KISAH PERJUANGAN DAN SUSAH PAYAH IMAM ABU HATIM AR-RAZI RAHIMAHULLAH DALAM RIHLAH MENCARI ILMU
Bagian 1
Imam Abu Hatim (Muhammad bin Idris bin Al-Mundzir bin Dawud bin Mihran Al-Hanzhali Al-Ghathfani Ar-Razi) rahimahullah merupakan seorang imam, hafizh, pakar & gurunya para ahli hadits. Seorang yang dikenal gigih dalam mencari ilmu hadits, sampai-sampai dikisahkan bahwa beliau beberapa kali keliling banyak negeri demi menuntut ilmu syar'i. Beliau pernah berkata,
"Aku menghitung perjalanan dengan kedua kakiku untuk mencari hadits lebih dari 1000 farsakh (sekitar 6000 kilometer). Aku beberapa kali bepergian dari Mekkah menuju Madinah. Kemudian aku lanjutkan dari Bahrain menuju Mesir, dari Mesir menuju Ramlah, dari Ramlah menuju Baitul Maqdis dan Tiberias, dari Tiberias menuju Damaskus/ Ibu kota Suriah, dari Damaskus menuju Homs, dari Homs menuju Antakya, dari Antakya menuju Tarsus, kemudian aku kembali ke Homs. Kemudian aku keluar dari Homs menuju Beit She'an, dari Beit She'an menuju Ar-Raqqah. Dari Ar-Raqqah, aku menyisir sungai Efrat untuk menuju Baghdad/ Irak. Sebelum aku pergi ke Syam, aku pergi ke Wasith, dari Wasith aku menuju Kufah. Semua itu aku lalui dengan berjalan kaki. Itu merupakan safarku yang pertama saat aku berusia 20 tahun, aku habiskan waktu 7 tahun untuk mengembara pada safar pertamaku itu."
"Aku meninggalkan kota Rey pada tahun 213 H. Aku pergi untuk safar keduaku pada tahun 242 H. Aku pun kembali pada tahun 245. Aku pergi haji pertamaku pada tahun 215 H, kemudian haji kedua pada tahun 235 H, kemudian haji ketiga pada tahun 242 H, kemudian haji keempat pada tahun 255 H, pada tahun tersebut aku bersama putraku, Abdurrahman untuk pertama kalinya pergi haji ke Baitullah pada usia 15 tahun."
Abu Hatim juga pernah berkisah,
"Aku pernah tinggal di Basrah pada tahun 214 H selama 8 bulan, awalnya, aku berencana untuk tinggal selama satu tahun, tetapi mata pencaharianku terputus. Mulailah aku menjual baju yang melekat di badanku sedikit demi sedikit, sampai sama sekali tak ada yang tersisa dariku.
Aku habiskan waktuku untuk berkeliling mendengarkan ilmu dari para ulama hingga petang. Ketika temanku kembali ke tempatnya, aku pun kembali ke rumah kosong, aku hanya minum air karena rasa lapar yang menimpaku. Pada esok harinya, temanku datang, kemudian kami berkeliling lagi untuk mendengarkan hadits pada kondisi lapar sekali. Ini terus berlanjut setiap hari.\
Ketika esok harinya, temanku datang lagi kepadaku dan berkata, "Ayo kita pergi ke majelis para ulama!" Maka aku pun menjawab, "Badanku sudah lemah, sudah tak mungkin lagi untuk pergi." Maka ia pun bertanya kepadaku, "Apa yang membuatmu lemah?" "Aku tidak bisa lagi menyembunyikan keadaanku, sudah beberapa hari aku tidak makan." Ujarku kepada kawanku. Maka dia pun berkata, "Aku punya sisa beberapa dinar uang, aku bagi dua, untukku dan untukmu, kamu simpan di kantongmu."
Maka kami dan dua kawanku pun keluar dari kota Basrah. Kami waktu itu berada di lautan. Lalu aku mengalami mimpi basah, maka kawanku berkata, "Celupkanlah dirimu ke laut!" Aku menjawab, "Aku tidak pandai berenang." Maka mereka berkata, "Kalau begitu, kami akan mengikatkan tali kepadamu dan kami akan menggantungkanmu di atas air." Lalu mereka mengikatkan tali temali di badanku dan mulai menurunkanku ke bawah. Aku pun bersegera untuk berwudhu sebelum aku tenggelamkan badanku ke dalam air. Setelah selesai, maka aku berkata kepada mereka, "Coba turunkanlah diriku pelan-pelan!" Maka aku celupkan diriku ke dalam air kemudian aku katakan, "Angkatlah diriku ke atas!" Lalu mereka mengangkatku ke atas kapal.
Faedah yang dapat kita ambil dari sekelumit kisah di atas:
1. Menuntut ilmu di usia yang muda dari para salaf.
2. Anjuran untuk rihlah mencari ilmu, tidak merasa cukup dengan guru yang berada di negerinya.
3. Mereka bersabar atas segala rintangan dan cobaan dalam mencari ilmu, dan ha itu bukan menjadi alasan mereka malas dan putus asa.
4. Seorang yang sedang junub, kemudian dia menyeburkan dirinya ke dalam air sehingga basah semua anggota badannya dengan meniatkan mandi janabah, maka hal itu sudah dianggap sah, dan dia menjadi suci dari hadats besarnya tersebut.
Referensi:
1. Siyarus Salafis Shalihin, karya Isma'il Al-Ashbahani.
2. 'Uluwwul Himmah, karya Muhammad bin Ahmad Al-Muqaddim.
Cirebon, Jumat 21 Rajab 1445 H/ 2 Februari 2024. Komplek Ponpes Dhiyaa’us Sunnah.
===========
Bagian Kedua
... Kejadian tersebut pasca kami menghadiri majelisnya Dawud Al-Ja'fari rahimahullah dan hendak meninggalkan kota Basrah. Maka setelah kejadian itu, kami terus berlayar di laut. Kala itu kami berjumlah tiga orang; Abu Zuhair Al-Marwadzi, seorang syaikh tua, dan yang lainnya yang berasal dari Naisabur. Angin bertiup kencang ke wajah kami. Kami berlayar di laut selama 3 bulan. Waktu yang begitu lama itu membuat dada kami sesak, bekal kami habis, hanya sedikit saja yang tersisa.
Kemudian sampailah kami ke daratan. Kami pun berjalan di daratan selama beberapa hari sampai bekal air dan makanan kami habis. Sehari semalam kami berjalan tanpa makanan dan minuman. Hal yang sama terjadi pada hari kedua dan ketiga. Ketika tiba malam hari, kami menunaikan salat lalu berbaring di tempat kami berhenti. Pada pagi hari ketiga, kami berjalan semampu kami mengandalkan kekuatan yang tersisa.
Tiba-tiba, syaikh tua tersebut pingsan. Kami mencoba membangunkannya, namun dia tidak sadarkan diri. Kami meninggalkannya dan melanjutkan perjalanan. Aku dan temanku dari Naisaburi berjalan sejauh satu atau dua farsakh (sekitar 6-12 kilometer), namun aku lelah lalu pingsan. Temanku meninggalkanku di tempat tersebut dan terus berjalan.
Dia terus berjalan sampai melihat dari jarak yang jauh sekelompok orang yang mendekati kapal mereka ke daratan. Mereka turun di telaga yang disebut dengan bi'r Musa. Ketika temanku melihat sekelompok tersebut ia segera melambaikan dengan bajunya kepada mereka. Mereka datang membawa kantong yang berisikan air, lalu memberi minum temanku tersebut dan menggapai tangannya. Kemudian temanku berkata kepada mereka, "Di belakang sana ada dua temanku yang pingsan." Kemudian mereka menghampiriku. Saat itu, aku tak merasakan apa-apa kecuali ada seseorang menuangkan air ke wajahku. kubukakan mataku dan berkata, "Tolong berikanku minum!"
Maka orang tersebut menuangkan air ke dalam sebuah wadah atau bejana dengan jumlah yang sedikit. Orang itu menggandeng tanganku, spontan aku berkata, "Di belakangku ada seorang yang tua tergeletak pingsan."
"Orang tua tersebut telah didatangi oleh sekelompok kawan-kawanku." jawab orang itu. Kemudian ia menggandeng tanganku dalam kondisi aku berjalan dengan menyeret kakiku, dia memberiku minum secara berulang-ulang.
Perlu diketahui bahwa kebiasaan orang Arab ketika ada seseorang yang sedang kehausan yang sangat, atau dalam kondisi kelaparan, atau menetap cukup lama di suatu tempat hingga ia hampir mati kehausan, mereka membawakan air untuknya dan mencampurkan air tersebut dengan jerami, sehingga orang tersebut tidak dapat minum air secara terus-menerus (demi menghemat persediaan air, pent), sebab ia perlu menghilangkan jerami dari air itu saat hendak minum, dan ini telah dilakukan sejak zaman dahulu.
Bersambung..
Faedah yang dapat kita ambil dari sekelumit kisah di atas:
1. Saling tolong-menolong untuk meringankan kesulitan saudaranya.
2. Para salaf, dahulu mereka berbulan-bulan lamanya berlayar di laut dan berjalan daratan. Itu semua mereka korbankan untuk mencari hadits.
3. Mencari bantuan pertolongan untuk menyelamatkan saudaranya dari kebinasaan.
4. Lapar dan haus sudah menjadi perihal mereka dalam rihlah mencari ilmu, dan itu bukan halangan dan hambatan yang akhirnya mereka tidak lagi rihlah mencari ilmu.
Referensi:
1. Siyarus Salafish Shalihin, karya Isma'il Al-Ashbahani.
2. 'Uluwwul Himmah, karya Muhammad bin Ahmad Al-Muqaddim.
Cirebon, Ahad 23 Rajab 1445 H/ 04 Februari 2024. Komplek Ponpes Dhiya'uss Sunnah.
============
Bagian Ketiga
...Kemudian Abu Hatim meneruskan ceritanya, "Maka aku berjalan sambil dipapah, hingga aku sampai di kapal mereka. Mereka membawa rekan ketiga kami, yakni seorang syaikh tua. Mereka memperlakukan kami dengan baik. Kami dipersilahkan tinggal di kapal mereka beberapa hari sampai kondisi kami pulih. Kemudian mereka menulis surat buat kami agar diserahkan kepada gubernur kota Rey. Mereka juga memberi kami roti, bubur, dan air.
Kemudian setelah itu kami kembali berjalan menuju kota Rey, hingga di tengah perjalanan, kami pun kembali kehabisan air, bubur, dan roti yang kami bawa. Kami teruskan perjalanan menyusuri pantai dengan perut yang lapar dan dahaga yang sangat. Sampai akhirnya kami menemukan seekor penyu yang tempurungnya seperti perisai. Kami pun mengambil batu besar dan memukul punggung penyu hingga punggungnya terbelah. Di dalamnya terdapat seperti kuning telur ayam. Kami mengambil beberapa cangkang kerang yang terdampar di tepi laut lalu merobek kuning telur itu. Kita pun menyeruputnya, sehingga rasa lapar dan haus kami perlahan menghilang."
Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan sambil menahan segala kesulitan yang ada, hingga kami memasuki kota Rey (kota yang ada provinsi Teheran, Iran). Kami pun menyerahkan surat yang dititipkan kepada kami untuk gubernur kota Rey. Kami pun dipersilahkan untuk tinggal di rumahnya. Kami mendapatkan perlakuan baik darinya.
Pada setiap harinya, ia memberikan kami makanan buah labu. Sehari-harinya ia berbicara dengan bahasa Persia. Maka pada suatu hari dia berkata kepada pelayannya, "Berikanlah untuk mereka buah labu ini saja!", yakni dia masih sedikit kikir kepada kami karena yang diberikannya hanya buah labu di setiap harinya. Maka pembantu itu pun memberikan buah labu kepada kami.
Pada suatu hari ia menyajikan untuk kami buah labu bersama roti. Salah satu dari kami pun berkata dengan menggunakan bahasa Persia, "Bolehkah kami minta daging?!"
Sontak pemilik rumah tersebut yang merupakan seorang gubernur mendengarnya dan bertanya kepadanya. Maka temanku menjawab: "Aku ini pandai berbahasa Persia, karena nenekku asli orang Herat (kota di Afganistan, pent)."
Setelah beberapa saat, kami pun disuguhi daging. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan diberi bekal oleh pemilik rumah tersebut, hingga kami sampai di kota Mesir. Keseluruhan perjalananku ini dilakukan demi mencari ilmu."
Faedah yang bisa kita ambil dari sekelumit kisah di atas:
1. Akhlak yang mulia kepada para pencari ilmu, yakni menjamu mereka dan memperlakukan dengan perlakuan yang baik.
2. Memberi bekal untuk mereka merupakan suatu amal saleh yang besar pahalanya.
3. Berbicara dengan menggunakan bahasa daerah setempat dapat merekatkan hubungan dan menimbulkan kedekatan kepada penduduk tersebut.
4. Pengorbanan yang luar biasa dari salaf dalam rihlah mencari ilmu.
Referensi:
1. Siyarus Salafish Shalihin, karya Isma'il Al-Ashbahani.
2. 'Uluwwul Himmah, karya Muhammad bin Ahmad Al-Muqaddim.
http://t.me/kisahdanmurottalpilihan
KOMENTAR