FIKIH KOTORAN HEWAN HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN HEWAN Pengertian Najis: النجاسة: عين مستقذرة شرعًا[حاشية ابن عابدين (1/85)] "Benda na...
FIKIH KOTORAN HEWAN
HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN HEWAN
Pengertian Najis:
النجاسة: عين مستقذرة شرعًا[حاشية ابن عابدين (1/85)]
"Benda najis adalah dzat (benda) yang kotor secara syariat. (Hasyiah Ibnu Abidin, 1/85)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan:
من ادعى نجاسة أو تحريما لم يصدق إلا بدليل من نص قرآن أو سنة صحيحة (المحلى بالأثر، مسالة: ٣٩٤)
"Barangsiapa yang menetapkan sesuatu hukumnya najis atau haram maka yang demikian tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dalil dari ayat al-Qur'an atau hadits yang shahih." (al-Muhalla bil Atsar, masalah ke 394)
Ibnu Taimiyah mengatakan:
الفقهاء كلهم اتفقوا على أن الأصل في الأعيان الطهارة. وأن النجاسات محصاة مستقصاة. وما خرج عن الضبط والحصر فهو طاهر. (الفتاوى، ٢١\٥٤٢\٥٩١)
"Para ulama ahli fikih semuanya sepakat bahwa hukum asal pada dzat-dzat (benda-benda) adalah suci. Dan adapun benda-benda najis maka jumlahnya bisa dihitung dan terbatas. Sehingga apa yang diluar dari apa yang telah diatur dan dibatasi (dalam syariat) maka sesuatu itu adalah suci." (Majmu' al-Fatawa, 21/542/591)
Di tempat yang lain beliau juga mengatakan:
الأصل الجامع: طهارة جميع الأعيان حتى تتبين نجاستها. فكل مالم يبين لنا انه نجس فهو طاهر. (الفتاوى، ٢١\٥٣٦)
"Hukum asal secara keseluruhan adalah sucinya segala sesuatu (benda) sampai nampak jelas hukum kenajisannya. Sehingga tiap sesuatu yang tidak dijelaskan kepada kita bahwa sesuatu itu hukumnya najis maka sesuatu itu hukumnya adalah suci." (Majmu' al-Fatawa, 21/536)
Dalam pembahasan ringkas ini ada beberapa poin permasalahan:
Masalah Pertama : Air kencing dan kotoran manusia.
Kaum muslimin telah ijma' (sepakat) bahwasanya air kencing dan kotoran orang dewasa hukumnya adalah najis.
Penetapan hukum ijma' (sepakat) ini dinukil dari mayoritas para ulama seperti:
a. Al-Imam ath-Thahawi dalam kitabnya "Syarh Ma'anil Atsar" (1/109).
b. Al-Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya "Bidayatul Mujtahid" (2/175, 192).
c. Al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya "al-Majmu' Syarhul Muhadzab" (2/567).
d. Al-Imam Ibnul Mundzir dalam kitabnya "al-Ijma" (hal. 24).
e. Al-Imam ash-Shan'ani dalam kitabnya "Subulus Salam" (1/34).
f. Asy-Syaukani dalam kitabnya "Nailul Author" (1/61).
Dan selain mereka.
Adapun hukum air kencing untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan menurut para ulama terbagi ke dalam 2 pendapat.
Dan pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas para ulama yang menyatakan bahwa air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan demikian pula bayi perempuan hukumnya adalah najis dikarenakan banyaknya perintah untuk membersihkannya baik dengan diperciki atau dicuci. Walaupun najisnya itu lebih ringan daripada najis air kencing orang dewasa.
Dan ada keringanan pada air kencing bayi laki-laki cara membersihkannya cukup diperciki air saja dan tidak perlu dicuci dalam rangka meringankan dikarenakan (si bayi laki-laki) selalu dibawa (digendong) kemana-mana.
Masalah Kedua : Air kencing dan kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini dan terbagi ke dalam 2 pendapat.
Adapun pendapat yang paling kuat - sebagaimana pendapat 4 imam madzhab - hukumnya adalah najis.
Dalil-dalil mereka adalah bahwasanya hewan-hewan ini diharamkan dikarenakan dagingnya kotor demikian pula air kencing dan kotorannya. Dan demikian pula kita dilarang untuk makan hewan Jalalah (hewan yang halal untuk dimakan akan tetapi binatang tersebut makanannya dari kotoran) yang memakan benda-benda najis (seperti ikan lele yang diberi makanan kotoran manusia).
Dan hewan-hewan ini (hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya) secara dzatnya memang dagingnya kotor dan bukan kotor karena disebabkan makan benda-benda kotor.
Dan dikarenakan Islam memberikan keringanan pada air sisa jilatan kucing dalam bejana karena kucing adalah hewan yang hidupnya selalu ada di seputar kita.
Maka diketahui dari sini mengandung konsekuensi bahwa untuk kenajisan hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah secara dzatnya dan keadaan hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah haram.
Dan apabila demikian keadaannya pada air sisa jilatan hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya tersebut maka apa menurutmu dengan air kencing dan kotorannya?.
Karena sesungguhnya hal itu (air kencing dan kotoran) lebih najis daripada air sisa jilatannya.
Masalah Ketiga : Air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya.
Dalam masalah ini ada 2 pendapat:
Pendapat pertama: Hukumnya suci dan ini merupakan pendapat yang paling kuat.
Ini merupakan pendapat al-Imam Malik, Dawud azh-Zhahiri, al-Imam Ahmad dan sebagian salaf serta Ibnu Taimiyah, al-Imam asy-Syaukani dan al-Imam ash-Shan'ani.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Hadits Uraniyyin yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas radhiyallahu 'anhu:
((وأن أناسا من عرينه قدموا إلى المدينة فتضرروا بالإقامة فيها، فأمرهم النبي صلى الله عليه وسلم أن يلحقوا بإبل الصدقة، ويشربوا من أبوالها وألبانها، فلما صحوا، قتلوا الراعي و سرقوا الإبل، فقبض عليهم، وفعل بهم متت فعلوا بالراعي)) (فتح الباري، ١/٣٣٩)
"Suatu ketika ada sekelompok orang dari suku Urainah datang ke kota Madinah dan bermukim di kota tersebut. Namun rupanya iklim kota Madinah kurang cocok bagi mereka sehingga mereka pun jatuh sakit. Maka nabi shalallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk tinggal di dekat kandang onta zakat sambil mereka minum dari air kencing dan susunya. Ketika mereka sudah sembuh dari sakit, mereka justru membunuh sang penggembala onta dan mencuri onta-onta tersebut. Maka mereka pun ditangkap, dan mereka pun diperlakukan (dihukum bunuh) sebagaimana mereka membunuh sang penggembala." (Fathul Bari, 1/339)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
فإذا أطلق الإذن في ذلك، ولم يشترط حائلا بقي من الأبوال، وأطلق الإذن في الشرب لقوم حديثي العهد بالإسلام، ولم يأمرهم بغسل أفواههم وما يصيبهم منها لأجل صلاة ولا غيرها، دل ذلك على مذهب القائلين بالطهارة. (نيل الأوطار، ١\٦٢)
"Maka apabila diperbolehkan secara mutlak pada hal demikian, dan tidak dipersyaratkan adanya penghalang pada air kencing (hewan yang boleh dimakan dagingnya) yang lain, kemudian diperbolehkan pula untuk minum pada kaum yang baru masuk Islam, serta mereka tidak diperintahkan untuk mencuci mulut-mulut mereka (dari meminum air kencing onta) dan apa yang terkena percikan darinya dikarenakan dalam rangka melaksanakan salat atau selain ibadah salat, sehingga cukuplah hal ini sebagai dalil bagi madzhab yang berpendapat sucinya air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya." (Nailul Authar, 1/62)
Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah mengatakan:
ولو كانت الأبوال من الإبل ونحوها نجسة، لأمرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بغسل أفواههم عنها وأوضح لهم حكمها ...(فتح الباري، بتحقيق الشيخ ابن باز، ١\٣٣٩)
"Dan kalau seandainya air kencing-air kencing dari onta dan selainnya (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya) adalah najis, niscaya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam akan memerintahkan mereka untuk mencuci mulut-mulut mereka dari air kencing tersebut dan beliau akan menjelaskan hukumnya kepada mereka." (Fathul Bari tahqiq asy-Syaikh Ibn Baz, 1/339)
Dan mereka (para ulama) mengatakan:
وتحليل التداوي بها دليل على طهارتها، فأبوال الإبل وما يلحق بها طاهرة، لأنه لا يجوز التداوي بحرام
"Dan dihalalkannya berobat dengan (meminum) air kencing-air kencing onta maka ini menunjukkan akan sucinya air kencing onta. Maka air kencing onta dan yang sejenisnya (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya) hukumnya adalah suci. Dikarenakan tidak diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang haram.
Dan disana ada perkataan sahabat Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu:
إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم.(السلسلة الصحيحة للألباني، ١٦٣٣)
"Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan penyembuhan (terapi penyakit), pada perkara-perkara yang telah diharamkan atas kalian." (As-Silsilah Ash-Shahihah lil Albani, no. 1633)
2. Hadits:
صلوا في مرابض الغنم. (رواه الترمذي، إرواء الغليل رقم ١٧٦)
"Salatlah kalian di kandang-kandang kambing." (HR. at-Tirmidzi, Irwaul Ghalil no. 176)
Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam,
أصلي في مرابض الغنم؟ قال: نعم
"Apakah aku boleh salat di kandang-kandang kambing?, Kata Rasulullah: Ya."
Para ulama berkata:
"Kalau seandainya kotoran-kotoran kambing dan air kencingnya adalah najis niscaya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan sahabat untuk salat di kandang kambing. Maka cukuplah hal ini menunjukkan akan kesucian kotoran dan air kencingnya."
3. Bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam thawaf diatas hewan
tunggangannya dan memasukkannya ke dalam Masjidil Haram, sehingga tidak ragu lagi yang demikian ini meninggalkan noda di masjid baik air kencingnya atau kotorannya.
Kalau seandainya hal ini najis, niscaya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam akan menerangkannya.
Ibnu 'Abbas berkata:
طاف النبي على بعير (البخاري معلقا، ٤٦٤)
"Nabi melakukan thawaf diatas onta." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara muallaq, no. 464)
Demikian pula:
أمر أم سلمة أن تطوف من وراء الناس وهي راكبة (البخاري، ١٦١٩)
"Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Salamah untuk berthawaf di belakang manusia dalam keadaan menunggang hewan." (HR. al-Bukhari no. 1619)
Ibnu Bathal rahimahullah mengatakan:
وفي هذا الحديث: جواز دخول الدواب التي يؤكل لحمها المسجد لأن بولها لا ينجسه بخلاف غيرها من الدواب (الفتح: ٤٦٤)
"Dan dalam hadits ini menunjukkan tentang bolehnya memasukkan hewan-hewan yang boleh dimakan dagingnya ke dalam masjid dikarenakan air kencingnya tidak menajiskan berbeda dengan hewan lainnya." (Fathul Bari, hal. 464)
4. Diantara dalil-dalil yang lain adalah:
Kalau seandainya 2 hal ini (air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya) hukumnya najis, niscaya nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam akan menerangkannya kepada kita.
Namun ternyata beliau tidak menerangkannya, sehingga menunjukkan hal ini tidaklah najis.
Dan ditinjau dari sisi yang lain juga bahwasanya hewan-hewan ini sering sekali bersentuhan dengan manusia. Mayoritas peliharaan yang dimiliki masyarakat saat itu adalah onta dan kambing.
Kalau seandainya air kencing dan kotorannya adalah najis maka wajib mencuci baju, badan dan bejana-bejana yang terkena air kencing dan kotoran tersebut. Dan wajib pula mensucikan tanah yang terkena percikan najis tersebut sebagaimana disucikannya tanah dari air kencingnya Arab Badui. Demikian pula wajib mencuci tangan yang terkena kencing atau kotoran dan yang lain-lain dari hukum-hukum najis.
Kalau seandainya hal itu adalah najis, niscaya Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam akan menerangkannya kepada kita.
Maka cukuplah hal ini menunjukkan akan kesucian air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya.
5. Diantara dalil-dalil yang lain adalah:
Bahwasanya hukum asal segala sesuatu adalah suci hingga datang keterangan (nash) yang mengharamkannya atau menghukumi akan kenajisannya.
Dan ternyata tidak ada keterangan (nash atau dalil), tidak pula dinukil adanya kesepakatan para ulama tentang najisnya air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
والظاهر طهارة الأبوال والأزبال من كل حيوان يؤكل لحمه، تمسكا بالأصل واصطحابا للبراءة الأصلية. والنجاسة حكم شرعي ناقل عن الحكم الذي يقتضيه الأصل بالبراءة فلا يقبل قول مدعيا إلا بدليل. ولم نجد للقائلين بالنجاسة دليل كذلك...(نيل الأوطار: ١/٦١)
"Dan yang nampak hukumnya adalah sucinya air kencing dan kotoran semua hewan yang boleh dimakan dagingnya. Dalam rangka berpegang pada hukum asal dan tetap berlakunya hukum asal segala sesuatu yaitu mubah (boleh) hingga ditemukan dalil yang menyatakan keharaman.
Adapun najis merupakan hukum syar'i yang berpindah dari hukum asal yang berkonsekuensi mubah (boleh)nya sesuatu tersebut. Sehingga tidak diterima ucapan, pendapat atau fatwa yang menetapkan
hukum terhadap sesuatu melainkan dengan dalil. Dan kita tidak mendapati adanya dalil dari pendapat-pendapat yang menetapkan kenajisannya." [Nailul Author, 1.61]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
"...وهو إِجماع الصحابة والتابعين ومَنْ بعدهم في كل عصر ومصر على دياس الحبوب من الحنطة وغيرها بالبقر ونحوها، مع القطع ببولها وروثها على الحنطة، ولم ينكر ذلك منكر، ولم يغسل الحنطة لأجل هذا أحدٌ، ولا احترز عن شيء ممَّا في البيادر؛ لوصول البول إِليه، ولا أعلم لمن يخالف هذا شبهة..."(الفتاوى(٢١/ ٥٨٣ و ٥٨٤)).
"...dan hal itu merupakan kesepakatan para sahabat, tabiin dan generasi yang datang setelahnya pada setiap waktu dan tempat terhadap alat penggiling biji-biji gandum dan selainnya dengan menggunakan sapi dan semisalnya. Dalam keadaan memungkinkan jatuhnya air kencing dan kotoran hewan tersebut mengenai gandum. Namun diantara mereka tidak ada pengingkaran terhadap perkara tersebut. Dan tak seorangpun yang kemudian mencuci gandumnya karena terkena air kencing dan kotoran hewan tersebut. Dan mereka juga tidak mengambil tindakan pencegahan dengan sesuatu yang bisa melindungi tempat penggilingan dari percikan air kencing dan kotoran hewan tersebut. Aku juga tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi kemungkinan tersebut." [al-Fatawa, jilid 21, hal. 583 dan 584]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah ditanya tentang air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya, apakah air kencingnya najis?
Beliau menjawab:
أما بول ما يؤكل لحمه وروث ذلك، فإن أكثر السلف على ذلك ليس بنجس. وهو مذهب مالك وأحمد وغيرهما. ويقال أنه لم يذهب أحد من الصحابة إلى تنجيس ذلك. بل القول بنجاسة ذلك قول محدث. لا سلف له من الصحابة. وقد بسطنا في هذه المسألة في كتاب مفرد. وبينا فيه بضعة عشر دليلا شرعيا. وأن ذلك ليس بنجس. و القائل بتنجيس ذلك ليس معه دليل شرعي على نجاسته أصلا...(الفتاوى، ٢١/٦١٣)
"Adapun air kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya dan kotorannya, maka mayoritas salaf berpendapat bahwa yang demikian hukumnya tidak najis.
Ini merupakan pendapat Malik, Ahmad dan selain keduanya. Juga disebutkan tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berpendapat tentang kenajisannya. Bahkan pendapat yang menyatakan tentang kenajisannya adalah pendapat yang baru, yang tidak ada salaf (pendahulu) padanya dari kalangan sahabat. Dan kami telah menguraikan secara panjang lebar tentang masalah ini dalam kitab tersendiri. Kami terangkan dalam kitab tersebut antara 13 sampai 19 dalil syar'i dalam hal ini dan bahwasanya yang demikian tidaklah najis.
Dan pendapat yang menyatakan najisnya perkara yang demikian maka tidak ada dalil syar'i secara asal tentang kenajisannya." [al-Fatawa, jilid 21, hal. 613]
Pendapat Kedua:
Bahwasanya air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah najis.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, al-Imam asy-Syafi'i dan Ibnu Hazm pada 15 halaman dalam kitabnya yaitu "al-Muhalla" (jilid 1, hal. 168-182).
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Hadits:
استَنْزِهُوا من البول؛ فإنَّ عامَّة عذاب القبر منه.
"Sucikanlah diri kalian dari air kencing karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur adalah dari air kencing (yang tidak dibersihkan)." [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Para ulama mengatakan:
بول الإنسان نجس بالإجماع فيقاس عليه غيره من الأبوال.
"Air kencing manusia hukumnya adalah najis dengan kesepakatan (para ulama) maka kiyaskanlah atasnya pada air kencing yang lainnya."
2. Hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha.
أمر رسول الله ببناء المساجد في الدور وأن تطيب وتنظف.
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk membangun masjid-masjid di kampung-kampung dan memberi wangi-wangian dan membersihkan." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 389)
Para ulama mengatakan:
وهذا يوجب الكنس لها من كل بول وبعر وغيره من الأبوال
"Dan (hadits) ini mengharuskan (kita) untuk membersihkan masjid-masjid dari setiap kencing, kotoran hewan dan semua bentuk air kencing."
3. Hadits Anas radhiyallaahu 'anhu:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خلقا، فربما تحضر الصلاة وهو في بيتنا فيأمر بالبساط الذي تحته فيكنس، ثم ينضح، ثم يؤم رسول الله صلى الله عليه وسلم ونقوم خلفه فيصلي بنا. (أخرجه مسلم، ١.٨٩)
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling bagus akhlaknya. Suatu ketika telah tiba waktu salat dalam keadaan beliau sedang berada di rumah kami. Maka beliau memerintahkan alas karpet yang berada di bawah beliau untuk disapu dan diperciki (dengan air). Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengimami dan kami berdiri di belakang beliau kemudian salat bersama kami." (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1089)
Para ulama mengatakan:
فهذا أمر بكنس ما يصلي عليه و نضحه ليطهر من كل شيء
"Maka perintah untuk menyapu tempat salat dan memercikinya dengan air adalah dalam rangka membersihkan (tempat tersebut) dari segala sesuatu (kotoran)."
4. Telah disebutkan dari sebagian salaf tentang perintah untuk mencuci (bekas) air kencing onta dan yang semisalnya.
Riwayat ini disebutkan dari Ibnu 'Umar, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Said bin al-Musayyib, az-Zuhri, Ibnu Sirin dan selain mereka.
5. Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan:
قوله صلى الله عليه وسلم: لا تصلوا في مبارك الإبل فإنها خلقت من الشياطين.
"Ucapan Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam "janganlah kalian salat di tempat-tempat menderumnya onta" dikarenakan tempat menderumnya onta diciptakan dari setan-setan."
Larangan ini menunjukkan akan najisnya air kencing dan kotoran onta.
6. Ibnu Hazm juga mengatakan:
إما إباحة شرب أبوال الإبل في حديث العرنيين فهو على سبيل التداوي بمنزلة الضرورة
"Bisa jadi kebolehan minum air kencing onta dalam hadits 'uraniyyin, hal itu dilakukan karena dalam rangka pengobatan yang kedudukannya darurat."
Wallahu a'lam.
Referensi:
Kitab "Hukmu Abawal wa Arwats al-Hayawanat" karya asy-Syaikh Ibrahim bin 'Abdillah al-Mazru'i Hafizhahullah.
Ditulis Ustadz Muhammad Rifqi hafizhahullah
KOMENTAR