari kualifikasinya. Saat itu, Malik menghadiri majelis Atha. Seperti biasa, sebelum meriwayatkan, Malik akan mencermati, memperhatikan, dan menilik secara seksama adab dan perangai gurunya, apakah ia layak untuk diambil riwayatnya. Pelan-pelan Atha berjalan sampai di hadapan mimbar Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Sesampainya di depan mimbar, Atha mengusap tingkat pertama mimbar. Hal itu mengejutkan Malik. Itu adalah kebiasaan orang awam. Masyarakat secara umum di mimbar-mimbar mereka. Ketika Malik melihat bahwa Atha tidak membedakan antara mimbar Nabi dengan mimbar yang lain, Malik tidak meriwayatkan darinya.
Namum demikian, sepeninggal Atha, Malik mengambil riwayat dari murid Atha, darinya. Kata Al Qadhi Iyadh: “Bisa jadi dahulu Malik meniggalkan riwayatnya karena apa yang beliau lihat dari Atha. Juga saat itu Malik belum mengerti tentang keutamaan dan ilmunya. Oleh karena inilah, Malik saat itu tak ingin lagi melihat dan belajar darinya. Saat pada akhirnya Malik mengetahui tentang keutamaan dan keilmuannya, dalam keadaan riwayat langsung dari Atha telah terluput darinya, barulah Malik mengambil riwayatnya.”
Karena keseriusannya dalam memilih guru inilah, Malik dan muwathta’nya adalah timbangan benar tidaknya suatu riwayat.
Kata Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib An Nasa’i: “Tidak ada satu orang pun dari kalangan tabi’in yang lebih mulia dan terhormat dibandingkan Malik bin Anas. Juga tidak ada satu orang pun yang lebih bisa dipercaya dalam hal hadis dibandingkan beliau. Kemudian setelahnya Yahya bin Said Al Qaththan.”
Asy Syafi’i juga mempersaksikan hal yang senada, katanya: “Imam Malik, apabila ragu tentang sebuah hadis, beliau akan melemparkannya secara keseluruhan.”
Katanya pula: “Jika ada sebuah atsar, maka Malik adalah bintangnya.”
Masih sanjungan yang sama, kata Ali ibnul Madini: “Malik adalah seorang imam.”
Abu Umar Ibnu Abdil Barr ( At Tamhid: 1/65 ) menuturkan setelah menukilkan pujian para ulama di atas: “Sudah diketahui bahwa Malik termasuk orang yang paling kuat meninggalkan ilmu-ilmu yang janggal, paling cermat dalam memilah para guru, paling sedikit sikap takallufnya, serta paling kuat hafalannya. Oleh karenanya lah, beliau layak menjadi seorang imam.”
Demikian harusnya belajar. Selektif dan perhatian. Bukan hanya mengerti apa yang dipelajari, akan tetapi tidak kalah lebih penting dari itu, siapa yang mengajari. Wallahu a’lam.
Ch. 11: Pasak Rumah dan Thalabul Ilmi
Bintang tampak kerlap-kerlip di langit. Seisi bumi mulai menggelap. Mengandalkan cahaya rembulan dan bintang-bintang saja tak cukup pada waktu listrik belum ditemukan. Butuh ada lentera tuk menerangi.
"Saat itu... " Kata Abu Hatim, "saat malam tandang sirnakan terang, aku pergi menuju gerbang dari suatu gudang. Gerbang itu biasanya dijaga oleh seorang petugas keamanan. Namun, oleh karena petugas keamanan itu sering terlelap tidur, jadilah aku menggantikannya sembari belajar menggunakan lentera miliknya." Lanjutnya mengenang.
Tak ada rotan akarpun jadi!
Beliau tak punya lentera di rumahnya. Mengapa? Aih, jangankan lentera, hari-hari itu, hari-hari saat beliau menuntut ilmu, tuk membeli beras pun beliau tak mampu. Walau demikian, hal tersebut tak lantas membuat pemuda bernama lengkap Muhammad bin Idris bin Al Mundzir ini bertekuk lutut, menyerah, dan mengalah pada keterbatasan. Dirinya justru rela menggantikan posisi seorang petugas keamanan demi mendapatkan seberkas pelita.
Lain lagi dengan Imam Al Bukhari.
Umar bin Hafs Al Asyqar dengan baik hati menceritakannya, "kawan-kawan belajar Al Bukhari di Bashrah pernah kehilangannya suatu hari. Setelah lama tak kunjung tampak barang hidungnya, mereka pun sepakat pergi ke penginapannya.
Sesampainya di tujuan, mereka terkejut bukan kepalang lantaran mendapati Al Bukhari, kawan seperjuangan mereka tak berbusana barang sehelai benang pun. Di samping kanan kirinya jua tak ada apapun, semua barangnya sudah habis, habis benar-benar tak tersisa.
Setelah sesaat berbincang, kawan-kawan sepakat tuk mengumpulkan keping-keping dirham mereka demi membelikannya selembar pakaian yang kemudian bisa dikenakannya."
Cerita belum berakhir, karena sesaat usai mendapatkan pakaian, bukannya kapok dan berhenti belajar, beliau malah langsung menyambung langkahnya, lagi, berpetualang meraih hadis demi hadis.
Ah... Benar ternyata, kefakiran betul-betul sudah menjadi teman duduk yang akrab bagi para penuntut ilmu. Bahkan menjadi sahabat yang tak pernah meninggalkannya, selalu melekat erat, tersemat pada sorban-sorban penutup kepala mereka.
Oh bagaimana tidak! Yahya bin Ma'in, seorang ulama jarh wat ta'dil terkemuka pernah menghabiskan 1 juta keping dirham warisan dari ayahnya untuk menuntut ilmu hingga tiada lagi hartanya walau sandal yang biasa beliau kenakan.
Sekadar tambahan, 1 juta dirham, bila satu dirham di masa kenabian saja bisa untuk membeli satu ekor kambing, maka jika dirupiahkan ke zaman sekarang takkan kurang dari 2 triliun. Iya. Seluar-biasa itu para ulama. Menghabiskan 2 triliun hingga tak ada lagi sepeser pun. Bahkan hanya untuk membeli sandal pun tak bisa.
Imam Syafi'i dengan elok melukis menggunakan kata, tentang sekelumit sulit yang selalu datang menyergap ketika menuntut ilmu. Namun juga selalu tuntas diberantas dengan sabar dan tekad yang tinggi. Gubah beliau:
أمطري سماء سرنديب و أخرجي آبار تكرور تبرا
أنا إن عشت لست أعدم قوتا و لئن مت لست أعدم قبرا
همتي همة الملوك و نفسي نفس حر ترى المذلة كفرا
"Curahkanlah hujan, hei langit Sarandib,
Keluarkanlah air bercampur logam wahai sumber air Tukrur.
Aku, bila hidup memang takkan kekurangan rezeki,
dan jika aku mati, aku tidak perlu mencari-cari kuburku.
Ambisiku adalah seperti raja-raja, dan jiwaku adalah jiwa orang bebas yang menganggap kehinaan sebagai ingkar nikmat."
***
Namun begitu, tahukah engkau bahwa Imam Malik pun tak kalah hebat dari kisah mereka semua?
Baiklah, engkau harus benar-benar mengerti, di samping Imam Abu Hatim yang tak mampu membeli beras, Imam Al Bukhari yang kehabisan seluruh pakaiannya, atau Imam Yahya bin Ma'in yang mengaduh melalui bait-bait syairnya, ada Imam Malik ibnu Anas yang sampai menjual tiang rumahnya.
Benar, tiang rumah. Agar lebih menyenangkan, mari nikmati hikayat yang disajikan Ibnul Qasim:
"Malik terus mencari dan mencari hadis. Sampai-sampai Malik benar-benar kehabisan harta bendanya. Beliau jatuh miskin. Hingga pada suatu hari, dibongkarnya atap-atap rumah beliau, kemudian beliau ambil tiang-tiang penyangganya dan lalu menjualnya."
Menakjubakn!
Tidak, bahkan sangat menakjubkan!
Pernah membayangkan rumah tanpa atap, tanpa tiang?
Bila membayangkannya saja sulit, Imam Malik pernah melakukannya. Mencopoti satu demi satu atap rumah dan mejual tiangnya. Bukan untuk diganti lalu direnovasi, tapi untuk sekali lagi menyambung langkah, memburu hadis.
Kata Malik: "Ilmu ini tak mungkin diperoleh, sampai dalam perjalanannya, kefakiran dirasakan."
Nama-nama di atas hanya sedikit dari sekian banyak nama yang telah menjadikan kefakiran sebagai salah satu anak tangga yang mereka pijak dalam derap langkah perjuangan. Dari bodoh menuju berilmu. Dari hina kepada terhormat bahkan tersemat doa hingga hari kiamat.
Sekian.
Sumber: Uluwwul Himmah : 159 - 161
Disalin dari Telegram https://t.me/LisanulQolam
KOMENTAR