Biografi Urwah bin Zubair, Tabi'in Ahli Hadits, Samudera yang Tak Bertepi, Keponakan Aisyah.
Samudera yang Tak Bertepi
Urwah bin Zubair
Ibnu Syihab Az Zuhri sosok yang dikenal sebagai pelopor penulisan hadis-hadis Nabi pernah bercerita, "Ketika aku tiba di negeri Mesir, aku kerap menyampaikan hadis-hadis Said bin Al Musayyab. Maka Ibrahim bin Abdullah bin Qaridh berujar, "Tidaklah aku mendengarmu menyampaikan sebuah hadis melainkan itu berasal dari Ibnul Musayyab." "Benar," jawabku. Ibrahim kembali menukas, "Sungguh engkau telah meninggalkan dua orang lelaki dari kaummu yang tidaklah aku mengetahui orang yang paling banyak hafalan hadisnya mengalahkan mereka berdua. Urwah bin Zubair dan Abu Salamah bin Abdurrahman, merekalah orangnya."
"Sekembalinya aku ke Madinah, akupun benar-benar mendapati Urwah laksana lautan yang tak akan pernah keruh airnya."
Bahrun La Tukaddiruhu Ad Dila', demikian Az Zuhri menyifatinya. Sebuah permisalan agung. Lambang persaksian akan kedalaman ilmu serta melimpah-ruahnya hafalan hadis yang dimiliki oleh seorang Urwah. Layaknya samudera luas yang tiada berdasar. Bak lautan biru dengan jumlah airnya yang tak mampu ditakar.
Tidak seperti sumur dengan airnya. Timba demi timba yang secara terus menerus mengambil airnya, pada satu titik akan membuat sumur itu mulai mengeruh. Endapan tanah di dasarnya perlahan mulai terangkat seiring dengan menurunnya jumlah debit air yang dikandungnya. Air yang keruh itupun menjadi sinyal peringatan awal akan menipisnya ketersediaan air yang ada.
Lain halnya dengan samudera bebas. Kian banyak upaya kita mereguk airnya, semakin kita tersadar bahwa itu adalah sebuah upaya yang sia-sia. Satu usaha yang justru hanya mengklarifikasi nyata bahwa ketersediaan air padanya tak kenal kata sirna. Seperti itulah permisalan luasnya ilmu Urwah bin Az Zubair di mata Az Zuhri.
WUJUD SEMANGAT DAN CITA-CITA
Menjadi mulia dan dimuliakan, baik semasa di dunia maupun di akhirat kelak. Kalimat tersebut adalah sebuah janji. Komitmen saat seorang hamba berhiaskan diri dengan iman dan ilmu syar'i. Hanya saja, keilmuan bukanlah sebuah pemberian cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar. Ada pula tenaga yang harus ditebar. Al Imam Yahya bin Katsir pernah berujar, " Ilmu tidaklah diraih dengan bersantai diri. Sebuah kalimat yang kata demi katanya terukir melalui proses percobaan yang telah beliau sendiri buktikan.
Meraih ketinggian derajat dengan ilmu syar'i tentu tidak semudah membalikkan tangan. Upaya nyata haruslah menjadi bukti dan tidak sekadar angan-angan di dalam hati. Dalam hal ini, Urwah bun Zubair patutlah kiranya menjadi salah satu cerminan.
Dalam sebuah kesempatan, beliau berkisah, "Adakalanya aku mendengar tentang sebuah hadis Rasulullah yang ada pada salah seorang shahabatnya. Tanpa pikir panjang, akupun bersegera pergi menemuinya demi menanyakan dan mendengarnya secara langsung. Setibanya aku di kediamannya, ternyata shahabat tersebut tengah beristirahat siang. Maka yang aku lakukan saat itu adalah duduk bersimpuh di depan pintunya. Menantikan keluarnya beliau sampai terpenuhi apa yang tadinya menjadi tujuanku."
Sepenggal kisah di atas bukanlah sebuah sikap yang instan dan spontan. Jauh hari sebelum itu Urwah muda telah bermantap jiwa menyerukan citanya. Impian yang sederhana. Harapan yang tidak muluk-muluk. Berikut ini kisah singkatnya.
Nun jauh di sisi Kakbah, dalam sebuah majelis sederhana, terlontarlah sebuah ungkapan. Agar masing-masing dari sekelompok anak muda yang hadir menyuarakan apa yang diimpikannya di masa depan. Dengan semangat, satu demi satu kawan sebayanya melantunkan cita-citanya, dari yang menjadi penguasa wilayah tertentu, hingga khalifah kaum muslimin. Sementara itu Urwah muda masih tampak terpekur dalam diamnya. Tak kunjung mengungkapkan apa yang diimpikannya. Perlahan segenap pandangan tertuju kepadanya. Berharap menyaksikan bibir pemuda itu bergerak. Sebagaimana halnya sekian pasang telinga yang ada turut menanti. Sejurus kemudian terucaplah kalimat itu, "Aku hanya ingin menjadi sesosok orang yang umat manusia akan mengambil ilmu dariku."
Ucap impian itu usai sudah menghela cita-cita mulia dalam jiwanya. Maka bergulirlah roda perjalanan beliau dalam menimba ilmu demi mewujudkannya. Semenjak kecil minatnya hanya satu kata semata, ilmu. Tak ada yang bisa mengalihkan fokus dan perhatiannya dari jalan thalabul ilmi. Bahkan sekalipun saat saudaranya Abdullah bin Zubair memegang tampuk kekuasaan wilayah negeri Hijaz. Jabatan strategis dan terhormat semisal gubernur maupun hakim yang memutuskan perkara, tak ada satupun yang membuatnya tertarik. Minatnya hanya satu, menambah perbendaharaan keilmuannya sebanyak yang ia mampu.
Sehingga, alangkah beruntungnya beliau saat memiliki akses mudah untuk keluar masuk menemui Ummul Mukminin Aisyah. Istri Nabi yang sejak usia belianya telah bersandingkan diri dengan Sang Penyampai Wahyu Ilahi. Dimana sosok shahabiyyah yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasululullah ini masih terhitung mahram beliau. Bibi dari jalur Ibundanya, Asma' bintu Abu Bakar Ash Shiddiq. Kedekatan hubungan ini tidak lantas menjadi sebuah kebanggaan semata, namun benar-benar menjadi satu kesempatan emas yang tidak disia-siakan oleh beliau.
Bagaimana mungkin momen ini tidak dimanfaatkannya secara optimal, sementara Abu Musa Al Asy'ari pernah mengemukakan, "Tidaklah kami (yakni para sahabat.pent) mendapati sebuah hadis yang membuat kami bertanya-tanya akan makna dan penjelasannya melainkan pasti kami dapati pada diri ummul mukminin Aisyah ilmu yang menjelaskannya."
Kelak dikemudian hari, kawan seperjuangannya dalam berthalabul ilmi ini pun mengakui, hubungan itulah yang menjadi faktor pembeda. Sebuah keutamaan nasab yang membuat Urwah bin Zubair jauh beberapa langkah di depan mereka dalam hal keilmuan. Mengalahkan yang lain dalam hal menyerap segala apa yang dilihat, didengar, dialami, dan diajarkan bibi beliau secara langsung dari Rasulullah
Seiring dengan momen kebersamaan ummul mukminin Aisyah dengan Nabi yang tidak sebentar, tidak jarang dijumpai tuntunan nubuwwah yang bermuara tunggal penceritaannya dari Aisyah seorang. Yang kalaulah bukan dengan periwayatannya niscaya akan lenyap sunnah tersebut.
Qabishah bin Dzualb bercerita, "Di zaman kekhilafahan Muawiyah bin Abi Sufyan, pada malam-malam harinya kami (beliau menyebutkan beberapa nama kawan sebayanya termasuk Urwah bin Zubair pent) biasa bersama-sama menghadiri majelis ilmu yang ada di masjid. Sementara di siang harinya, kami berpisah. Masing-masing mendatangi sahabat Nabi yang hendak diambil ilmunya. Adapun aku, Zaid bin Tsabit lah yang kupilih. Dan adalah beliau sosok yang dipandang terdepan dalam hal qadha', fatwa, ilmu qira'ah dan faraidh baik di masa kepemimpinan Umar, Utsman maupun Ali. Di lain kesempatan aku duduk bermajelis di hadapan sahabat Abu Hurairah. Namun Urwah tetaplah Urwah, yang selalu mengalahkan kami seiring dengan keluar masuknya ia ke rumah Ummul Mukminin Aisyah."
Tentang upayanya dalam menggali ilmu dari Sang bibi tercinta, Urwah menyebutkan, "Sungguh aku telah mendapati diriku sekitar empat tahun sebelum wafatnya Ummul Mukminin Aisyah bergumam dalam hati, 'Sekiranya beliau wafat hari ini, niscaya tak kan ada rasa penyesalan dalam diriku dengan hadis-hadis yang ada pada beliau. Tidaklah tersisa sebuah hadis pun pada beliau melainkan aku telah menghafalkannya.""
Dalam riwayat lain, Hisyam bin Urwah bin Zubair menuturkan ucapan ayahandanya, "Telah aku tinggalkan Ummul Mukminin Aisyah (untuk mengambil hadisnya.pent) tiga tahun sebelum kematiannya (lantaran beliau telah menghafalkan seluruh hadis yang diriwayatkannya.pent)."
Jangan lupa, beliau tidak berguru hanya pada satu orang. Cita-cita mulianya untuk memberikan sumbangsih ilmu membuat nyala semangat berburu ilmunya senantiasa berkobar tak kenal kata redup. Maka tak heran bila suatu ketika putra beliau yang bernama Hisyam pernah berkata, "Sungguh demi Allah, kita belumlah mempelajari satu juz (bagian) dari duaribu atau seribu juz hadis yang ada pada ayahandaku."
Hal inilah di antara perkara yang menjadi sebab harumnya nama Urwah dalam dunia keilmuan. Salah satu dari sebagian kecil tabiin yang dilabeli sebagai fuqaha (ahli agamanya) bumi Madinah ketika itu. Berikut ini sekelumi gambaran bagaimana kadar beliau di tengah umat Nabiyullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Abdurrahman bin Humaid bin Abdurrahman bin Auf mengisahkan, "Ketika aku dan ayahku tengah memasuki Masjid Nabawi, kami mendapati orang-orang tengah berkumpul di sebuah majelis. Mengitari seorang lelaki yang ketika itu tidak tampak begitu jelas sosoknya lantaran banyaknya manusia yang berkerumun di majelisnya. Seketika itupula aku diminta untuk pergi melihat dan memastikan, siapa gerangan sosok lelaki tersebut. Ketika aku dapat melihatnya dengan jelas, ternyata Urwah bin Zubair lah orangnya. Akupun segera memberitahukan hal itu kepada ayahku tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku. Saat melihatku takjub, ayahku berujar menimpali, 'Wahai putraku, janganlah engkau terkejut karenanya! Sungguh aku benar-benar telah melihat para sahabat Nabi menanyakan permasalahan agama kepadanya
Seiring dengan kegigihan beliau dalam mendulang mutiara-mutiara kenabian, memburunya dari satu majelis ke majelis yang lain, beliau pun dikenal memiliki keistemewaan dalam hal menyampaikan dan mengajarkan hadis-hadis yang dimiliki dan dihafalkan olehnya. Seakan menyadari sepenuh hati bahwa tugas seorang yang berilmu tidak berhenti seiring dengan banyaknya ilmu yang telah diraih. Ada tugas berikutnya yang tak kalah mulia, yaitu menyampaikan dan menebar ilmu berikut nilai-nilai kebaikan yang dikandungnya kepada semesta manusia. Seolah seruan cita-citanya di masa muda tidak berhenti terus bergema di dalam jiwanya. Senantiasa mengingatkan empunya dari waktu ke waktu.
Ibnu Syihab Az Zuhri menceritakan kepada kita tentang hal ini. Kata beliau, "Dahulu Urwah bin Zubair senantiasa mendekati manusia dengan hadis-hadis yang beliau sampaikan." Yataallafu an nasa bi hadisihi, demikian Imam Az Zuhri membahasakannya. Bukan lantaran popularitas dunia yang hendak dikejar. Bukan pula keinginan untuk dianggap dan diorangkan. Apalagi pundi-pundi harta yang diharapkan. Namun lebih kepada kesadaran hatinya yang tulus mengharapkan kebaikan untuk umat agar turut mendengar apa yang datangnya dari Sang Teladan Nabiyullah shallallahu alaihi wasallam. Bagi beliau ilmu serupa amanah di pundak, yang menuntut pemikulnya untuk menyampaikannya kepada umat. Terlebih lagi bila mengingat besarnya keutamaan para pengajar kebaikan, berikut keagungan dan keabadian nilai-nilai sedekah ilmu yang diamalkan oleh pendengarnya.
Saat masa muda telah berlalu, maka jadilah kesibukan beliau mengajar, menyampaikan, serta menyebarkan kemuliaan ilmu pengetahuannya dengan cara uniknya yang mulia pula. Tak hanya menyeru dan memotivasi umat untuk belajar kepadanya, namun beliau berupaya sekuat tenaga untuk memberikan dukungan, bantuan dan sokongan yang bisa kian memudahkan mereka untuk menimba ilmu dan beliau. Harta perbekalan, dukungan fasilitas dan sarang tak luput beliau infakkan di jalan Allah teruntuk mereka mereka yang tengah mengambil ilmu darinya. Sekali lagi, semua itu dikarenakan salah satu keinginan terbesarnya agar semakin banyak sosok-sosok yang melanjutkan tongkat estafet periwayatan hadis yang didengarnya.
ISTANA AQIQ & SUMUR URWAH
Ilmu adalah pelita. Yang akan menuntun pemiliknya dalam gelap menuju jalan keselamatan. Sebagaimana pula ilmu itu menjadi benteng penjaga. Yang melindunginya dari terjangan fitnah yang datang memburu dan menyerbu. Layaknya alarm dini, ilmu pula yang akan memberikan peringatan awal datangnya sesuatu yang mengancam keselamatan agamanya. Dengannya seseorang akan lebih waspada dan kian awas dalam mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi.
Atas dasar inilah Urwah bin Zubair lebih memilih pergi menyendiri. Mengasingkan diri dalam rangka menyelamatkan agamanya saat mendapati kemungkaran- kemungkaran di masa pemerintahan dinasti Umayyah. Satu hal yang rentan menyulut gejolak api fitnah di kalangan rakyat dan mengundang amarah serta hukuman dari Allah Pantaslah kiranya bila Al Ijliy pernah berkata tentang Urwah, "Warga Madinah yang terpercaya, sosok lelaki saleh yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Tak pernah sekalipun ia melibatkan diri dalam fitnah-fitnah yang terjadi pada masanya."
Beliaupun pergi menuju tempat bernama Aqiq. Untuk kemudian membangun tempat tinggal di sana. Sebuah kediaman besar dengan benteng yang mengelilingi. Layaknya sebuah istana. Yang hingga hari ini pun sisa-sisa bangunan tersebut masih dapat dijumpai dalam radius sekitar 3 km dari arah Masjid Nabawi.
Memang, ada satu masa dimana Allah justru bukakan lebar-lebar pintu dunia untuknya. Sesuatu yang hakikatnya sama sekali bukan dari angan-angannya di dunia ini. Bisa jadi, semua itu lantaran dari tekad beliau dalam menginfakkan hartanya untuk para penuntut ilmu, sehingga Allah justru memberikan apa yang dengannya seorang Urwah bisa semakin mendukung niat baik mereka. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau memiliki kebun-kebun kurma, yang saat tiba masa panen, beliau buka salah satu sisi pagar kebun yang ada agar bisa menjadi akses bebas orang-orang untuk turut bisa menikmati hasilnya.
Beliau juga dikenal memiliki sumur yang digali dengan pendanaan darinya. Bi'ru Urwah, demikian sumur itu dinamakan. Yang tentangnya, Ibnu Khalliqan gambarkan, Tidak ada air sumur di kota Madinah yang rasa tawar dan kesegarannya mengalahkan airnya sumur Urwah." Kadar airnya yang melimpah ruahpun tak luput dirasakan manfaatnya bahkan oleh warga di luar kota Madinah. Singkatnya, kedermawanan beliau tak hanya dalam menebar ilmu yang dengannya agama seseorang tegak karenanya. Namun beliau infakkan pula harta yang dengannya akan tegak dunia mereka pula.
KARENA ENGKAU MASIH SISAKAN YANG LAIN
Layaknya seorang hamba yang tiada mampu menghindar dari suratan ujian dan cobaan, demikian pula halnya apa yang dialami oleh Urwah bin Zubair . Bukankah adakalanya sebuah derita merupakan tanda cinta Sang Pencipta teruntuk hambanya? Dengan musibah dialami tersebut munajat dan ibadah hamba kepada Allah akan semakin kuat terajut. Musibah yang datang bertubi- tubi kepada beliau justru kian menampakkan kilau nyata keilmuan yang menerangi jiwanya. Seterang akal sehatnya yang gemerlap dengan pancaran kelimuan. yang
Al Akalah. Demikian penyakit itu disebut. Sejenis infeksi bakteri serius yang menghancurkan jaringan di bawah kulit. Penyakit yang juga dikenal dengan nama lain "pemakan daging" ini lazim dijumpai pada penderitanya menyebar dengan sangat cepat. Allah menghendaki ujian berupa penyakit ini menimpa Sang Muhaddits.
Dalam sebuah perjalanannya menuju Damaskus, saat hendak bertemu dengan khalifah ketika itu, beliau terluka di salah satu bagian kakinya. Tak disangka, ternyata itu bukanlah luka biasa. Dengan cepat infeksi akibat luka tersebut menjalar ke bagian lutut kakinya. Tidak tinggal diam, mendapati Urwah dalam kondisi seperti itu, khalifah meminta untuk didatangkan segera tim medis demi mengobati dan menyembuhkan lukanya. Hasil diagnosa medis mengatakan bahwa tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan Urwah kecuali untuk mengamputasi kaki yang terinfeksi. Tanpanya, penyakit itu akan terus menggerogoti bagian tubuh yang lain. Hingga pada satu titik justru akan mengancam keselamatan jiwanya.
Proses amputasi segera dijalankan. Namun masalah lain justru menghadang tim medis saat hendak memulainya. Sang pasien menolak untuk dibius. Urwah enggan untuk menerima apa yang menyebabkan kesadarannya hilang. Beliau memilih tetap dalam kondisi sadar saat diamputasi. Zikir dan bacaan Qurannya akan menjadi ganti bius yang menghilangkan rasa sakitnya.
Tak ada pilihan lain, amputasi harus segera dimulai. Bayang-bayang sang pasien yang meronta-ronta sekuat tenaga saat gergaji mulai membelah tulang kaki menggelayuti benak tenaga kesehatan yang tengah bersiap diri. Terlebih saat mereka tidak mendapati adanya tangan- tangan kukuh yang akan memegangi dan menahan gerak kesakitan sang pasien. Namun, bagi Urwah beliau hanya membutuhkan hati dan lisan yang bisa terus bermunajat kepada Rabbnya. Hanya itu. Tidak lebih.
Pengamputasian pun dimulai. Tak disangka lagi sulit dicerna. Apa yang dikhawatirkan tim medis urung terjadi. Urwah tetap tenang dalam balutan zikirnya. Saat gemerisik bunyi gergaji tengah memotong kakinya hingga lutut. Sebentuk ketahanan diri yang tidak biasa dari sesosok lelaki yang tak lagi muda. Satu-satunya hal yang menaklukkannya adalah saat gergaji besi telah usai memotong kakinya, minyak panas didatangkan guna menghentikan pendarahan sekaligus menutup luka bekas amputasi yang ada. Saat kaki yang masih mengucurkan darah tersebut dicelupkan ke minyak yang panas, detik itupula beliau pingsan. Tak mampu lagi menahan rasa sakit yang ada. Sebuah pemandangan bak sembilu yang serasa mengiris-iris sang kalbu.
Waktu berlalu. Kaki beliau belumlah pulih benar saat tiba-tiba datang seorang lelaki yang mengunjunginya, Melihatnya, Urwah segera berujar, "Jika kedatanganmu kemari dalam rangka hendak berbelasungkawa dengan apa yang menimpa kakiku ini, maka ketahuilah sesungguhnya aku telah berharap pahala atasnya kepada Allah." "Tidak. Justru aku hendak memberitahumu dengan apa yang baru saja menimpa putramu, Muhammad," tukas lelaki tadi. Urwah bertanya, "Ada apa dengannya?" Sang tamu itu lalu menceritakan perihal apa yang menimpa putranya. Putra yang teramat ia sayangi, yang menemani perjalanannya itu meningggal dengan sebab yang sama sekali tidak terduga. la jatuh di kandang kuda, lalu kuda yang ada di sana menendang dan menginjaknya hingga tewas. Musibah di atas musibah. Yang satu belum berlalu, datang yang lain menghampiri.
Namun tokoh kita kali ini bukanlah sembarang orang. Simaklah kalimat pertama yang meluncur dari kedua bibirnya saat pertamakali mendengar berita tersebut. Ucap ketabahan diri yang disepuh dengan ilmu syar'i saat menyikapi sebuah ujian yang teramat berat dirasa di hati. Kata beliau:
"Wahai Rabb-ku, sekiranya engkau telah merenggut salah satu anggota badanku, maka sesungguhnya engkau telah sisakan untukku anggota-anggota badan yang lain. Dan bilamana engkau ambil salah seorang putraku kehariban-Mu, maka sungguh anak-anak yang Engkau sisakan di sisiku masihlah lebih banyak dari yang Engkau ambil." Hanya kalimat itu yang terucap, tanpa ada isak tangis yang menemani, tidak pula ratapan kesedihan yang mengiringi.
Sangat banyak murid-murid mumpuni yang terbentuk dari madrasah ilmiyah beliau. Di antaranya putra-putra beliau; Yahya, Utsman, Hisyam, dan Muhammad. Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ibnu Syihab, Shafwan bin Sulaim, Bakar bin Sawadah, Yazid bin Abi Habib, Abu Zinad, Muhammad bin Al Munkadir, Abul Aswad Muhammad bin Abdurrahman, Shalih bin Kaisan, Amr bin Abdillah bin Urwah, Muhammad bin Ja’far bin Az Zubair, dan masih banyak lagi. Urwah bin Az Zubair meninggal dalam usia 67 dalam keadaan berpuasa. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau. Amin. Allahu a’lam. [2]
Rahimahullah. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada sosok 'alim rabbani yang satu ini. Lautan ilmu yang tak segan berbagi. Samudera pengetahuan, dengan debur ombaknya yang senantiasa mendorong manusia untuk turut menyelami kebaikan yang dikandungnya. Untuk berlayar bersama menuju rida-Nya yang abadi.
Dikutip dari Majalah Qudwah | Buku Kisah Indah Ulama Salaf, Media Tashfiyah.
----------
[1] [2] Majalah Tashfiyah edisi 55 vol.05 1437H-2016M || http://ismailibnuisa.blogspot.com/2016/02/urwah-bin-az-zubair-rahimahullah.html
KOMENTAR