Untuk apa kita tercipta di dunia? kita hendak kemana?
MAU KEMANA?
Untuk apa kita tercipta di dunia?
Sebuah pertanyaan yang sering kita dengar, demikian pula jawabannya. Bahkan mungkin telah terhafal di luar kepala. Ibadah adalah tujuan hidup kita. Tepatnya hanya beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Begitu ringkas, dalam penjabaran yang luas tak berbatas.
Ibadah dan ibadah, itulah kewajiban manusia. Adapun kegiatan yang lainnya, sifatnya adalah mendukung tugas mulia ini. Segala sarana dan fasilitas, tidak lain Allah sediakan untuk kesempurnaan dalam ibadah.
Uraian ini begitu mudah kita pahami. Sangat masuk akal dan gampang diterima oleh nurani. Penciptaan kita di dunia, limpahan karunia yang tak terhingga, tentu ada konsekuensinya. Bukan sia-sia tanpa makna. Ada miskin dan kaya, atasan dan bawahan, ada pula yang baik dan jahat, semuanya pasti ada pertanggungjawabannya. Tidak mungkin tidak! Inilah makna dari hikmah Allah subhanahu wata'ala di alam semesta.
Ya, itu semua tercerna dengan sempurna. Namun sayangnya masih sebatas wawasan semata. Masih terbatas pada keyakinan yang belum terlihat dalam amalan nyata. Kecuali sedikit, dengan berbagai kekurangan yang ada. Benar, aplikasinya sulit luar biasa.
Kenapa sulit?
Karena jiwa pada asalnya cenderung pada lawannya. Ia ingin bebas lepas, tak terikat dengan segala beban. Jiwa selalu berambisi untuk puas, bagaimanapun caranya. Bahkan walaupun berseberangan dengan nurani. Bahkan meskipun harus mengorbankan perasaan hati. Yang penting saat ini senang, tidak peduli apa yang akan terjadi dikemudian hari.
Hal ini terlihat semakin jelas ketika dihadapkan pada pilihan. Manakah yang akan diutamakan? Ketika di persimpangan jalan ia terhenti, manakah yang harus disusuri? Saat argumen dua kubu saling beradu. Hati nurani mengatakan, “Jangan itu dosa! Takutlah kepada neraka!” Dengan sigap, nafsu jiwa menjawab, “Ah, sekali-kali ‘nggak apa-apa. Nanti ‘kan bisa tobat darinya.” Tanpa perlawanan berarti, nafsu syahwat mengalahkan nurani. Pergolakan begitu singkat. Dengan mudah hati nurani menyerah tanpa syarat. Demikian pula untuk pertarungan kedua, ketiga, dan seterusnya... Allahul Musta’an.
Kenapa bisa?! Inti masalahnya adalah iman yang payah. Pengetahuan sebatas wawasan, bukan keyakinan jiwa yang tandas mendasar, menghunjam kokoh.
Ya, iman layaknya pohon. Bisa tumbuh subur, sangat mungkin pula layu kemudian mati. Bisa kuat dan tegar melawan badai dan cuaca, bisa pula rapuh kemudian roboh.
Iman memang harus selalu dijaga, bahkan dikuatkan dan ditingkatkan. Layaknya pohon yang harus dirawat, disiangi, dan diairi. Agar tumbuh subur haruslah dilindungi dari berbagai hama dan pengganggu. Demikian pula iman. Belajar ilmu agama, berupaya mengamalkannya adalah penguat keimanan. Itulah media yang akan membantu terjaga dan lestarinya keimanan.
Ketika iman mantap dan kuat, sebelum bertarung, terlebih dahulu nafsu jiwa pasti akan lari. Sehingga tidak perlu lagi ada jatuh korban di pihak nurani. Hanya iman yang akan menyelamatkannya. Maka tentukan pilihan sebelum keadaan semakin sulit. Pilihlah langkah sebelum medan semakin berat. Allahu A’lam.
Simak renungan lainnya dalam buku Renungan Penggugah Iman
https://telegra.ph/Mau-Ke-Mana-10-25
KOMENTAR