Praktik Licik Dalam Berpolitik Kita buka artikel ini dengan nasihat Syaikh Rabi’ bin Al Madkhali, bahwa : “ Berbicara tentang politik, akan ...
Praktik Licik Dalam Berpolitik
Kita buka artikel ini dengan nasihat Syaikh Rabi’ bin Al Madkhali, bahwa : “ Berbicara tentang politik, akan membahayakan umat, secara aspek agama, dunia, maupun keamanan, apabila dilakukan oleh orang yang bodoh, menuruti hawa nafsu, memiliki tendensi-tendensi tertentu, dan menginginkan fitnah “ ( Hukm Al Muzhaharat hal.41 )
Artikel ini bukan membahas tentang hukum politik atau berpolitik. Artikel ini sebatas menyasar beberapa praktik licik yang dilakukan dan terjadi dalam dunia politik. Jelasnya, politik adalah alam kehidupan yang tak terpisahkan dari konflik dan intrik.
Untuk meraih kekuasaan, banyak orang meninggalkan rasa malu dan menanggalkan etika.
Berpura-pura menjadi korban kezaliman adalah salah satunya.
Dibuatlah narasi bahwa dirinya dizalimi, dirugikan, difitnah, dan dianiaya. Padahal tidak demikian!
Bahkan, secara keji, "diciptakan" satu pihak yang menzalimi sehingga terkesan benar-benar menjadi korban kezaliman.
Nah, dengan berteriak-teriak dan berkoar-koar berdalih telah dizalimi, ia ingin mencari simpati seluas-luasnya. Sekaligus melabeli pihak lawan sebagai orang yang zalim.
Hal di atas biasa disebut playing victim.
Langkah picik berikutnya adalah mencari dukungan sebanyak-banyaknya tanpa aturan.
Bahkan yang sebelumnya lawan bermusuhan, pun akan dirangkul sebagai kawan. Orang-orang yang sempat disingkirkan, kembali direkrut. Walau sudah dijauhi dan dijauhkan, akhirnya didekati. Bukan karena sepemikiran, namun pihak yang dilawan sedang sama. Common enemy, katanya.
Untuk menggalang dukungan, promosi dan iklan digencarkan. Semua media dipakai secara jor-joran. Spanduk, baliho, banner, pamflet, dan status-status di medsos, dikerahkan secara massif. Semua seragam dan dikoordinir, seolah-olah banyak yang sejalan. Semua dengan satu target; dirinya lah yang terbaik dan pantas didukung.
Tokoh-tokoh berpengaruh disowani. Pihak-pihak yang dianggap bisa mendongkrak popularitasnya didatangi. Setelah itu, disebarkan dan diblow-up bahwa dirinya lah yang mendapat restu. Diterima sebagai tamu saja diliput besar-besaran. Bahkan, sekadar salam pun menghebohkan.
Black campaign adalah langkah selanjutnya. Siapa yang dianggap lawan, dicarilah dosa-dosa masa lalunya. Data lama dikuliti. Satu atau dua kesalahan yang pernah dilakukan lawan, sudah cukup untuk jadi alasan menyerang habis-habisan.
Bahkan, sejak belum menjadi lawan, masih dikira kawan, kesalahan dan kekurangannya didata. Secara sembunyi-sembunyi pula. Divideo dan direkam diam-diam. Lalu dijadikan semacam alat untuk mengancam bahkan menjatuhkan.
Kesalahan lawan dipreteli secara berjilid-jilid dan dibuat berseri. Dipoles dan dipulas dengan beberapa data agar dinilai akurat dan ilmiah. Pokoknya dia bersih, lawannya yang bermain kotor. Pokoknya dia figur yang baik, yang lain tidak.
Hal di atas dipadukan dengan berita hoax dan manipulasi data.
Semuanya dilakukan, sekaligus untuk mengalihkan issu. Agar orang-orang melupakan sisi negatif dirinya. Supaya orang-orang tidak lagi mengungkit dan tidak mengingat-ingat keburukan-keburukannya.
Cerita panjang, dipotong-potong. Dipilih sekuel tertentu. Mana yang kira-kira bisa menaikkan pamornya, itulah yang diangkat. Mana yang dapat menjatuhkan lawannya, cerita itulah yang dieksploitasi dan dibesar-besarkan.
Apa yang diinginkan dari semua ini?
Meraih atau mempertahankan kedudukan. Ia tak rela jika ditinggal pengikutnya. Ia tak siap kesepian. Ia sedih bila orang tak lagi ramai di sampingnya. Ia terpukul jika membuat acara, hanya segelintir orang yang datang. Apalagi dulu sempat dipuja-puja, pernah diminta sebagai tokoh besar, dan disanjung dimana-mana. Ia kecewa besar, jika hasil survei menunjukkan bahwa dirinya tak lagi diminati. Tidak seperti dulu.
Maka, praktik-praktik licik pun ia lakukan demi sebuah kedudukan. Bahkan, agama ia bawa-bawa. Digunakan sebagai batu pijakan. Diperalat guna meraup elektabilitas, bukan ketulusan cinta. Politisasi agama, namanya.Na'udzu billah.
Ada juga yang kebablasan, yaitu saat praktik-praktik licik di dunia politik malah diterapkan dalam beragama. Justru untuk menggerakkan dakwah. Bisa saja pola ini dinamakan agamisasi politik.
Oleh sebab itu, jangan sibukkan diri dengan mengikuti berita-berita politik. Jangan pula habiskan waktu mengamati model dakwah yang memakai trik-trik politik. Sebab, hanya akan mengeraskan hati dan membuat pikiran sumpek.
Al Utsaimin ( Liqa’ul Babul Maftuh no.85 ) menegaskan, bahwa : “ Urusan-urusan politik, bukanlah sebuah permainan yang patut untuk disajikan bagi kalangan orang awam, sehingga setiap orang bisa membicarakannya semaunya “
Sibukkan diri dengan ibadah dan thalabul ilmi. Carilah majlis-majlis ilmu yang menyejukkan hati. Jauhi dan hindari yang membahas konflik dan intrik.
Tarakan, 16 Dzulqa’dah 1444 H/05 Juni 2023
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR