Pelajaran dari Akhlak Nabi Sulaiman ketika mendapatkan nikmat besar dari Allah.
MUTIARA KALIMAT NABI SULAIMAN عليه السلام
✍🏻 Al-Ustadz Abu Hisyam Sufyan Alwi حفظه الله تعالى
Berbicara mengenai Nabi Sulaiman عليه السلام, berarti kita tengah berbicara tentang seorang yang besar lagi mulia. Bagaimana tidak? Beliau adalah satu-satunya nabi yang diberi kemampuan khusus oleh Allah untuk mampu mendengarkan dan berbincang dengan bahasa binatang. Bukan fabel, bukan rekaan. Ini kisah nyata. Seorang manusia, mampu mengetahui bahkan mampu berbincang dengan hewan-hewan.
Dan tahukah Anda, bagaimanakah kerajaan Nabi Sulaiman عليه السلام? Silakan anda bayangkan sendiri, suatu kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja sekaligus nabi. Rakyatnya adalah manusia, jin, bahkan hewan-hewan. Angin juga tunduk kepadanya. Semuanya berada dalam satu komando dan satu titah. Kerajaan yang begitu besar dan megah. Bangsa jin, dengan segala kekuatannya siap menuruti apa pun yang diinginkan oleh Nabi Sulaiman عليه السلام atas ijin Allah.
Sekali lagi, talenta ini merupakan suatu keistimewaan yang besar. Yang bisa saja membuat si empunya congkak di hadapan lainnya. Menyombongkan diri dan menghinakan manusia dengannya. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk Nabi Sulaiman. Nyatanya hal ini tetap menjadikan Nabi Sulaiman عليه السلام tawadhu dan rendah hati. Hal ini pun tampak dari ucapannya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
"Wahai sekalian manusia, kami telah diberi kemampuan untuk memahami bahasa binatang. Dan kami telah diberi apa pun yang kami inginkan. Sesungguhnya ini adalah benar-benar karunia yang sangat besar." [Q.S. An Naml: 16]
Di dalam ayat yang lain:
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا ۖ وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَىٰ كَثِيرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ
"Sungguh telah kami berikan kepada Dawud dan Sulaiman ilmu yang luas. Maka keduanya pun berkata, 'Alhamdulillah (segala pujian yang baik hanyalah berhak disandang oleh Allah) yang telah mengutamakan kami di atas kebanyakan hamba-hamba-Nya yang mukmin.'" [Q.S. An Naml: 15]
Perhatikan, beliau mengakui bahwa apa yang beliau miliki ini adalah murni kenikmatan dan karunia yang Allah berikan padanya. Bukan semata-mata karena kepintaran dan kepandaian yang beliau miliki. Memang benar, segala nikmat yang kita miliki, kita rasakan dan kita punya, Allahlah yang membuatnya sampai di tangan kita.
Seandainya Allah tidak menginginkan kita mendapatkannya, maka harta itu pun pastilah akan menjauh dari kita. Walaupun mungkin berbagai cara sudah kita tempuh untuk mendapatkannya. Sebaliknya, jika Allah telah menentukan bahwa kita berhak mendapatkan suatu nikmat, maka pastilah nikmat itu akan sampai di tangan kita walau aral rintangan berusaha menghalangi sampainya nikmat itu pada kita.
Allah sendiri yang menegaskan:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ
"Apapun yang Allah karuniakan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seroang pun yang mampu menahannya. Dan apa pun yang Allah tahan dari seseorang, maka tidak ada seorang pun yang mampu melepaskan setelah itu" (Q.S. Fathir: 2)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ
“Dan apapun nikmat yang ada pada diri kalian,maka kesemuanya berasal dari Allah” (Q.S. An Nahl: 53)
Ya, Allah yang menentukan, membagi dan memudahkan bagi kita untuk mendapatkannya.
Adanya pengakuan yang datang dari Nabi Sulaiman عليه السلام di atas terkandung pujian kepada Allah سبحانه وتعالى. Memuji Allah dengan menyebutkan kenikmatan yang Dia berikan padanya. Dan apa yang Nabi Sulaiman عليه السلام sampaikan ini pun salah satu dari syukur nikmat. Di antara bentuk syukur nikmat yaitu seseorang mengakui dan memuji Allah atas nikmat yang Dia berikan padanya. Seperti yang Allah firmankan sendiri:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan atas nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, maka sebutkanlah." (Q.S. Adh Dhuha: 11)
Inilah yang sepatutnya dilakukan oleh seorang mukmin. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala bentuk kenikmatan yang Ia سبحانه وتعالى karuniakan padanya. Baik itu sesuatu yang kecil terlebih sesuatu yang besar. Dan seseorang, ia akan selalu mampu mensyukuri sesuatu yang besar jika ia pun selalu berusaha mensyukuri sesuatu yang kecil. Sebaliknya, jika sesuatu yang kecil saja tidak mampu untuk ia syukuri, apalagi yang besar.
Masih berbicara mengenai betapa syukurnya Nabi Sulaiman عليه السلام, beliau juga pernah berkata:
Masih berbicara mengenai betapa syukurnya Nabi Sulaiman عليه السلام, beliau juga pernah berkata:
قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ
“Ini (yakni apapun yang berada dalam kekuasaanya) semuanya murni karunia dari Rabbku yang dengannya Ia hendak mengujiku, apakah aku mampu bersyukur ataukah bahkan aku mengufurinya." (Q.S. An Naml: 40)
Perhatikanlah kembali ucapan Nabi Sulaiman عليه السلام di atas. Selain beliau mengakui bahwa segala hal yang ada di bawah kekuasaannya itu murni dari Allah, beliau pun menyadari betul bahwa nikmat yang Allah karuniakan kepadanya itu merupakan salah satu bentuk ujian yang Allah berikan kepadanya. Apakah dengan harta, kekuasaan, dan segala apa yang dimilikinya, ia mampu mensyukurinya ataukah tidak.
Maka satu poin penting yang dapat kita simpulkan dari ucapan Nabi Sulaiman عليه السلام di atas. Bahwa yang namanya nikmat -apa pun bentuknya, besar maupun kecil- pada hakikatnya merupakan ujian yang Allah kirimkan kepada hamba-Nya. Mampukah ia mensyukurinya ataukah tidak?
Ujian yang Allah persiapkan dan Allah tentukan kepada manusia sangatlah banyak jenis dan ragamnya. Akan tetapi semuanya, secara umum terbagi menjadi dua hal.
Pertama, ujian yang berupa khair -dalam istilah Al Quran- atau sarra' -dalam istilah hadits-. Yakni, ujian yang berupa sesuatu yang baik. Sebagai contoh ialah ujian yang berupa nikmat. Segala bentuk nikmat merupakan sesuatu yang baik yang kita merasa senang ketika mendapatkannya. Walaupun pada hakikatnya, itu merupakan ujian yang Allah kirimkan kepadanya.
Kedua, ujian yang berupa syarr -dalam istilah Al Quran- atau dharra' -dalam istilah hadits-. Yakni, ujian yang berupa sesuatu yang buruk. Yang seseorang merasa sedih ketika kita mendapatkannya. Jenis yang kedua contohnya ialah ujian yang berupa musibah, hilangnya harta benda, meninggalnya orang yang disayangi dan yang semisal dengannya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan Kami uji kalian dengan perkara yang “syarr” dan “khair" sebagai fitnah. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali" (Q.S. AI Anbiya: 35)
Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya, "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh urusannya selalu dalam kebaikan. Jika ujian yang berupa sarrou mengenainya, maka ia pun bersyukur dan itu baik untuknya. Dan jika ujian yang berupa dhorrou mengenainya, maka ia bersabar dan itu baik untuknya" (H.R Muslim dari sahabat Shuhaib ar Rumi رضي الله عنه)
Maka, siapa yang mampu bersyukur ketika ujian yang berupa sarra' atau khair mengenainya, maka dialah orang yang lulus dan berhasil dalam menghadapi ujian tersebut. Adapun orang yang tidak mampu bersyukur, bahkan kufur dengan ujian jenis ini, maka dialah orang yang gagal dalam menghadapi ujian ini.
Demikian juga siapa yang mampu bersabar kala ujian yang berupa dharra' atau syarr mengenainya, maka dialah orang yang lulus dan berhasil dalam menghadapi ujian tersebut. Adapun orang yang tidak mampu bersabar, maka dialah orang yang gagal dalam menghadapi ujian ini.
Inilah sepenggal faedah dari kalimat mutiara yang disampaikan oleh Nabiyullah Sulaiman عليه السلام. Kita selalu memohon kepada Allah agar selalu bisa membantu dan membimbing dalam menghadapi segala bentuk ujian yang Allah berikan kepada kita.
والله أعلم.
Majalah Qudwah Edisi 014 | t.me/majalah_qudwah
KOMENTAR