Menulis dan ta’awun di Pesantren, kenapa tidak? Di sini kita akan berbicara dari sudut pandang yang mungkin akan banyak menuai pro dan kont...
Menulis dan ta’awun di Pesantren, kenapa tidak?
Di sini kita akan berbicara dari sudut pandang yang mungkin akan banyak menuai pro dan kontra, namun kita coba memulai terlebih dahulu barangkali ada di antara kita yang juga sependapat dengan penulis.
Dengan pertolongan Allah, saya memohon.
Menulis merupakan sebuah cara yang digunakan berabad-abad lalu, tulisan juga adalah bentuk buah pikiran, tulisan adalah segala dari ilmu dan pengetahuan.
Tulisan juga amatlah penting dalam dunia mahasiswa, santri dan para pelajar mana saja.
Tulisan adalah buah pikiran, menggambarkan bijak tidaknya pikiran si penulis, menjelaskan kepada pembaca akan kepandaian dia dalam menggiring opini pembaca, dan lebih dari itu para Sahabat Nabi ï·º dahulu adalah orang-orang yang mengajukan supaya Quran (kitab suci ummat Islam) dituliskan, dikumpulkan dari beberapa hafalan sahabat yang lainnya. Sungguh menakjubkan.
Seharusnya dunia tulis menulis memiliki hubungan yang mesra dengan para penuntut ilmu.
Bila kita perhatikan, Mahasiswa yang menjalankan studinya di suatu Universitas pasti tidak akan lulus kecuali setelah merampungkan skripsi pada Fakultasnya.
Dan hingga saat ini belum ada kabar bahwa Pesantren mewajibkan hal demikian atas Santri yang akan lulus. Saya hanya mendengar beberapa Ma’had saja dan itu tidak wajib, hanya bagi mereka yang berinisiatif.
Namun ini bukan hal yang perlu disayangkan, sebabnya kebaikan dan manfaat menulis sebenarnya kembali kepada masing-masingnya.
Karena secara garis besar dari manfaat menulis adalah memberikan infromasi dan insight pada orang lain yang membutuhkan. Sehingga orang yang membutuhkannya pasti merasa terbantu meski dengan tulisan yang sederhana.
Kita kembali pada passion penuntut ilmu dalam hal tulis menulis, tidak mungkin kita menggunakan sarana tulis menulis ini untuk hal yang justru bersebrangan dengan agama Islam. Yang kita pelajari adalah ilmu agama maka yang dikembangkan melalui sarana ini adalah ilmu agama.
Ilmu agama bukan hal yang sempit dan sedikit, justru bagi sebagian orang mereka kebingungan akan memulai dari mana dan memilih yang seperti apa untuk diulas pada masalah agama. Jangan berpikiran bahwa yang menulis dalam bab agama ini hanya Ulama, Syaikh atau Ustadz, jangan! Justru hal ini akan menjadikan kita semakin down dan tidak memiliki kepercayaan diri.
Mulailah dari yang sederhana dan sedikit.
Saya masih ingat pada sebuah seminar yang disampaikan oleh dua Ustadz kita -semoga Allah menjaga keduaya- yaitu, Ustadz Mukhtar dan Ustadz Ayip Syafruddin di Masjid Umar bin Khattab.
Yang beliau sampaikan adalah secuil tips supaya kita bisa memulai dalam bidang tulis menulis, beliau berikan caranya yang paling sederhana.
“Mulailah untuk menulis ayat Quran beserta artinya, maka kalian akan merasa puas ketika ada tafsir dari para Ulama atas ayat tersebut, di situlah kalian buka kitab-kitab tafsir dan diartikan sesuai kemampuan dan tulislah untuk ayat-ayat yang kalian pilih. Begitu juga pada hadits dan ucapan para Ulama.” Tutur Ustadz Ayip Syafruddin.
Menurut Ustadz Mukhtar :
“Seorang Siswa yang doyan tulis menulis mestinya tidak merasa cukup dari kamus Tesaurus, mesti punya!”
Apa yang disampaikan Ustadz Mukhtar adalah penyempurna faidah Ustadz Ayip, karena beliau menyampaikan trik supaya tulisan dan terjemahan kita tidak terlalu kaku dan saklek sehingga bila tidak dikembangkan dan enggan diperbaiki akan membuat tulisan atau terjemahan menjadi ‘garing’ dan seolah olah tidak bernas.
Ada sebuah faidah yang menurut saya sangat ‘nampol’ disampaikan oleh Ustadz Mukhtar, kata beliau :
“Bila kita menulis, sejak awal meniatkan supaya tulisan tersebut dicetak, maka kita keliru! Apa salahnya bila (tulisan tersebut) dijadikan konsumsi pribadi terlebih dahulu. Bila ingin dibaca oleh orang lain, bagikan pada keluarga atau saudara. Latihan menulis itu adalah waktu yang harus kita sembunyikan.”
Dengan sedikit perubahan.
Saudaraku, mengapa saya sandingkan menulis dengan ta’awun (membantu kegiatan dakwah) di Pesantren?
KOMENTAR