Kritik dan saran dari santri, siap menerima nasihat.
(145)
Surat Kaleng Santri
Ini fenomena unik di pesantren. Bahkan, mungkin saja di dunia pendidikan yang lebih luas.
Tanpa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, surat kaleng sudah dipahami sebagai surat tanpa identitas pengirim. Tidak dapat diketahui siapa yang mengirim, siapa yang menulis, dan siapa yang menaruhnya. Tiba-tiba saja sudah di balik pintu.
Surat kaleng menjadi pilihan santri untuk mengkritik, menegur, atau memberi masukan kepada personal pengurus, ustadz, atau lembaga. Maka, jika dibuka, surat kaleng isinya adalah kata-kata pedas, kalimat yang menusuk, bahkan tidak sedikit bernada cacimaki dan sumpah serapah.
Jika ditelisik, surat kaleng dipilih karena ; pengajar yang dituju santri cenderung temperamen. Mudah emosi. Suka marah-marah. Senang bentak-bentak. Maka, sifatnya itu membuat santri selalu ketakutan. Takut dimarahin. Takut dibentak.
Surat kaleng adalah solusi -menurut santri- untuk menghadapi pengajar yang jika diberi masukan, langsung tersinggung. Pengajar yang hobi kompar, yaitu membalas kritikan dengan menyebutkan kesalahan dan kekurangan pihak yang mengkritik, selalu menjadi obyek surat kaleng.
Secara adab dan etika, surat kaleng tidak dibenarkan! Cara santri semacam itu jelas-jelas salah!
Santri harus bersikap hormat kepada pengajar. Harus memuliakannya. Tidak boleh merendahkan, tidak boleh bersikap kasar. Keberkahan ilmu dapatlah diraih seorang santri apabila menunaikan hak-hak gurunya.
Al Imam Ibnu Muflih mengatakan :
وَيَنْبَغِي احْتِرَامُ الْمُعَلِّمِ وَالتَّوَاضُعُ لَهُ، وَكَلَامُ الْعُلَمَاءِ فِي ذَلِكَ مَعْرُوفٌ
“ Sudah seharusnya untuk menghormati guru dan merendah kepadanya. Keterangan ulama mengenai hal ini sudah jelas “ Al Adabus Syar'iyyah (1/440)
Terlepas dari sikap santri yang salah karena menggunakan surat kaleng, marilah melihat apa yang sebaiknya dilakukan seorang pengurus atau pengajar jika menjadi tujuan surat kaleng.
Sering-seringlah membuka pintu komunikasi dan jendela informasi. Santri-santri itu tidak hanya ingin diperhatikan di dalam ruang kelas. Di luar ruangan pun, mereka tetaplah santri yang perlu diperhatikan. Jangan terlalu berjarak dari mereka!
Biasakanlah diskusi dan sharing dengan santri-santri. Jadilah pendengar yang baik. Jadilah komentator yang baik. Berikanlah tanggapan dengan positif. Sampaikanlah bahasa yang menyenangkan mereka.
Bila ada kritikan atau kata-kata yang menyinggung, maklumi saja. Berlapang dada dan berbesar jiwa. Ajarkan dan didiklah mereka untuk menjadi pribadi-pribadi pemaaf!
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا،
“ Dan tidaklah Allah menambah pada seorang hamba yang mau memaafkan, melainkan kemuliaan“ HR Muslim no.6757
Berikan kesempatan kepada santri-santri itu untuk menuliskan kritikan dan saran. Sediakan satu kotak. Persilahkan mereka memasukkan kertas berisi kritikan atau saran ke kotak itu. Lalu secara rutin, bacalah dan berikanlah tanggapan.
Jika akhirnya ada surat kaleng, coba bacalah dengan hati yang jernih dan pikiran yang bening. Tidak usah sibuk mencari-cari siapa yang kirim. Sambil bertanya pada diri sendiri, “ Kritikan ini benar atau salah? Tepat atau keliru?”. Jika salah dan keliru, kenapa harus marah? Kenapa mesti tersinggung?. Jika memang benar adanya, bukankah harus senang karena ada yang menegur? Bukannya berterimakasih sebab masih ada yang memberi perhatian?
Problemnya adalah jika salah, bukannya minta maaf malah marah-marah.Bukannya mengaku salah, tapi justru balas mencari-cari kesalahan yang mengkritik. Bukannya berterimakasih, namun menimpakan kesalahan kepada orang lain. Alih-alih mendoakan kebaikan, menebar ancaman yang justru dilakukan.
Seseorang pernah mencaci maki Waki' ibnul Jarah. Beliau langsung masuk rumah dan menempelkan wajah ke tanah. Setelah itu Waki' keluar menemui orang tersebut.
" Teruskanlah cacimakimu. Karena Waki' sudah berbuat dosa. Kalau bukan karena dosa Waki', tidak mungkin engkau mencacimakinya" (Siyar A'lam 9/155)
Demikianlah kaum Salaf jika dicacimaki. Bukannya emosi, justru introspeksi diri.
Lendah, 05 Oktober 2022
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR