Beginilah kronologi sejarah disyariatkan ibadah puasa.
Bagaimana Sejarah Disyariatkan Puasa?
Ketahuilah, bahwa kewajiban puasa turun tidak secara langsung. Namun, melewati empat fase:
1. Puasa satu hari. Yaitu pada tanggal 10 Muharram. Dikenal dengan puasa Asyura. Dulu hukumnya wajib, setelah itu hukum di dihapus, dan menjadi sunnah. Sebagaimana perkataan Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha,
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ لاَ يَصُومُهُ" (رواه البخاري (3831)، ومسلم (1125)
"Dulu Quraisy dimasa jahiliyyah berpuasa asyura'. Nabi juga berpuasa. Ketika telah hijrah ke kota Madinah Nabi masih berpuasa (asyura') dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Kemudian tatkala kewajiban puasa ramadan turun, maka siapa yang ingin puasa asyura silakan, yang tidak juga boleh (sunnah)". (HR. Bukhari Muslim)
2. Puasa Ramadan 30 hari dengan pilihan. Boleh puasa atau berbuka. Namun, yang berbuka wajib memberi makan seorang miskin. Dan yang berpuasa lebih baik dari yang berbuka.
Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan orang-orang yang mampu berpuasa boleh untuk membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin. Yang memberi makan itu baik, namun yang berpuasa lebib baik jika kalian mengetahui". (QS.Al Baqarah: 184)
Salamah bin Al Akwa' berkata:
"Dulu berpuasa di bulan Ramadan pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan pilihan. Yang ingin berpuasa silakan, yang tidak, boleh berbuka dengan syarat memberi makan orang miskin, hingga turunlah ayat,
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
"Barangsiapa yang melihat hilal maka wajib berpuasa". (HR. Muslim)
3. Wajib berpuasa 30 hari dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, orang yang tertidur hingga terbenamnya matahari tidak diperbolehkan baginya untuk makan, minum atau jima' hingga malam berikutnya.
Ada kisah unik tentang ini.
عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ، وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ، فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ " رواه البخاري (1915).
Dari Kaab bin Malik beliau bercerita, "Dulu para sahabat Nabi apabila tertidur di waktu berbuka, maka dia tidak boleh makan, dan minum apabila terbangun hingga keesokan harinya.
Nah suatu ketika sahabat
Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dan ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya dan bertanya,’Apakah ada makanan?’
Istrinya menjawab,’Tidak, namun aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.’ Pada hari itu, Qais bekerja seharian sehingga dia pun tertidur (ketika menunggu istrinya mencari makanan, pen). Ketika istrinya tiba kembali dan melihat Qais tertidur, istrinya berkata,’Rugi kamu.’
Di tengah siang Qais pun terbangun dan menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat,
"Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dengan turunnya ayat ini para sahabat Nabi sangat bergembira .
4. Wajib berpuasa 30 hari secara mutlak, dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya mentari, kecuali bagi musafir dan orang yang sakit. Sejak turunnya ayat,
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَر
"Barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya". (QS. Al Baqarah: 185).
Lalu boleh mencampuri istri di malam harinya. Apakah dia tertidur saat waktu buka atau tidak, sebagaimana ayat diatas.
Allah berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
"Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah:187)
Dan inilah yang diamalkan mulai diwajibkannya, yaitu bulan sya'ban tahun kedua hijriyyah hingga masa kini.
Maka fase yang kedua (memberi makan sebagai fidyah) berlaku bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, sebagaimana penuturan Ibnu Abbas.
Kenapa Allah tidak mewajibkan puasa secara langsung. Namun secara bertahap.
Ibnul Qayyim menjelaskan,
1. "Puasa belum terbiasa dilakukan ketika itu. Karena di dalam puasa wajib meninggalkan perkara yang disenangi. Nah karena hikmah yang tinngi; Allah mewajibkannya secara bertahap. Makanya diawal dengan pilihan. Hingga tahap akhir diwajibkan".
2. Agama islam itu tegak diatas kemudahan.
Disadur dari Miftah dar Assa'adah. Zadul Maad, Tafsir Ibnu Katsir. Majalah Asy Syariah.
https://t.me/Teladanumat
KOMENTAR