Renungan ketika banyak pahala terlewatkan.
(151)
Sudah Banyak Pahala Terlewatkan
Sahabat Ibnu Umar sangat bersedih dan menyesal. Kenapa?
Baru saat itu beliau mengetahui bahwa pahala mensalatkan jenazah adalah sebesar satu qirath, dan turut menyaksikan pemakamannya dapat satu qirath lagi.
Pahala satu qirath senilai gunung Uhud.
Ceritanya; selesai salat jenazah, Ibnu Umar memilih pulang. Lalu ada berita bahwa Abu Hurairah menyampaikan sabda Rasulullah ﷺ yang menerangkan pahala salat jenazah adalah satu qirath dan memakamkannya dapat satu qirath kedua.
Ibunda Aisyah mendukung dan membenarkan berita tersebut. Memang Nabi Muhammad ﷺ pernah mensabdakan.
Ibnu Umar lantas berkata :
لقَدْ فَرَّطْنَا في قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
" Sungguh! Selama ini, kita telah melewatkan banyak qirath " (HR Bukhari 1325 dan Muslim 945)
Kata-kata di atas diucapkan Ibnu Umar disertai rasa sesal mendalam. Merasa rugi. Merasa terluka. Kenapa kesempatan berpahala dibuang begitu saja?!
Ayahnya, Umar bin Khattab, saat perang Khandaq marah-marah bahkan mencaci maki orang-orang kafir yang datang menyerang kota Madinah. (HR Bukhari 596 dan Muslim 631 dari sahabat Jabir)
Kenapa?
Saking repotnya, karena sibuknya, Umar terlambat salat Ashar. Bahkan hampir matahari tenggelam beliau baru bisa mengerjakan.
Subhanallah! Sebegitu sedih, sesal, dan kesalnya Umar karena terlambat mengerjakan salat. Padahal saat itu suasana perang. Sebuah pertempuran. Alasan yang bisa dimengerti!
Bagaimana dengan yang terlambat karena malas? Karena sibuk kerja? Karena main-main?
Ada lagi sahabat-sahabat yang dikenal dengan sebutan Al Bakka'un (terus menerus menangis).
Kenapa?
Saat diumumkan perang Tabuk, mereka menemui Nabi Muhammad untuk memohon bantuan agar bisa ikut berangkat berperang. Sebab, mereka miskin. Tidak punya apa-apa. Sementara, untuk berperang, diperlukan biaya yang cukup besar.
Allah menceritakan untuk kita peristiwa itu :
وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ إِذَا مَآ أَتَوۡكَ لِتَحۡمِلَهُمۡ قُلۡتَ لَآ أَجِدُ مَآ أَحۡمِلُكُمۡ عَلَيۡهِ تَوَلَّواْ وَّأَعۡيُنُهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ
" Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu". Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan" (QS At Taubah: 92)
Ada salaf yang menangis karena terlambat salat berjamaah.
Ada salaf yang menangis sambil memperhatikan kedua kakinya dan berkata, " Kedua kaki ini belum pernah dipenuhi debu karena berjuang di jalan Allah"
Ada salaf menangis sebelum wafat karena menyesali malam yang tidak digunakan untuk salat, siang yang dilewatkan tanpa puasa.
Lalu bagaimana dengan kita?
Apa yang membuat menangis selama ini? Terlambat ibadah atau terlambat mendaftar kerja? Ketinggalan beramal saleh atau ketinggalan kendaraan? Tidak memperoleh pahala atau tidak mendapatkan bantuan?
Andai ingin meniru Umar bin Khattab, tentu kita akan marah-marah dan mencaci maki diri sendiri. Bukan orang lain. Kenapa terlambat untuk menyambut ajakan kebaikan?
Andai hendak mencontoh Al Bakka'un, bukankah setiap hari kita menangis? Karena tertinggal di garis belakang dalam beramal saleh.
Andai mau meneladani Ibnu Umar, tentu kita akan bilang, " Ah, sudah banyak pahala yang terlewatkan sia-sia"
Jika ada undangan majlis ilmu, jangan lewatkan!
Jika ada ajakan kerjabakti, jangan diam!
Jika ada seruan berinfak, jangan pura-pura tidak tahu!
Jika ada kesempatan beribadah, manfaatkanlah sebaik-baiknya. Sudah banyak kesempatan berpahala yang terbuang begitu saja. Semoga Allah mengampuni.
Lendah, Ruang Zaadul Ma'ad, 09 Nov 2022
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR