Ringkasan tentang Mazhab Hanafi, serta penjelasan Imam Abu Hanifah.
Yuk! Berkenalan Dengan Madzhab Abu Hanifah
Salah satu dari empat madzhab yang terkenal di kalangan para pelajar adalah madzhab Hanafiyyah.
Nah kali ini kita akan sedikit berkenalan dengan madzhab tersebut.
Imam Abu Hanifah bernama : An Nu’man bin Tsabit bin Az Zuuti. Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriah dan meninggal pada usia ke 70 di tahun 150 Hijriah.
Berarti beliau wafat pada tahun terlahirnya seorang Imam besar pula, yaitu Imam Syafi’i rahimahumullah ta’ala.
Karena Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 Hijriah.
Abdullah bin Al Mubarok pernah memuji kehebatan Imam Abu Hanifah, kata beliau :
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang kemampuan fikihnya setara dengan Abu Hanifah.”
Imam Syafi’i pun pernah menyanjungnya, menurut beliau :
“Dalam bidang fikih manusia merupakan sanak keluarga dari keturunan Abu Hanifah.”
Silsilah ilmu fikih beliau
Silsilah pengambilan ilmu fikih Imam Abu Hanifah sebagai berikut :
Abu Hanifah mempelajari Fikih dari Hammad bin Sulaiman, beliau merupakan guru Abu Hanifah yang pertama, beliau mengambil ilmu fikih dari Ibrahim An Nakha’i, sedangkan Ibrahim An Nakha’i belajar fikih di hadapan ‘Alqamah bin Al Qais. Pada akhirnya, ‘Alqamah mempelajari ilmu fikih di hadapan Abdullah bin Mas’ud.
Kita mesti bertanya, bila Abu Hanifah memang seorang imam besar, tentu memiliki murid. Berapakah murid beliau?
Murid-murid beliau
Abu Hanifah memiliki murid hampir mendekati angka 700 siswa. Namun dari hampir 700 siswa itu ada beberapa murid yang paling menonjol, sekitar 4 siswa yang disepakati ulama atas keseniorannya.
Siapa saja mereka?
1. Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari. Wafat 182 Hijriah.
2. Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani. Wafat 187 Hijriah.
3. Zufar bin Al Hudzail Al Kuufi. Wafat 158 Hijriah.
4. Al Hasan bin Ziyad Al Lu’lui. Wafat 124 Hijriah.
Nah dari ke empat siswa Abu Hanifah ini, ada dua yang paling menonjol lagi, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan.
Dua siswa ini sangat populer namanya di kalangan madzhab Hanafiyyah bahkan dikenal pula namanya di kalangan madzhab-madzhab lainnya.
Sampai-sampai dua siswa ini memiliki julukan tersendiri, yaitu; Shahibay Abi Hanifah. (dua murid abu Hanifah) sehingga bila kita mendapati istilah ‘shahibay Abi Hanifah’ dalam buku-buku fikih maka, yang dimaksud adalah Abu Yusuf dan Muhammad.
Bagaimana Abu Hanifah bisa memiliki madzhab?
Kita mesti bertanya-tanya, apakah Imam Abu Hanifah meminta dan memerintahkan murid-muridnya untuk membuat madzhab sepeninggal beliau? Kok bisa disebut madzhab Hanafiyyah.
Nah pada point ini kita akan mengulas bagaimana pendapat dan warisan Abu Hanifah ini bisa dikenal dan dijadikan madzhab yang dinisbatkan kepada beliau.
Sebelum itu, kita mesti mengetahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis karya-karya yang memang dibuat untuk mengumpulkan ilmu furu’, seperti pembahasan shalat, puasa, zakat, dan lainnya.
Namun Imam Abu Hanifah hanya memiliki beberapa karya yang ringkas dan basit, seperti :
1. Al Washiyyah Al Kubra.
2. Al Maqshud bis Sharf.
Namun dua kitab ini justru tidak menjadikannya memiliki madzhab, lantas dengan apa?
Madzhab Abu Hanifah tersusun secara sistematis dengan dikumpulkannya fatwa-fatwa beliau serta kasus-kasus fikih yang beliau pecahkan.
Siapakah yang melakukan ini semua? Siapakah yang mengumpulkan fatwa-fatwa beliau? Apakah Imam Abu Hanifah sendiri?
Fatwa dan masail Abu Hanifah dikumpulkan dan disebar luaskan oleh dua murid berjasa beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan.
Masing-masing dari keduanya memiliki metode yang berbeda, Abu Yusuf tidak sama dengan Muhammad bin Al Hasan.
Dahulu Abu Yusuf menyebarkan pendapat Abu Hanifah melalui pelajaran-pelajaran yang beliau sampaikan, beliau mengajar pada masanya sembari menyebutkan fatwa, pendapat, dan masail Abu Hanifah.
Beliau juga menyebar luaskan pendapat Abu Hanifah dari kursi hakimnya, Abu Yusuf menjabat sebagai qadhi selama 3 priode di masa Abbasiyyah dan Bani Abbasiyyah tidak pernah menunjuk seorang untuk menjadi qadhi melainkan dia bermadzhab seperti Abu Hanifah.
Sehingga di situlah beliau mulai menyebarkan fatwa dan masail Abu Hanifah.
Sedangkan Muhammad bin Al Hasan turut menyebar luaskan pendapat Abu Hanifah melalui karya tulisnya.
Beliau mulai mengumpulkan pendapat dan fatwa Abu Hanifah serta apa yang berkaitan dengan pendapat yang dikuatkan oleh Abu Yusuf. Beliau kumpulkan dalam 6 kitab induk.
Bila kita perhatikan dari tahun wafatnya empat murid senior Abu Hanifah, maka akan didapati Muhammad bin Al Hasan adalah yang terakhir wafat, sehingga enam kitab tersebut merupakan karya yang paling induk dan berjasa pada penyebaran madzhab Abu Hanifah.
Enam kitab ini dikenal oleh hanafiyyah dengan sebutan ‘kutub Dhahir Riwayat’, antara lain :
1. Al Ashl
2. Al Jami’ Al Kabir.
3. Al Jami’ As Shaghir.
4. As Siar Al Kabir.
5. As Siar As Shaghir.
6. Ar Riwayat.
Adapun kitab-kitab hanafiyyah yang datang setelah enam kitab induk ini, maka mereka adalah cabang dari enam kitab ini.
Kesimpulannya :
Bahwa madzhab Abu Hanifah tersusun dan dikenal oleh para penuntut ilmu sepeninggal beliau melalui dari dua jalur, yaitu;
melalui Abu Yusuf dan yang paling berjasa berikutnya adalah Muhammad bin Al Hasan dengan enam kitab karya beliau.
Setelah tersebarnya enam kitab madzhab abu hanifah yang dikenal dengan nama : Kitab Dzahir riwayat, banyak dari pengikutnya yang mulai membuat karya untuk meringkas dan membantu memudahkan dalam mempelajari madzhab hanafiyyah ini.
Adalah Al Hakim Asy Syahid wafat 344 H, beliau datang membuat karya dengan tujuan memudahkan penuntut ilmu dalam memahami dan mempelajari madzhab hanafiyyah.
Kitab yang beliau tulis berjudul : Al Kafii.
Kitab ini merupakan ringkasan daripada enam kitab induk hanafiyyah yang pernah kita bahas sebelumnya.
Kemudian setelah itu, datanglah seorang imam bernama As Sarkhasi wafat 483 H.
Beliau dengan semangatnya memberikan syarah (penjelasan) atas kitab Al Kaafi tersebut. Beliau memberi nama kitabnya dengan judul Al Mabsuth dan bisa kita dapatkan di maktabah-maktabah besar, tercetak dalam dua belas jilid.
Beliau membuat karya Al Mabsuth ini dalam keadaan terpenjara di dalam sumur, namun beberapa muridnya rajin untuk datang dan menemani beliau.
Sehingga beliau menyampaikan karyanya (penjelasan atas kitab Al Kaafi) tadi melalui murid-muridnya, dan jadilah kitab Al Mabsuth.
Nah, yang perlu kita ketahui. Sebelum ini ada seorang yang bernama Ath Thahawi nama lengkap beliau adalah : Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi wafat 321 H.
Beliau menulis kitab ringkas yang biasa dikenal oleh penuntut ilmu dengan kitab mukhtashar (ringkas) dengan judul : Mukhatasar Ath Thahawi.
Kitab ini dinobatkan sebagai mukhtashar pertama untuk madzhab hanafiyyah. Yang pertama mengeluarkan kitab mukhtashar untuk fikih madzhab Hanafiyyah adalah Ath Thahawi.
Dan madzhab Hanafiyyah ini dikenal memiliki banyak mukhtasar pada bidang fikihnya.
Setelah tiga Ulama besar ini, datanglah seorang Imam bernama Abul Husain Ahmad bin Muhammad Al Qadduri wafat 328 / 428 H.
Beliau mengikuti jejak ulama sebelumnya, membuat sebuah matan untuk fikih Hanafiyyah dengan judul : Al Kitab.
Banyak syarah untuk matan ini dan memang matan ini sangat dikenal dalam madzhab Hanafiyyah.
Beberapa syarah untuk Al Kitab ini antara lain :
1. Al Lubab Fii Syarhil Kitaab. Karya Abdul Ghani Al Ghunaimi Ad Dimasyqi Al Maidani Al Hanafi. Wafat 1298 H Cet. Dar ibn Katsir.
2. Al Jauharatun Nayyirah Syarah Mukhtasar Al Qadduri Fii Furu’il Hanafiyyah. Karya Abu Bakr bin Ali Al Haddadi. wafat 800 H. Cet. Dar Kutub Ilmiyyah.
3. Hadaqul ‘Uyun syarah Mukhtashar Al Qadduri. Karya Abdullah bin Husain bin Hamd. Wafat pada awal 900 H. Cet. Darul Fath.
Yang perlu dipahami pula adalah, bila teman-teman membaca kitab-kitab fikih madzhab Hanafiyyah dan menemukan istilah Al Kitab, maka yang dimaksud dengannya adalah matan Al Qadduri.
Kemudian setelah karya Al Qadduri ini, ada Ulama yang bernama As Sumarqandi atau dibaca As Samarqandi. Beliau bernama Abu Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahin wafat pada tahun 373 / 375 / 539 H.
Tahun wafat beliau saya belum bisa pastikan tepatnya, karena dari dua sumber yang saya baca disebutkan seperti yang tertulis.
Beliau dikenal dengan panggilan Imamul Huda, belajar fikih pada seorang Ulama yang bernama Abu Ja’far Al Hinduwani, beliau juga meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Fadhl Al Bukhari dan lainnya.
Beliau menulis kitab fikih dengan madzhab Hanafiyyah, diberi judul : Tuhfatul Fuqaha.
Meskipun karya-karya beliau tidak hanya pada bidang fikih namun lebih menonjol pada bidang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam buku-buku biografi.
Beliau memang bermadzhab Hanafiyyah, beliau memang Ulama fikih Hanafiyyah, namun kekurangan beliau adalah penyelisihannya terhadap akidah serta keyakinannya yang bersebrangan dengan Abu Hanifah. Beliau adalah salah satu Ulama tersohor dari kelompok Maturidiyyah.
Diantara karya beliau yang perlu dijauhi adalah Tanbihul Ghafilin. Disebutkan pula dalam Tarkhil Islam 8 / 420 oleh Imam Adz Dzahabi bahwa kitab tersebut banyak mengandung kepalsuan dari hadits dan hal yang disandarkan pada orang lain.
Meski sering disebut namanya di kalangan kecil ilmu kalam, namun beliau lebih besar namanya di kalangan fuqaha dan muafassir. Sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zirakliy dalam Al A’lam 8 / 27.
Dan terbukti ke-maturidyahnya, bila kita lihat tafsir beliau 1 / 521 & 521 juga pada 3 / 174 & 473 akan banyak didapati penyelewangan makna dari sifat-sisat Allah. Karya tafsir beliau diberi nama : Bahrul ‘Ulum.
Kemudian setelah karya beliau, datanglah seorang bernama Al Kasai dan mensyarah (memberikan penjelasan ilmiah) kitab Tuhfatul Fuqaha tersebut, diberi nama : Bada’i As Shana’i fii Tartibis Syara’i.
Dikatakan pula bahwa setelah Al Kasai mensyarah kitab Tuhfatul Fuqaha milik As Samarqandi, beliau diberi hadiah dengan dinikahkan dengan putri Imam As Samarqandi.
Kitab Tuhfatul Fuqaha tidak setenar dan semasyhur syarahnya, yaitu : Bada’i As Sana’i.
Setelah dua kitab di atas berkolaborasi, datanglah Ulama dengan nama Al Marghinani wafat 593 H. Beliau berinisiatif menulis sebuah matan untuk madzhab Hanafiyyah dengan tujuan kitab ini adalah racikan antara dua kitab besar yaitu : matan Qadduri dan Al Jami’ Ash Shagir. Sehingga lahirlah karya beliau dengan judul : Bidayatul Mubtadi.
Pandangan beliau tertuju pada matan tersebut, dimana ia berpikir bahwa kitab ini alangkah baiknya bila diberikan penjelasan.
Kifayatul Muntahi adalah syarah pertama untuk Bidayatul Mubtadi’ yang kemudian beliau nilai terlalu luas dan besar.
Dalam upaya menformulasikan sebuah syarah yang tidak besar dan tidak terlalu kecil, terbitlah syarah kedua dengan racikan yang baik-baik saja oleh Al Marghinani sendiri untuk matan Bidayatul Mubtadi dengan judul : Al Hidayah.
Kitab Al Hidayah ini sangat terkenal di kalangan madzab Hanafiyyah bahkan di Madzhab selainnya. Kitab ini juga memiliki syarah yang banyak, diantara syarah yang penting adalah :
1. Fathul Qadir Lil ‘Ajiz Al fakir. Milik Al kamal ibnu Humam wafat 861 H. Beliau juga termasuk salah satu Ulama Maturidiyyah yang populer karena karya ini.
2. AL ‘Inayah ‘Alal Hidayah. Milik Muhammad bin Mahmud Al Babarti wafat 786 H.
3. Al Kifayah Syarhul Hidayah. Milik Jalaluddin bin Syamsyuddin Al Khawarazmi Al Hanafi wafat 767 H.
4. Al Binayah Fi Syarhil Bidayah. Milik Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Al ‘Aini wafat 855 H.
Kitab Hidayah juga diringkas oleh seorang Ulama bernama Burhan Asy Syari’ah.
Kitab Hidayah ini menjadi referensi primer untuk dihafal, dikaji, disyarah dan lain-lain.
Hadits-hadits dalam Al Hidayah sempat ditakhirj (disebutkan derajat haditsnya) oleh seorang Ulama bernama Az Zaila’i dalam kitabnya : Nashbur Ra’i’.
Kemudian Ibnu Hajar Al ‘Asqalani datang untuk meringkas kitab tersebut, beliau sendirikan mukhtasharnya dengan judul : Ad Dirayah.
Dan kelanjutan matan-matan fikih dalam madzhab Hanafiyyah setelah kitab Bidayatul Mubtadi’ sangat beragam dan terus ada, serta syarahnya yang sangat bermacam-macam.
Adalah Imam An Nasafi Abdullah bin Ahmad An Nafasi wafat 810 H menulis sebuah karya dengan judul : Kanzud Daqa’iq.
Kitab ini sangat dikenal di kalangan madzhab Hanafiyyah bahkan pada Ulama kontemporernya, beberapa syarah yang ditulis untuk menjelaskan isi dan meluaskan makna dari kitab di atas antara lain :
1. Tabyinul Haqaiq fi Syarhi Kanzid Daqa’iq. Milik Az Za’ila’i.
2. Al Bahru Raiq fi Syarhi Kanzid Daqa’iq. Milik Ibnu Nujaim.
Berikutnya disusul oleh Al Halabi, beliau bernama Burhanu din Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim al-Halabi wafat 956 Hijriah.
Dengan keilmuan fikih yang beliau kuasai ia mampu menulis sebuah matan untuk fikih Hanafiah dengan menjamakkan tiga matan yang telah disebutkan tadi :
1. Kanzud Daqaiq.
2. Matnul Qadduri.
3. Matnul Wiqayah (mukhtashar al Hidayah).
Imam al Halabi menyusun matannya dengan judul Multaqa al Abhur, dan ini merupakan kumpulan daripada tiga matan di atas. Beliau selesaikan penulisan matan ini pada tanggal 23 Rajab 923 Hijriah.
Di dalam matan tersebut beliau meneyebutkan mana pendapat yang ia setujui dan mana yang bukan pendapatnya sehingga beliau arahkan mana yang menurutnya benar, kuat, dan ‘arjah’.
Matan Multaqa al Abhur memiliki beberapa syarah yang dirasa penting dan mestinya dibaca oleh siapa yang ingin mendalami fikih Hanafiah, antara lain :
1. Majma’ al Anhur fii Syarhi Multaqa al Abhur.
Milik Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman, beliau lebih dikenal dengan nama : Damad Afandi. Wafat 1078 Hijriah.
Pada akhir dari urutan matan dan kitab fikih Hanafi ini, ada seorang yang dikenal dengan sebutan at Tamartasyi atau at Tumurtasyi, nama beliau adalah Muhammad bin Abdillah bin Ahmad Syamsyuddin al Khatib wafat 1004 Hijriah.
Beliau membangun sebuah matan fikih yang dianggap sebagai karya kontemporer pada fikih Hanafiah, judulnya :
Tanwirul Abshar.
Dengannya seorang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali yang akrab dengan sebutan ‘Alaau ad Din al Hashkafi wafat 1088 Hijriah, memberikan syarah untuk matan Tamartasyi tadi, terbitlah karyanya dengan judul :
Ad Durul Mukhtar fii Syarhi Tanwiril Abshar.
Rasanya semakin lengkap bila sebuah syarah yang menjelaskan suatu matan tersebut kemudian diberi catatan kaki atau yang biasa disebut hasyiah (komentar anotatif)
Benar sekali, peran ini diambil oleh seorang Ulama bernama Ibnu ‘Abdin.
Imam Ibnu Abdin, beliau bernama Muhammad Amin bin Umar bin Abdil ‘Aziz ad Dimasyqi wafat 1198 Hijriah.
Hasyiah beliau diberi judul ar Radd al Mukhtar ‘Ala al Durr al Mukhtar juga dikenal dengan nama : Hasyiah Ibn ‘Abdin.
Hasyiah ini merupakan kitab inti dan menjadi pegangan dalam fikih Hanafiah sekaligus sebagai kitab yang mengkonsepsikan madzhab Hanafiah.
Selain Ibnu ‘Abdin yang memiliki hasyiah, di sana juga ada Ulama yang memiliki hasyiah atas al Durr al Mukhtar beliau bernama ath Thahtawi Ahmad bin Ahmad bin Isma’il wafat 1231 Hijriah.
Kitab tersebut berjudul Hasyiatu Tahtawi ‘Ala ad Durr al Mukhtar
Nah, sahabat sekalian. Bila ada di antara kita yang ingin mengetahui lebih detail dan mempelajari fikih Madzhab Hanafiah maka disarankan untuk mendalami dan menguasai kitab-kitab kontemporer terlebih dahulu.
Hal tersebut dikarenakan sudah jelas konsepnya, sudah matang penyusunannya, dan Ulama mu’ashirin (kontemporer) telah mengumpulkan dari awal hingga akhirnya dengan matan bukan lagi bahan yang masih butuh penjelasan lainnya.
Bila kita perhatikan kembali, kitab-kitab kontemporer tersebut antara lain adalah :
1. Tanwirul Abshar milik at Tamartasyi.
2. Ad Durr al Mukhtar milik al Hashkafi.
3. Hasyiah Ibn ‘Abdin.
4. Hasyiah Tahtawi.
5. Multaqa al Abhur serta syarahnya; Majma’ al Anhur.
6. Kanzud Daq’iq serta syarahnya; al Bahru ar Raiq.
Tiga kitab pertama itu bisa kita dapatkan dalam satu majmu, artinya tercetak secara langsung dalam satu buku.
Mencakup matan, syarah, dan hasyiahnya.
Di sana ada juga suatu kitab yang dengannya pembaca bisa mengetahui dalil-dalil yang digunakan dalam fikih Hanafiah, judulnya adalah :
I’la al Sunan.
Kitab tersebut merupakan Karya terkenal dari Ulama bernama Zafar Ahmad bin Lathif al ‘Utsamani wafat 1310 Hijriah.
Dikatakan pula bahwa beliau menghabiskan waktu selama 20 tahun untuk menyusun buku ini yang mencakup kurang lebih 6.100 hadits dan sumbernya.
Pada asalnya guru beliau bernama Asyraf Ali Thanwi memberikan kepercayaan kepada Zafar untuk menuntaskan tulisan ini dan tercetak dalam 12 jilid banyaknya beberapa cetakan mencapai 19 jilid , mulai dari ayat Quran, Hadits Nabawiyyah, dan Atsar para Sahabat.
Subhanallah, bagaimana dengan kita?
Sehingga kesimpulannya kita tambahkan bahwa berikut buku-buku kontemporer supaya kita bisa mengetahui pendapat yang sudah melalui tahap seleksi dan penyaringan.
Ulama kontemporer pun juga sangat besar andilnya dalam hal ini, sehingga banyak banyaklah berterima kasih!!
Kitab-kitab itu antara lain :
1. Fathul Qadir milik Ibnul Humam.
2. Badai’ as Sanai’ milik al Kasani.
3. Ahkamul Quran milik Hujjatul Islam Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali ar Razi al Jasshash.
Kitab ini merupakan ulasan tafsir namun bercorak fikih Hanafi.
Kitab ini dinilai amat penting dalam madzhab Hanafi, tidak sedikit dari muqallid (fanatikus) yang selalu menjadikannya sebagai ‘hand book’ (buku pegangan) dalam fikih mereka.
4. Al Lubab fi Syarhil Kitab milik Abdul Ghani al Ghunaimi.
Terakhir, sebagai penutup kita sebutkan beberapa buku yang menjelaskan tentang tanya jawab dan fatwa daripada permasalahan
fikih dalam madzhab Hanafiah, antara lain :
1. Al Fatawa al Hindiyyah atau al Fataawa al ‘Aarimkiriyyah. Milik Syaikh Nidzamu ad Diin al Barnabuuri.
2. Al Fataawa al Bazzaziyyah (al Jaami’ al Wajiiz) milik Muhammad bin Muhammad bin Syihab bin Yusuf al Bazzaziy, wafat 827 Hijriah.
3. Al Fataawa Qadhikhan milik Fakhru ad Diin Abul Mahasin al Hasan bin Manshur dikenal dengan sebutan Qadhikhan (disambung penulisannya), wafat 592 Hijriah.
Mudah mudahan yang ringkas dan sedikit ini bisa membantu teman yang ingin mempelajari dan mengetahui lebih dalam tentang Madhzab Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit rahimahullah.
Semoga Allah memberi taufik.
join us : https://t.me/DermaCerita
Al-Akh Hisyam al-Junaidi hafizahullah
KOMENTAR