Pengertian Khiyar Ghabn beserta contoh kasusnya, pembagian khiyar ghobn.
Khiyar Al-Ghobn
Secara bahasa al-Ghobn memiliki makna penipuan/kecurangan dalam perdagangan sehingga merugikan pihak pembeli atau penjual.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan permasalahan ini dalam kitab al-Mulakhashul Fiqhi:
"Apabila seorang tertipu dalam jual beli dan dirugikan sampai keluar dari kebiasaan manusia, maka bagi pihak yang dirugikan memiliki hak khiyar (memilih) untuk melanjutkan jual-belinya atau membatalkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
لاَضَرَرَ وَلا ضِرَار
"Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang merugikan diri sendiri dan orang lain." (HR. Ahmad 2867, Ibnu Majah 2340)
Juga hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ الأَبِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari hatinya." (HR. Abu Ya'la 1570)
Seorang yang tertipu atau dicurangi dalam jual beli sehingga dia dirugikan maka dia akan merasa tidak rela. Namun apabila kerugianya sedikit dan tidak keluar dari kebiasaan maka tidak ada khiyar baginya.
Khiyar al-Ghobn terjadi pada tiga bentuk perdagangan:
1. Bentuk pertama dari jual-beli .dengan khiyar al-ghobn adalah seseorang menghadang para penjual di jalan yang datang dari desa untuk dibeli dagangannya sebelum mereka sampai di pasar. Apabila pihak penjual dirugikan dengan kerugian yang besar maka boleh baginya untuk memilih (khiyar) antara melanjutkan jual-belinya atau membatalkannya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
لا تَلَقَّوُا الْجَلَبَ. فَمَنْتَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
"Janganlah kalian menghadang pedagang yang membawa dagangan dari luar, maka barang siapa yang bertemu dengan mereka dan membeli dagangannya kemudian pedagang tersebut datang ke pasar maka baginya khiyar (memilih) untuk melanjutkan atau menggagalkan." (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah no. 1519)
Pada hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menghadang para pedagang yang datang dari luar pasar dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan kepada penjual apabila telah sampai di pasar dan mengetahui harga barang tersebut di pasar maka boleh baginya untuk khiyar yaitu memilih melanjutkan jual belinya atau membatalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kesempatan bagi para pedagang yang datang dari luar daerah untuk berkhiyar apabila mereka dihadang di jalan untuk dibeli dagangannya sebelum mereka sampai di pasar karena dimungkinkan padanya terdapat penipuan dan kecurangan."
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Hal itu dilarang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena terdapat penipuan kepada penjual disebabkan dia belum tahu harga barang di pasar pada hari itu. Maka jika ada yang membeli barang tersebut di jalan sebelum sampai ke pasar dia bisa membelinya dengan harga yang tidak sewajarnya jauh di bawah harga pasar.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan hak khiyar untuk si pedagang ketika dia masuk pasar, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa bagi penjual memiliki hak khiyar jikalau ada unsur ghobn (penipuan atau kecurangan).
Karena seorang yang datang dari jauh membawa dagangan dan belum masuk ke pasar dia belum tahu harga barang tersebut, maka sangat mungkin sekali bagi seorang yang menghadangnya di jalan dan membeli dagangan tersebut sebelum sampai ke pasar, dia akan berbuat curang. Oleh karena itu bagi si penjual memiliki hak khiyar apabila telah sampai di pasar dan mereka mengerti bahwa mereka telah dirugikan dengan kerugian yang besar yang tidak wajar." (Ar-Raudul Murbi'; 4/434)
2. Bentuk kedua dari Khiyar al-Ghobn adalah penipuan atau kecurangan yang diakibatkan adanya tambahan dari seorang yang berbuat najasy dalam masalah harga. An-Najasy adalah seorang yang menambah-nambahkan harga suatu barang padahal dia tidak menginginkan untuk membeli barang tersebut, tidak lain dia lakukan hal tersebut kecuali untuk menaikkan harga barang sehingga akan merugikan pihak orang yang ingin membelinya, perbuatan ini hukumnya harom. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
وَلا تَنَاجَشُوا
"Dan janganlah kalian saling berbuat tanaajusy." (HR. Muslim no. 2564 dari sahabat Abu Hurairah)
At-Tanajusy dilarang dalam Islam karena terdapat unsur menipu dan merugikan bagi pembeli. Contohnya: Pembeli berkata, "Aku membeli barang ini dengan harga segini" padahal dia dusta. Atau dia berkata, "Aku akan memberikan barang ini kepadamu dengan diskon (potongan) sekian,” padahal dia berdusta.
Contoh lainnya ialah seorang penjual mengatakan, "Aku tidak akan menjual barang ini kecuali dengan harga sekian" dengan tujuan agar si pembeli mau membeli dengan harga yang mendekati harga tersebut. Misalnya sebuah barang sebenarnya harganya hanya 500 tapi dia mengatakan, "Ini harganya 1.000," agar si pembeli membelinya dengan harga yang mendekati 1000.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan contoh dalam kitab beliau Syarhul Mumti'
"Seseorang menawarkan sebuah barang, maka manusia pun saling berebut dengan bersaing penawaran harga untuk membelinya. Di antara mereka ada yang meninggikan tawarannya padahal dia tidak menginginkan untuk membelinya tidak lain dalam rangka menguntungkan penjualnya karena dia adalah temannya atau dalam rangka merugikan sang pembeli karena sang pembeli adalah musuh bisnisnya. Atau dalam rangka menguntungkan dirinya sendiri karena dia punya barang yang sama maka dia menawar barang tersebut dengan harga yang mahal agar barang miliknya menjadi mahal atau dia menawar dengan harga yang tinggi agar orang mengatakan bahwa dia adalah seorang yang kaya punya banyak harta."
Maka kesimpulannya adalah jika ada seorang yang menaikan harga padahal dia tidak menginginkannya untuk membelinya namun tidak lain kecuali karena ada tujuan lain, maka apabila ada pembeli yang dirugikan karena hal ini, boleh baginya untuk memilih melanjutkan atau membatalkan transaksinya. Oleh karena itu an-Najsu hukumnya harom karena menyebabkan kebencian dan permusuhan di kalangan kaum muslimin
3. Bentuk ketiga dari Khiyar al-Ghobn adalah Ghobn Mustarsil. Al-Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata, "Ghobn Mustarsil adalah riba." Al-Mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga barang dan dia seorang yang tidak mampu untuk menawar bahkan dia bersandar pada kejujuran sang penjual, apabila ternyata dia ditipu dengan kerugian yang besar maka boleh baginya khiyar" (ar- Roudul Murobbi'; 4/435)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan contoh:
Apabila ada seorang datang ke toko lalu dia menawar suatu barang: berapa harga barang ini? Sang penjual menjawab: 10 Riyal. Sang pembeli adalah orang yang tidak mengetahui harga barang dan juga tidak pandai menawar harga. Akhirnya dia membeli dengan harga yang mahal yakni 10 Riyal. Tatkala diberitahukan kepada orang-orang, mereka mengatakan: "Barang ini harganya hanya 5 Riyal."
Sang pembeli mengatakan: "Aku tidak tahu." Yang seperti ini kami katakan sebagai Ghubun al-Mustarsil, sehingga bagi pembeli memiliki hak untuk khiyar, yaitu melanjutkan atau membatalkan jual-belinya. Hal ini berdasar dalil hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنا
"Barang siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami." (HR. Muslim 164, Abu Dawud 3452, at-Tirmidzi 315)
Perbuatan ini termasuk menghianati kaum muslimin, maka setiap yang melakukan penghinatan dia harus dihentikan dari perbuatannya. Namun jika sang pembeli mengetahui harganya 5 Riyal dan dia mau membelinya dengan harga 10 Riyal dalam rangka memberikan kegembiraan terhadap penjualnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh beberapa orang karena melihat si penjual adalah orang yang fakir, hal ini tidak termasuk Ghubun Mustarsil dan ini hukumnya boleh.
Berbeda halnya jika ada orang membeli ayam kepada seorang anak dengan harga 20 Riyal padahal dia tahu harga aslinya adalah 10 Riyal. Dia mau membelinya dengan harga 20 Riyal karena ingin menyenangkan hati sang anak tersebut. Namun setelah itu dia menyesal seraya mangatakan, "Kenapa aku membelinya dengan harga 20 Riyal padahal harga sebenarnya adalah 10 Riyal ?" Lalu dia mendatangi anak tersebut dan mengatakan, "Wahai anak, engkau telah menipuku." Maka kami katakan dia tidak memiliki hak khiyar karana dia telah mengetahui harga yang sebenarnya.
Pada ucapan al-Imam Ibnul Qoyyim di atas, "Dia seorang yang tidak pandai untuk menawar," yang nampak dari ucapan ini apabila dia pandai untuk menawar maka meski dia rugi dia tidak punya hak khiyar. Contohnya: seorang tidak mengetahui harga-harga barang tetapi dia seorang yang pandai menawar. Dia datang ke sebuah toko dan bertanya berapa harga barang ini? Pemilik toko menjawab: 200 Riyal, dan dia telah menulis di bandrol barang tersebut angka 200 Riyal.
Si pembeli menyangka bahwa itu adalah harga di pasaran dan dia adalah seorang yang pandai menawar barang lalu dia pun membelinya dengan harga 200 Riyal. Kemudian setelah diberitahukan kepada teman- temanya ternyata mereka mengatakan bahwa barang itu harganya di pasaran 80 Riyal. Dengan demikian pembeli dirugikan sebesar 120 Riyal. Kemudian dia datang kepada penjual dan mengatakan barang tersebut harganya 80 Riyal.
Kasus seperti ini jika dilihat dengan pendapat Imam Ibnul Qoyim maka dia tidak memiliki hak khiyar karena dia adalah seorang yang pandai menawar sehingga dia sebenarnya bisa menawar hingga 80 Riyal. Akan tetapi yang benar dalam kasus ini adalah si pembeli masih memiliki khiyar karena jahilnya dia dengan harga dan penipuan yang dilakukan oleh penjual.
Masalah: Apakah Ghubun (tertipu) bisa terjadi juga pada penjual?
Jawab : Ya, bisa. Lebih-lagi pada zaman sekarang ini. Misal seorang pedagang mengetahui bahwa harga gula akan melonjak tinggi maka dia pergi ke para pedagang gula dan membelinya dengan harga di hari itu dalam keadaan para penjual tidak mengetahui akan ada lonjakan harga yang tinggi. Perbuatan ini termasuk ghubun (merugikan pihak lain) dan para penjual jika mengetahui bahwa harga akan melonjak maka mereka tidak akan mau menjualnya.
Kesimpulannya adalah jika yang ditipu/dirugikan adalah pihak pembeli maka baginya hak untuk memilih mau melanjutkan atau menggagalkannya. Demikian pula jika yang ditipu/ dirugikan pihak penjual, dia pun punya hak untuk membatalkannya. (Syarhul Mumti' Bab Khiyar)
KOMENTAR