(150) Mestinya, Engkau Tak Perlu Bilang Perspektif ini dari individu yang hanya bisa menyaksikan dari jauh. Entah apa yang menjadi sekat, ...
(150)
Mestinya, Engkau Tak Perlu Bilang
Perspektif ini dari individu yang hanya bisa menyaksikan dari jauh. Entah apa yang menjadi sekat, namun paling tidak ada usaha untuk menyingkap tabir. Semoga.
Wahai, Engkau, yang berpeluh keringat karena sibuk berdakwah. Lalui waktu memikirkan, apa yang dapat diperbuat untuk umat. Lintasi zaman habiskan umur demi pendidikan.
Kami beruntung ada figur semacam dirimu. Tak bosan mengingatkan. Tiada lelah menyadarkan. Ajakanmu di hati. Seruanmu ada di sini. Semoga istiqamah.
Di grup-grup medsos, selalu saja ada informasi terbaru. Update berita. Tentang progres dan perkembangan. Apa yang sedang dibutuhkan? Apa yang mesti dikerjakan? Apa yang akan dilakukan?
Tentang Pondok kita. Tentang pendidikan anak-anak kita. Tentang majlis-majlis ilmu. Tentang saudara-saudara kita yang sedang perlu diperhatikan, entah sakit, susah, atau musibah kematian.
Wahai, Engkau, yang nyala semangat seakan tak pernah padam. Bahkan, redup pun hampir tak kami lihat. Jazaakumullahu khairan, Saudaraku. Semoga Allah Ta'ala menjagamu dan menjaga kita semua.
Kadang, walau tak perlu bercerita kepadamu, ada yang menangis di sudut sana. Di sepi dan sunyinya. Sebab, ia ingin rasa di sampingmu, namun tak mampu. Ia menangis karena tak dapat membantu apa-apa. Maafkanlah ia!
Ketika keponakannya datang, Muhammad bin Suqah menangis.
" Paman, demi Allah, andai aku tahu permintaanku ini membuatmu susah, tidak mungkin aku tega menyampaikan", ujar keponakannya.
Muhammad bin Suqah menjawab, " Aku menangis bukan karena engkau meminta tolong. Aku menangis, karena merasa bersalah, kenapa bukan aku yang inisiatif menawarkan bantuan untukmu" (Shifatus Shofwah 3/82).
Muhammad bin Suqah Al Kufi wafat 140-an hijriah. Beliau terhitung tabi'in karena menimba ilmu dari sahabat Anas bin Malik. Bukan hanya ahli hadis, Muhammad bin Suqah dikenal sebagai dermawan.
Demikianlah Salaf mencontohkan!
Mestinya, kita peduli. Ada sensitivitas. Tumbuh inisiatif. Bergerak aktif. " Apa yang bisa saya lakukan? Apa yang dapat saya bantu? ". Begitulah berpikirnya. Jangan hanya diam. Jangan cuma menunggu.
Justru seharusnya malu, sedih, bila perlu menangis, jika didatangi lalu saudaramu menyatakan permohonan bantuan. Mungkin ia datang sambil menahan malu dan sungkan, padahal yang didatangi yang mesti lebih malu dan lebih sungkan.
" Kenapa bukan dia yang menawarkan bantuan?", begitulah ia berpikir.
Seorang Salaf berkunjung ke rumah temannya ( At Tabshirah 2/263). " Apa yang bisa saya bantu? ", tanyanya. Ia pun bercerita sedang mengalami kesulitan finansial. Temannya itu masuk ke rumah mengambil uang lalu diserahkan.
Setelahnya, ia masuk ke rumah kembali menangis. Istrinya bertanya, " Bila engkau merasa berat, bukankah bisa beralasan dan berusaha menghindar?"
" Aku menangis karena merasa bersalah, kenapa aku tidak mengetahui keadaannya yang sedang susah, hingga dia yang datang meminta tolong ", jawabnya.
Subhanallah!
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, jika lampu masjid itu mati. Mestinya kami yang inisiatif mengganti.
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, bila pompa air sumur pondok tidak lagi berfungsi .Harusnya kami lah yang tergerak untuk memperbaiki.
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, kalau santri-santri sedang memerlukan meja belajar agar nyaman menghafalkan Al Qur'an. Kenapa kami tidak berpikir ke sana?
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, bahwa masjid perlu direnovasi. Bukankah pahala memakmurkan masjid amat besar. Ah, kenapa kami hanya diam?
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, bila asrama santri harus ditambah fasilitasnya. Semestinya kami mengerti itu.
Mestinya, Engkau tak perlu bilang, bahwa lokasi belajar semakin sempit dan kurang memadai lagi hingga perlu membeli lahan di sampingnya. Seyogyanya kami berlomba-lomba karena kesempatan ini belum tentu terulang lagi.
Maafkanlah kami, Saudaraku!
Tetaplah dan teruslah bersabar menjadi koordinator. Semoga Allah Ta'ala lapangkan jalanmu. Mudah-mudahan keikhlasan menjadi sandaranmu.
Kedungjambal, 05 Nov 2022
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR