pembahasan tentang fikih di bulan sya'ban, puasa, dan nifsu syakban.
FAEDAH TENTANG BULAN SYAKBAN
Asal penamaan
Bulan Syakban adalah salah satu bulan yang memiliki keutamaan di dalam agama islam. Ada beberapa penjelasan dari ulama kenapa dinamakan bulan Syakban. Ibnu Mandzur rahimahullah berkata,
وشَعْبانُ: اسمٌ للشَّهْرِ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لتَشَعُّبِهم فِيهِ أَي تَفَرُّقِهِم فِي طَلَبِ المِياهِ، وَقِيلَ فِي الغاراتِ. وَقَالَ ثَعْلَبٌ: قَالَ بَعْضُهُمْ إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ، أَي ظَهَرَ بَيْنَ شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ،
"Syakban adalah nama dari bulan dalam penanggalan. Dinamakan Syakban (yang maknanya adalah cabang) karena bercabangnya orang-orang arab di bulan tersebut. Maksudnya adalah mereka berpencar-pencar dalam mencari air. Ada yang mengatakan berpencar-pencar di gua-gua. Tsa'lab berkata, 'Sebagian ulama berkata, 'Hanya saja dinamakan Syakban karena bulan itu muncul di antara bulan Ramadan dan Rajab'"(Lisān al-'Arab1/502).
Ibnu Faris rahimahullah berkata,
قَالَ ابْنُ دُرَيْدٍ: " وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيهِ، وَهُوَ تَفَرُّقُهُمْ فِي طَلَبِ الْمِيَاهِ ". وَفِي الْحَدِيثِ: «مَا هَذِهِ الْفُتْيَا الَّتِي شَعَّبَتِ النَّاسَ؟» . أَيْ فَرَّقَتْهُمْ
"Ibnu Duraid berkata,
'Dinamakan Syakban karena bercabangnya mereka pada bulan tersebut yakni berpencar-pencar dalam mencari air. Disebutkan di dalam ucapan orang arab,
'Kenapa fatwa ini mencabangkan manusia?' Yakni mencerai-beraikan mereka'" (Maqāyis al-Lughah, 3/192).
Puasa di bulan Syakban
Berkaitan tentang puasa Syakban, terdapat banyak dalil yang menyebutkan keutamaannya, di antaranya adalah dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ "
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam puasa sebulan penuh kecuali Ramadan. Dan aku tidak pernah melihat beliau puasa yang lebih sering kecuali pada bulan Syakban" (Al-Bukhari, no. 1.969).
Dari Abu Salamah,
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: " كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا "
Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang puasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau menjawab, 'Rasulullah itu berpuasa hingga kami berkata, 'Beliau sungguh berpuasa' dan beliau pernah tidak berpuasa hingga kami berkata, 'Beliau tidak berpuasa.' Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih sering daripada bulan Syakban. Beliau pernah berpuasa di bulan Syakban sebulan penuh di hari-harinya semuanya, beliau juga pernah berpuasa Syakban di kebanyakan hari-harinya'"(Muslim, no. 1.156).
Ucapan Aisyah,
'Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berpuasa di bulan Syakban sebulan penuh di hari-harinya semuanya.'
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafal, 'Sebulan penuh semuanya,' maknanya adalah di sebagian besar hari-harinya, tidak bermakna sebulan penuh, ini pendapat Ibnu al-Mubarak. Al-Imam atTirmidzi berkata,
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ فِي هَذَا الحَدِيثِ، هُوَ جَائِزٌ فِي كَلاَمِ العَرَبِ، إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يُقَالَ: صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ، وَيُقَالُ: قَامَ فُلاَنٌ لَيْلَهُ أَجْمَعَ، وَلَعَلَّهُ تَعَشَّى وَاشْتَغَلَ بِبَعْضِ أَمْرِهِ، كَأَنَّ ابْنَ الْمُبَارَكِ قَدْ رَأَى كِلاَ الحَدِيثَيْنِ مُتَّفِقَيْنِ، يَقُولُ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ أَنَّهُ كَانَ يَصُومُ أَكْثَرَ الشَّهْرِ.
"Diriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak bahwa beliau berkata tentang hadis ini,
'Boleh dalam ungkapan orang arab apabila seseorang berpuasa di kebanyakan hari-hari dalam sebulan untuk dikatakan, 'Dia telah berpuasa sebulan penuh.' Ini seperti orang yang berkata, 'Ada orang yang salat semalam penuh,' bisa jadi dia juga melakukan aktifitas makan malam dan mengerjakan sebagian kesibukan yang lainnya.'
Seakan-akan Ibnu al-Mubarak memandang bahwa kedua hadis tersebut tidak bertentangan dan mengatakan, 'Sesungguhnya saja makna hadis yang puasa Nabi sebulan penuh ini adalah beliau berpuasa di kebanyakan hari-harinya dalam sebulan'"(Sunan at-Tirmidzi, 737).
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau berkata,
وَالْأَوَّلُ هُوَ الصَّوَابُ وَيُؤَيِّدُهُ رِوَايَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ وَسَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْهَا عِنْدَ النَّسَائِيِّ وَلَفْظُهُ وَلَا صَامَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ غير رَمَضَان
"Pendapat pertama inilah yang benar. Yang menguatkannya adalah riwayat Abdullah bin Syaqiq dari Aisyah di dalam shahih Muslim dan Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah di dalam sunan an-Nasa'i dan lafalnya,
'Nabi tidak pernah berpuasa sebulan penuh semenjak tiba di Madinah kecuali Ramadan'"(Fath al-Bari, 4/214).
Sebagian ulama berpendapat beliau terkadang berpuasa sebulan penuh dan terkadang di kebanyakan hari-harinya. Ini pendapatnya at-Tiiby. Al-Hafidz Ibnu Hajar bertutur,
وَاسْتَبْعَدَهُ الطِّيبِيُّ قَالَ لِأَنَّ الْكُلَّ تَأْكِيدٌ لِإِرَادَةِ الشُّمُولِ وَدَفْعِ التَّجَوُّزِ فَتَفْسِيرُهُ بِالْبَعْضِ مُنَافٍ لَهُ قَالَ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ تَارَةً وَيَصُومُ مُعْظَمَهُ أُخْرَى لِئَلَّا يُتَوَهَّمَ أَنَّهُ وَاجِبٌ كُلُّهُ كَرَمَضَانَ
"At-Tiiby menganggap tidak tepat pendapat Ibnu al-Mubarak dan berkata, lafal 'kull,' yang maknanya adalah semua, merupakan penekanan untuk menunjukkan makna menyeluruh dan menghilangkan makna majas. Maka penafsiran dengan makna sebagian, menafikan dari maknanya. Sehingga kemungkinan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang berpuasa selama sebulan penuh dan terkadang pula berpuasa di kebanyakan hari-harinya agar tidak disalahfahami puasa sebulan penuh di bulan Syakban itu wajib"(Fath al-Bari, 4/214).
Kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang kuat, pendapat pertama yang dinukil oleh at-Tirmidzi adalah pendapat Imam Ibnu al-Mubarak dan telah dipilih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat dari at-Tiiby. Yang berpegang dengan pendapat ini, dari ulama abad sekarang adalah al-'Allamah Abdulaziz Ibnu Baz rahimahumullah. Adapun kami, lebih cenderung dengan pendapat yang pertama. Hal ini berdasarkan kabar dari Aisyah bahwa semenjak Nabi pindah ke Madinah, beliau belum pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadan.
Wallahua'lam
Kalau sudah pertengahan bulan Syakban, masih bolehkah puasa?
Disebutkan di dalam hadis,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضان
"Apabila telah masuk pertengahan Syakban, maka tidak ada puasa sampai tiba Ramadan"( Ibnu Majah, 1/528).
Syekh Muqbil bin Hadi rahimahullah berkata,
هذا الحديث إذا نظرت إلى سنده حكمت عليه بالحسن، ولكن في "فيض القدير" بعد عزوه لأحمد وأصحاب السنن بلفظ (إذا انتصف شعبان) أن الإمام أحمد قال: هو غير محفوظ. وفي "سنن البيهقي" عن أبي داود عن أحمد: منكر، وقال ابن حجر: وكان بن مهدي يتوقاه. اهـ
" Hadis ini, jika engkau melihat sanadnya, engkau akan menghukuminya hasan. Namun, disebutkan di dalam, 'Faidh al-Qadīr,' setelah menyandarkannya kepada Ahmad dan ash-Hābussunan dengan lafal, 'Apabila telah dipertengahan Syakban.' Al-Imam Ahmad berkata,
'Hadis ini tidak shahih.'
Di dalam sunan al-Baihaqi dari Abu Daud dari Ahmad, 'ini adalah mungkar.'
Ibnu Hajar berkata, 'Ibnu Mahdī berhati-hati dari hadis ini'"(Ahādīts al-Mu'il dzāhiruhasshihhah, no. 454).
Yang membuat cacat hadis ini menurut ulama yang melemahkannya, di dalam sanadnya terdapat al-Alā' bin Abdirrahman. Ibnu Qudamah berkata,
أَحْمَدَ قَالَ: لَيْسَ هُوَ بِمَحْفُوظٍ. قَالَ: وَسَأَلْنَا عَنْهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ، فَلَمْ يُصَحِّحْهُ، وَلَمْ يُحَدِّثْنِي بِهِ، وَكَانَ يَتَوَقَّاهُ. قَالَ أَحْمَدُ: وَالْعَلَاءُ ثِقَةٌ لَا يُنْكَرُ مِنْ حَدِيثِهِ إلَّا هَذَا؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ كَانَ يَصِلُ شَعْبَانَ بِرَمَضَانَ
"Al-Imam Ahmad berkata, 'Kami telah bertanya kepada Abdurrahman bin Mahdī tentang hadis ini dan beliau tidak menganggapnya shahih sehingga tidak menyampaikan hadis itu kepadaku dan beliau berhati-hati darinya. Imam Ahmad berkata, 'al-'Alā' adalah seorang yang dipercaya, tidak diingkari dari hadisnya kecuali hadis ini karena bertentangan dengan yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menyambung Syakban dengan Ramadan'"(Al-Mughnī, 3/106).
Oleh karena itu mayoritas ulama, membolehkan puasa Syakban walaupun sudah pertengahan, karena hadis larangan itu menurut mereka lemah. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,
جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ وَقَالَ أَحْمد وبن مَعِينٍ إِنَّهُ مُنْكَرٌ
"Mayoritas ulama berpendapat bolehnya berpuasa sunah setelah pertengahan Syakban dan mereka melemahkan hadis yang melarangnya. Berkata imam Ahmad dan Ibnu Ma'in, 'Hadisnya mungkar'" (Fath al-Bārī,4/129).
Malam nisfu Syakban
Benarkah di pertengahan bulan Syakban ada keutamaan tertentu?
Di dalam hadis disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
"Sesungguhnya Allah melihat di malam pertengahan bulan Syakban. Lalu Allah mengampuni semua makhluknya. Kecuali seorang yang musyrik dan yang berselisih" ( Ibnu Majah, no. 1.390).
Hadis ini di dalam sanadnya terdapat kelemahan. Di dalam sanadnya terdapat seorang yang bernama Abdullah Ibnu Lahī'ah. Syekh al-Albani seringkali dalam pembahasannya menyebut Ibnu Lahī'ah ini lemah karena buruknya hafalannya, di antara yang menguatkan riwayatnya, apabila yang meriwayatkan darinya tiga Abdullah yaitu bin al-Mubarak, bin Wahb, dan bin Yazīd al-Muqri'.
Syekh al-Albani berkata,
فإن رواية العبادلة الثلاثة عنه صحيحة وهم عبد الله بن المبارك وعبد الله بن وهب وعبد الله بن يزيد المقرئ، فإنهم رووا عنه قبل احتراق كتبه
"Riwayat 3 Abdullah darinya adalah shahih. Mereka adalah Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Wab, dan Abdullah bin Yazid al-Muqri'. Mereka meriwayatkan darinya sebelum kitab-kitabnya terbakar" ( ash-Shahīhah, 2/24).
Al-Hafidz berkata di dalam at-Taqrīb,
عبد الله ابن لهيعة بفتح اللام وكسر الهاء ابن عقبة الحضرمي أبو عبد الرحمن المصري القاضي صدوق من السابعة خلط بعد احتراق كتبه
"Abdullah bin Lahī'ah bin 'Uqbah al-Hadhramī Abu Abdirrahman al-Mishrī al-Qādhī seorang yang jujur. Hafalannya tercampur setelah kitab-kitabnya terbakar."
dan ad-Dhahak bin Ayman. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam at-Taqrīb berkata tentangnya,
الضحاك ابن أيمن الكلبي مجهول
"Ad-Dhahak bin Ayman al-Kalbī majhul."
Meskipun syekh al-Albani rahimahullah menshahihkan hadis ini di dalam ash-Shahihah, no. 1.144. Namun, dari semua jalan-jalannya tidak lepas dari kelemahan.
Hadis ini juga disebutkan di dalam majma' az-Zawāid,no. 12.957 dengan lafal,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَنْزِلُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ مُشْرِكٍ، أَوْ مُشَاحِنٍ لِأَخِيهِ
"Apabila malam pertengahan dari Syakban, niscaya Allah turun ke langit dunia, lalu Allah mengampuni hamba-hambaNya. Kecuali orang yang berselisih dengan saudaranya dan musyrik."
Pendapat yang kuat adalah tidak ada yang shahih dari hadis-hadis yang berkenaan dengan hal ini. Ibnu Rajab berkata,
وفي فضل ليلة نصف شعبان أحاديث أخر متعددة وقد اختلف فيها فضعفها الأكثرون وصحح ابن حبان بعضها وخرجه في صحيحه
"Tentang keutamaan malam pertengahan Syakban terdapat banyak hadis yang sungguh diperselisihkan. Mayoritas ulama melemahkannya. Sedangkan Ibnu Hibban menshahihkan sebagiannya dan menyebutkannya di dalam shahihnya" (Lathāif al-Ma'ārif, 1/136).
Al-'Uqailī berkata,
وَفَى النُّزُولِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَحَادِيثُ فِيهَا لِينٌ، وَالرِّوَايَةُ فِي النُّزُولِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ أَحَادِيثُ ثَابِتَةٌ صِحَاحٌ، فَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ دَاخِلَةٌ فِيهَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Tentang turunnya Allah di malam pertengahan dari Syakban terdapat hadis-hadis yang padanya terdapat kelemahan. Sedangkan riwayat yang menerangkan tentang turunnya Allah di setiap malam adalah riwayat yang shahih, dan malam pertengahan bulan Syakban adalah bagian darinya insya Allah" (Dhu'afā', 3/29).
Adakah amalan khusus di malam nisfu Syakban?
Tidak ada amalan khusus dalam hal ini. Syekh Abdulmuhsin al-Abbad berkata,
يوجد كثير من أهل العلم لم يصححوا هذا الحديث، وضعفوا كل الأحاديث التي وردت فيما يتعلق بليلة النصف من شعبان، واليوم سواء كان ليلاً أو نهاراً ليس له مزية، وليس للإنسان أن يخص ليلة النصف من شعبان بشيء؛ لأنه لم تثبت بذلك سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وإنما الإنسان يبحث عن السنن ويتبعها، ولا يشغل نفسه بأفعال ذكرها أهل العلم ضمن الأمور المحدثة المنكرة، ومعلوم أن النبي صلى الله عليه وسلم هو القدوة والأسوة، وأصحابه رضي الله عنهم وأرضاهم هم خير الناس وأسبقهم إلى كل خير، ولو كان خيراً لسبقوا إليه.
"Banyak dari ulama tidak menshahihkan hadisnya dan mereka melemahkan setiap hadis yang menyebutkan tentang segala yang berkaitan dengan malam pertengahan Syakban. Malamnya dan siangnya sama, tidak ada keistimewaannya. Tidak boleh seseorang mengkhususkan malam pertengahan Syakban karena tidak ada yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini.
Yang semestinya dilakukan oleh seseorang adalah membahas sunnah-sunnah Rasul kemudian mengikutinya. Tidak boleh seseorang menyibukkan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan oleh ulama bahwa hal itu adalah perkara yang mungkar dan baru dalam agama.
Telah diketahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan dan panutan, para sahabatnya radhiyallahu 'anhum wa ardhahum adalah manusia terbaik dan terdahulu dalam kebaikan. Jika hal itu baik, niscaya mereka lebih dahulu melakukannya"(Syarh sunan abī Dāud, 166/26).
Sumber : https://t.me/alfudhail
KOMENTAR