Ketentuan hak mengasuh anak menurut agama Islam.
HAK PENGASUHAN ANAK
Saat sebuah hubungan pernikahan kandas, sedikit banyak akan menggoreskan luka dan kepedihan. Terkadang perpisahan itu tidak diinginkan, namun karena berbagai faktor dan pertimbangan, perpisahan menjadi sebuah solusi akhir. Kesedihan karena perpisahan bukan hanya menimpa pasangan tersebut, tapi orang di sekitar mereka pun turut serta terkena imbasnya. Anak adalah yang paling merasakan dampak perpisahan kedua orang tuanya. Anak yang tidak tahu duduk permasalahan, pun akhirnya harus kehilangan salah satu orang tuanya di sisinya, bahkan mungkin keduanya. Pada sebagian pasangan yang berpisah, anak seakan menjadi barang yang dilupakan. Sebagian menitipkan mereka kepada kakek neneknya, atau kepada karib kerabat yang kasihan kepadanya. Atau sebaliknya, anak menjadi ajang rebutan pasangan tersebut sehingga semakin menambah runcing emosi dan permusuhan kedua belah pihak. Lalu, bagaimanakah Islam mengatur permasalahan ini?
Patut diketahui bahwa kehidupan anak adalah tanggung jawab sang ayah. Sebab ayah adalah penanggung jawab keluarga dan kepala keluarga. Dialah yang wajib menafkahi anggota anaknya (dari keluarga. Di saat keluarga masih utuh, demikian pula saat terjadi perceraian, ayah tetaplah penanggung jawab terhadap nafkah keluargany (baca :anaknya), bukanlah tanggung jawab ibunya Seorang ayah tidak boleh menyia-nyiakan kewajibannya terhadap anaknya.
IBU ADALAH YANG PALING BERHAK MENGASUH
Apabila terjadi perselisihan berkaitan dengan pengasuhan anak dalam hukum Islam, maka ibu adalah berhak mengasuh anaknya ketimbang pihak lain. Hak ini berlaku apabila sang anak masih kecil, belum mencapai umur baligh. Namun, hak ini akan gugur apabila sang ibu menikah lagi. Hal itu dikarenakan, apabila seorang wanita menikah, maka hak suami tersebut untuk tetap mempersilakan sang istri membawa anaknya (dari suami pertama) atau tidak mempersilakannya. Juga karena hukum asal kewajiban pengasuhan anak adalah kewajiban ayah si anak. Wanita tersebut bisa mengembalikan pengasuhan anak kepada ayah anak tersebut.
Disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Amr, bahwa ada seorang wanita mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً. وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءَ وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - «أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah sebagai kandungannya, Asiku adalah minumannya, buaianku adalah tempat berlindung baginya, dan ayahya menceraikanku. Lalu ia ingin mengambilnya dariku! Maka Rasulullah bersabda, "Engkau lebih berhak darinya selama engkau tidak menikah (lagi)". [H.R. Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi, dihasankan Al Albani dalam Shahih sunan Abu Dawud]
Hukum bahwa seorang ibu lebih berhak mengasuh anak ketimbang ayah selama belum menikah ini telah diijma'kan oleh para ulama sebagaimana dinukilkan dalam kitab Al Ijma' karya Ibnul Mundzir
Sebagian ulama berpendapat bahwa hak asuh itu tetap berlaku bagi ibu walaupun sudah menikah lagi, dengan dalil kejadian Ummu Salamah yang dinikahi oleh Nabi sedangkan anaknya masih bersamanya. Akan tetapi pendapat ini terbantahkan dengan dua alasan, yaitu tidak terjadinya persengketaan antara pasangan yang pisah (Abu Salamah telah meninggal ketika itu), dan yang kedua adalah bahwa putra Ummu Salamah tidak memiliki keluarga kecuali ibunya.
BIBI (DARI IBU) LEBIH BERHAK SETELAH HAK IBU, DIDAHULUKAN DARI HAK AYAH
Apabila sang ibu terhalangi dari pengasuhan anak, maka hak asuh selanjutnya adalah milik bibi dari ibu (saudari ibu). Dialah yang lebih berhak atas pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan dalil dari Shahabat Al Bara' bin 'Azib radhiyallahu anhu bahwa suatu ketika terjadi perselisihan pendapat antara Ali, Ja'far, dan Zaid tentang pengasuhan putri Hamzah. Ali mengatakan, "Aku lebih berhak atasnya, dia adalah putri pamanku (saudara laki-laki ayah)".
Ja'far mengatakan, "Dia adalah putri pamanku (saudara laki-laki ayah) dan bibinya (dari ibunya) adalah istriku." Sedang Zaid mengatakan, "Dia adalah anak dari saudaraku (yang di maksud saudara di sini adalah saudara angkat, sebab Rasulullah mempersaudarakan Hamzah dengan Zaid)." Maka Rasulullah memutuskan anak itu menjadi milik bibinya (dalam pengasuhannya) dan beliau bersabda, "Bibi (dari ibu) berkedudukan sebagai ibu". [H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Hadis Ini sebagai dalil bahwa hak asuh bibi (dari ibu) didahulukan atas hak pengasuhan ayah. Hal ini karena pengasuhan saudari ibu itu adalah yang paling serupa dengan sang ibu ketimbang orang lain. Tentu saja apabila terjadi persengketaan dalam hak asuh tersebut. Adapun apabila sang bibi tidak bisa mengasuhnya, kewajiban pengasuhan tersebut dikembalikan kepada yang ayah.
Perlu diingat bahwa hak pengasuhan berbeda dengan kewajiban nafkah. Adapun kewajiban nafkah sang anak tetap menjadi kewajiban sang ayah, walau sang anak diasuh oleh ibunya atau oleh bibinya.
PENGASUHAN KERABAT APABILA TIDAK ADA IBU, BIBI (DARI IBU), DAN AYAH
Apabila ketiganya tidak ada, maka hakim memutuskan bahwa hak pengasuhan tersebut diberikan kepada kerabat anak tersebut. Hendaknya hakim mencan d antara anggota keluarga yang paling baik, paling kasih sayang dan perhatian dengan sang anak. Bisa kakaknya, pamannya, kakeknya, atau lainnya.
ANAK BERHAK MEMILIH SETELAH MENCAPAI USIA BALIGH
Apabila sang anak telah mencapai usia baligh, dan mandiri, maka dia diberikan pilihan. Apakah ingin bersama ayahnya ataukah ibunya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa ada seorang wanita datang kepada Rasulullah dan mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِثْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي. فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم - : اسْتَهِمَا عَلَيْهِ ». فَقَالَ زَوْجُهَا : مَنْ يُحَاقُنِي فِي وَلَدِى؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم - : هَذَا أَبُوكَ أُمُّكَ فَخُذُ بِيَدِ أَيْهِمَا شِئْتَ ». وَهَذِهِ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ به
"Wahai Rasulullah sesungguhnya (bekas) suamiku menginginkan untuk pergi bersama (mengambil) anakku, sedangkan anakku telah mampu mengambilkan air untukku dari sumur Abu 'Inabah dan la telah bisa memberikan manfaat untukku. Maka Rasulullah mengatakan, "Berundilah kalian berdua!". Maka sang suami tersebut mengatakan, "Siapa yang akan menyelisihiku pada urusan anakku?!" Maka Rasulullah mengatakan (kepada sang anak), "Ini ayahmu, dan ini ibumu. Ambilah tangan siapakah yang kamu pilih". Maka anak itupun mengambil tangan ibunya. Dan kemudian sang ibu perg bersama dengannya. [H.R. At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai dan Ibnu Majah, sanad hadis ini dishahihkan Al Albania dalam Shahih Sunan Abu Dawud). Wallahu a'lam.
Ditulis oleh : Ustadz Hammam hafizhahullah
Sumber Majalah Tashfiyah Edisi 93 1441 H / 2019 M
KOMENTAR