Dakwah itu agar kita selamat mereka pun selamat.
(107)
Kita Selamat, Mereka Pun Selamat
Egois!
Manusia berpembawaan egois. Sering memandang dari satu arah. Tak peduli sudut-sudut yang lain. Asalkan hati senang, apa peduli kata orang.
Benarkah demikian?
Orang bijak adalah orang yang berusaha semaksimalnya melihat dari banyak arah. Ia timbang-timbang ; untung rugi, madharat maslahat, dan positif negatifnya.
Sebab, terkadang satu kebaikan yang terburu-buru, justru menghadirkan penyesalan.
Ibnul Jauzi ( al Muntazham 7/15 ) membawakan kisah seorang guru dan murid.
Dua-duanya ulama hadis terkemuka, yaitu Ibrahim an Nakha'i (wafat 96 H) dan muridnya yang bernama Sulaiman bin Mihran al A'masy ( wafat 148 H ).
Beliau berdua sama-sama berstatus tabi'in karena sempat menimba ilmu kepada para sahabat Nabi. Hanya saja beda tingkat.
Guru dan murid sama-sama mengalami cacat mata. An Nakha'i buta sebelah, sementara Sulaiman penglihatannya lemah disertai air mata yang terus mengalir.
Di kota Kufah, tempat menetap mereka berdua, an Nakha'i dan Sulaiman pernah sama-sama berangkat berjalan menuju masjid.
An Nakha'i : "Sulaiman, menurutmu bagaimana, jika engkau mencari jalan sendiri, saya pun mencari jalan yang lain? Sungguh! Saya khawatir jika kita jalan bersama, akan dikomentari orang-orang yang tidak bisa menahan diri : Orang buta sebelah mata sedang menuntun orang yang penglihatannya terganggu! Sebab, mereka akan terjatuh dalam ghibah sehingga berdosa".
Sulaiman : "Abu Imran, bukan salah Anda. Bukankah kita memperoleh pahala, sementara merekalah yang berdosa".
An Nakha'i : "Subhanallah! Justru, bagaimana kita bisa selamat, dan mereka pun selamat. Hal itu lebih baik daripada kita berpahala, sementara mereka yang berdosa".
Subhanallah!
Begitu jauh ulama Salaf melihat. Sangat dalam mereka menyelam. Dari titik yang tinggi, suatu persoalan dipelajari.
Paling tidak ada 3 pelajaran hidup dari kisah di atas yang bisa dicatat :
1. Jangan mudah berucap! Timbang-timbanglah dengan masak. Walau dibilang lamban, atau dikata lambat, tidak mengapa. Daripada terburu-buru lalu menyesal kemudian tak berguna.
Ingat, tidak semua kejadian patut dikomentari. Tidak setiap peristiwa direspon. Pilah-pilih lah mana yang perlu dipikirkan. Jangan semua-semua dipikir. Tak kan mampu kita.
Dua orang yang sedang berjalan bersama, kenapa dikomentari? Hanya karena yang satu buta sebelah mata, lainnya lemah penglihatan?
Duh, betapa sering kita mengomentari. Sudah banyak kata keluar terucap karena menanggapi. Padahal, bukan kemaslahatan!
2. Jangan egois!
Seringkali seseorang mengabaikan yang lain. Hanya karena merasa benar. Hanya disebabkan ia yakin tidak salah. Oh, bukan sesempit itu!
Coba pertimbangkan, apa dampak ucapanmu? Apa efek perbuatanmu? Apa akibat sikapmu?
Jika masih ada pilihan lain yang lebih selamat, kenapa tidak? Bila ada alternatif, kenapa memaksakan diri?
Jangan menyebabkan orang lain berburuk sangka! Jangan membuat orang lain ghibah! Jangan menyengaja supaya orang lain iri!
Contohlah Ibrahim an Nakha'i! Beliau yang dipuji Imam Ahmad bin Hanbal sebagai , " Ulama cerdas, hafiz, dan penegak Sunnah "
3. Jangan menilai orang sebatas fisiknya!
An Nakha'i memang cacat mata, namun hatinya bersih. Jernih. Bening. Rahimahullah.
Sementara, di sana, banyak yang baik fisiknya bahkan dibilang hampir sempurna, namun akhlak dan perilakunya jauh dari kata mulia.
Fisiknya istimewa, namun rela melakukan hal-hal yang hina. Karena, mulia atau hina tidak ditakar oleh fisik, namun diukur dengan akhlak yang luhur.
Jogja, 02 Ramadhan 1443 H/04 April 2022
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR