Kisah tentang hijrah ke manhaj salaf dan tantangannya.
Indahnya Hijrah
Waktu terus bergulir. Hari demi hari perjalanan saya mendapatkan hidayah terus berproses. Semoga para pembaca masih ingat kisah hijrah saya yang pertama. Sekarang saya ingin melanjutkannya.
Saya masih di bangku kuliah. Di saat-saat skripsi ada tebersit keinginan untuk segera keluar kuliah karena merasa banyak ikhtilath yang tidak dapat dihindari..
Bolak-balik ke kampus bertemu dosen, menyambangi kantor Dinas Kesehatan, Kantor Balaikota untuk mengurus izin penelitian dan lain-lain. Ingin rasanya saya bebas dari kegiatan perkuliahan dan fokus belajar agama.Tetapi di satu sisi tidak ingin mengecewakan orangtua dan tidak ingin membuat mereka marah. Puluhan juta telah keluar untuk membiayai uang kuliah saya dari D3 hingga lulus, kemudian lanjut ke S1.
Pikiran terus berkecamuk menghampiri. Saya pun berdiskusi dengan ummahat dan ustadzah bagaimana solusinya agar bisa keluar kuliah secepatnya. Ummahat dan ustadzah menasihati untuk segera menikah, agar ada yang membimbing dan menyelamatkan manhaj saya..
Saya pun mulai memikirkan nasihat ummahat dan ustadzah tersebut. Tetapi saya merasa bimbang.., adakah calon suami yang bersedia menerima saya yang masih kurang dalam ilmu agama? Dan apakah ia akan menerima keluarga saya? Sedangkan ayah dan mama berbeda agama...? Pikiran itu terus terngiang-ngiang di dalam hati.
Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk meminta tolong kepada ummahat, agar mau membantu saya memproseskan dengan seorang calon suami. Namun, Qadarullah beberapa saat telah berlalu, tidak ada satu info pun tentang calon suami untukku. Bahkan saya sempat mendengar bahwa ada ummahat yang tidak berani membantu memproseskan saya dengan calon suami, karena saya pernah mengaji di DT Bandung. Meskipun saya sudah menegaskan bahwa saya telah rujuk ke manhaj salaf dan tidak mengaji ke DT lagi.., tapi apa mau dikata mereka benar-benar tidak berani menta’arufkan saya..
Saya semakin putus asa, harus bagaimana selanjutnya. Saya benar-benar ingin terbebas dari bangku kuliah, agar bisa menuntut ilmu dan tidak dikejar-kejar dengan aktivitas kampus..
Akhirnya, alhamdulillah, beberapa bulan kemudian, ada seorang ikhwah datang ke rumah melamar. Subhanallah ini saat-saat yang saya nantikan. Demikian bergembiranya akhirnya saya akan segera mendapatkan jodoh. Akhirnya saya akan terbebas dari perkuliahan. Akhirnya saya akan mendapat kesempatan untuk lebih fokus belajar agama. Demikian batin saya berkata.
Alhamdulillah, kedatangan dan proses bertamu ikhwah tersebut ke rumah berjalan lancar. Setelah mengutarakan maksud melamar saya, kemudian ikhwah beserta rombongan tersebut pulang. Namun setelah mereka pulang mama marah-marah. Tampaknya beliau kaget, ada orang baru pertama kali ke rumah sudah langsung mengajak menikah anaknya. Mama juga takut waktu itu kalau calon suaminya tidak baik. Menurut beliau seharusnya saling mengenal dulu baru memutuskan menikah.
Namun, saya terus melobi dan melobi orangtua, agar merestui proses ini. Setelah itu saya terpaksa mengatakan ke mama, bahwa saya tidak akan pernah menikah selain dengan calon suami salaf. Dengan berat hati, akhirnya mama menyetujuinya, dikarenakan beliau khawatir, kalau saya jadi perawan tua. Alhamdulillah.
Namun, ujian belum selesai. Ketika saya sedang istirahat di kamar setelah selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, tiba-tiba mama memanggil dan menanyakan soal biaya pernikahan. Dan mama meminta ke calon mantunya 60 juta. Saya mendengarnya sangat kaget sekali. Saya menjelaskan ke mama, bahwa ikhwah yang melamar saya adalah dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja serabutan menanam pohon-pohon di taman, sedangkan ibunya membuat selongsong ketupat.
Mendengarkan penjelasan saya, mama tidak mau mendengar. Bahkan mengatakan, ”Saya menguliahkanmu berjuta-juta, apakah kamu mau dihargai 5 juta haa?” (Calon suami pernah mengatakan ke mama, bahwa beliau hanya punya 5 juta untuk biaya pernikahan. Tetapi waktu itu mama tidak mengatakan apa-apa di depan calon suami. Beliau seolah-olah tidak keberatan dengan dana yang ada hanya segitu). Mendengar perkataan mama tersebut, saya benar-benar sakit hati. Hati ini serasa dihujam batu yang besar, kerena saya seperti barang yang diperdagangkan.
Tetapi saya harus tetap sabar dan tetap tenang menghadapi ini semua. Biar bagaimanapun, beliau adalah mama kandung yang telah melahirkan saya. Masih banyak cara untuk melobi orangtua.
Dengan kondisi yang seperti itu, saya langsung negosiasi ke perantara, bagaimana jika biaya pernikahannya 15 juta, sehingga kemudian disampaikan ke calon suami tersebut. Awalnya beliau merasa keberatan, karena 15 juta menurutnya sangat besar sekali. Saya memaklumi karena beliau hanya seorang karyawan biasa di sebuah toko herbal. Namun, saya menyemangati calon suami melalui perantaranya, Insya Allah tidak apa-apa jika terpaksa mencari pinjaman dulu 15 juta. Yang penting ada dana masuk ke rekening mama. Masalah penulasannya bisa dipikirkan bersama-sama setelah menikah.
Dengan berat hati, akhirnya beliau pun menyetujui permintaan saya. Walhasil beliau mencari pinjaman ke teman-teman dan ke bos-nya. Alhamdulillah calon suami mendapatkan pinjamannya. Dan yang menggembirakannya Bosnya meminjamkan 7 juta, dan akan dibayar dengan sistem potong gaji..
Maka saya pun memberitahu mama bahwa calon suami menyanggupi hanya 15 juta saja. Mama saya marah dan mengatakan, “Kalau begitu urus saja pernikahanmu sendiri, mana cukup 15 juta.” Mendengar itu saya hanya diam, beberapa menit kemudian saya langsung mengiyakan, dan akan mengurus sendiri untuk masalah yang saya hadapi ini.
Namun bagaimanapun seorang ibu tetaplah seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya. Mama tentu tidak tega melihat anaknya mengalami kesulitan. Mungkin mama khawatir jika saya nekat melangkah sendiri karena melihat saya sudah kekeh ingin melanjutkan proses pernikahan ini. Bahkan kemudian mama menginginkan berkunjung ke rumah calon mertua untuk memastikan keadaan mereka. Saya langsung menyetujuinya. Awalnya saya tidak ingin ikut, tetapi mama menginginkan saya harus ikut. Bulan Desember kami berangkat berkunjung ke rumah calon mertua di Jogja.
Setelah tahu keadaan calon besannya, mama mulai menyadari bahwa 60 juta tidak mungkin bisa dipenuhi oleh calon menantunya tersebut. Mama akhirnya menyetujui dana pernikahan 15 juta saja dan sisanya ditanggung oleh mama. Alhamdulillah, satu masalah lagi selesai.
Beberapa minggu setelah pulang dari Jogja, ada masalah baru ketika membicarakan konsep acara pernikahan. Saya mengajukan permintaan bahwa acara pernikahan agar diselenggarakan sesuai syariat Islam. Tidak ada musik, tidak ada foto-foto, tamu laki-laki dan wanita terpisah. Mama tidak setuju dengan konsep tersebut karena katanya aneh. Mama mengatakan supaya saya tidak perlu ikut campur dengan konsep pernikahan, biar beliau saja yang mengurusnya.
Mendengar itu saya sangat risau, kenapa harus begini..
Qadarullah ketika calon suami saya mendengar bahwa acara pernikahan nanti tidak syar’i, beliau memutuskan untuk mundur. Beliau merasa tidak sanggup harus seperti itu. Saya benar-benar sedih mendengar itu, dan tidak tahu harus bagaimana. Jika proses pernikahan ini gagal, saya masih harus terus menerus di dalam lingkungan keluarga. Saya khawatir tidak bisa istiqomah berjalan di atas manhaj salaf. Bisa saja saya kembali futur karena tidak ada yang membimbing dan melindungi saya. Itu semua saya sampaikan kepada calon suami.
Mendengar perkataan keluhan saya, calon suami pun kembali maju untuk melanjutkan proses ini. Hanya untuk menyelamatkan manhaj saya. Alhamdulillah saya sangat bersyukur atas ini semua. Meskipun dengan berat hati, kami harus melaksanakan acara pernikahan sesuai keinginan mama.
Hari pernikahan yang ditunggu pun tiba. Pukul 09.00 pagi, acara akad nikah pun dimulai. Calon suami sudah siap dengan pakaiannya. Beliau memakai jas pengantin warna putih yang sudah disewa dan baju adat yang tidak syar’i. Namun calon suami sudah menyiapkan jubah punya sendiri warna putih. Beliau tetap bersikukuh ingin mengenakannya. Akhirnya dikenakanlah pakaian adat dan jubah putihnya (tidak peduli orang melihatnya aneh, yang penting syar’i). Dan acara mengalir berlangsung dengan lancar. Alhamdulillah ala kulli hal.
Oh, ya wali nikah saya bukan ayah dan kakak saya, karena mereka masih Nasrani. Sedangkan adik saya (muslim) belum mampu jadi wali. Demikian pula adik-adik saya yang lainnya masihlah sangat kecil. Jadi saya memutuskan untuk memakai wali hakim dari KUA. Ijab kabul selesai, tamu undangan dari jogja terharu dan menangis. Calon suami memeluk kembarannya dan menangis, lalu memeluk ayahnya.
Suami dan saya di Bandung hanya 1 minggu karena suami memutuskan untuk kembali ke Jogja. Saya dan suami memutuskan untuk sekalian mengurus surat pindah, agar tidak bolak-balik. Namun kemudian ada masalah.
Waktu proses dengan suami sampai acara walimahan selesai, status saya masih mahasiswi dan belum keluar dari kampus. Saya sempat berjanji ke mama, walaupun saya sudah menikah, saya akan tetap menyelesaikan skripsi. Biar suami ke Jogja duluan, dan saya di Bandung dulu untuk menyelesaikan skripsi. Mama pun setuju dengan rencana saya ini..
Namun qadarullah suami tidak setuju jika saya masih harus di Bandung dan meneruskan skripsi. Karena suami tidak ingin istrinya harus ikhtilath di kampus dan tidak memakai cadar. Saya mengatakan kepada suami bahwa saya sudah berjanji kepada mama akan menyelesaikan skripsi sampai tuntas. Lalu tiba-tiba suami mengatakan, “Kamu durhaka kepada suami jika tidak mengikuti kata-kata suami.”
Mendengar itu saya menjadi bingung, lalu saya memutuskan lebih mengikuti perintah suami. Akhirnya kami berdua sepakat sebelum pulang ingin memberitahu masalah ini kepada mama bahwa saya tidak akan melanjutkan skripsi.
Mendengar bahwa saya tidak akan meneruskan skripsi, mama saya sangat marah besar dan serta merta mengusir kami dari rumah. Sedangkan ayah saya tidak bisa berkutik karena merasa segan kepada mama. Perlu diketahui ayah saya tipenya tidak seperti mama. Ayah cenderung mengikuti keinginan anak. Terserah mau bagaimana juga, asal anaknya bahagia.
Sebelum berangkat, saya berpamitan ke adik-adik dan ayah. Lalu saya menuju kamar mama untuk berpamitan. Mama Saya tidak mau melihat kami berdua, karena masih marah. Saya hanya mengucapkan, “Mah..maafkan aku ya kalau ada salah. Aku dan suami mohon pamit mau ke Jogja.” Mama sekadar bergeming, hanya diam saja.
Saya pun meninggalkan kamar mama dan melihat adik-adik dan juga bapak. Ada rasa sedih menggelayut di dalam hati. Kaki ini terasa berat meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama orangtua dan juga saudara-saudara kandung. Namun langkah kaki ini telah mantap, mengikuti suami tercinta.
Kami sampai di Kota Jogja sekitar pukul 7 pagi. Turun dari kereta, kami langsung ke gerbang arah pintu keluar. Di depan sudah menunggu kembaran suami dan juga bapak suami. Kami pun langsung menuju ke rumah orangtua suami.
Sesampainya di rumah orangtua suami, saya langsung dibawa ke kamar untuk istirahat sejenak. Di kamar saya langsung sms mama, mengabari bahwa saya sudah sampai di Jogja, tapi tidak direspon.
Besoknya saya sms lagi ke mama, barulah beliau merespon. Mama mengatakan beliau sedih. Beliau sebenarnya belum mau jauh dengan saya. Saya hanya mengatakan, bahwa suatu saat saya pasti ke Bandung lagi. Mama tidak membalasnya.
Alhamdulillah setelah di Jogja, saya mulai bercadar. Tidak ada lagi rasa takut untuk mengenakannya. Mau ke kajian bebas, tidak ada lagi halangan. Meskipun baru sebulan menjalani hidup baru, saya sudah merasa betah di Jogja.
Saya pun menghubungi mama, mengabarkan bahwa saya sudah bercadar. Mama membalas pesan saya dengan nada marah. Mama melarang saya ke Bandung karena saya bercadar. Mama mengatakan sangat malu jika para tetangga dekat rumah tahu kalau saya sudah bercadar. Beliau sangat marah sampai mengatakan tidak mengakui lagi saya sebagai anak. Mendengar itu, saya benar-benar sedih. Mengapa ada lagi ujian seperti ini.
Berbulan-bulan saya tidak berani menghubungi mama. Saya khawatir beliau masih marah. Dan mama juga sama sekali tidak mau menghubungi saya.
Dua bulan kemudian saya diuji sakit. Di masa haid perut saya sangat sakit sekali. Biasa haid hanya 7 hari, ini lebih dari 7 hari. Dan warna darahnya merah cerah. Lalu istri kembaran suami menyarankan saya untuk ke dokter kandungan, agar diperiksa.
Malamnya sepulang suami pulang kerja, saya dibawa ke klinik dokter kandungan yang tidak jauh dari rumah orangtuanya. Sampai di klinik, saya langsung diperiksa dengan USG. Di temukan kista seukuran 5 cm di sel indung telur bagian kanan, kata dokter seukuran telur ayam. Dan dokter mengatakan ini harus segera di operasi. Mendengar keterangan dokter tersebut, saya sangat takut dan kaget sekali. Kenapa bisa seperti ini? Suami menenangkan, sehingga kami pamit ke dokter untuk pulang.
Satu minggu kemudian saya mengabari ke mama bahwa saya sakit; ada kista. Mendengar itu mama kaget, dan langsung ingin berangkat ke Jogja untuk menjenguk saya.
Satu bulan kemudian setelah 1 minggu lebaran, mama dan adik-adik ke Jogja. Begitu bahagianya saya, akan bertemu dengan mereka.
Tibalah mama di Jogja setelah Shubuh. Saya dan mama saling melepas rindu. Mertua juga sangat senang dengan kedatangan besannya.
Siangnya mama mengajak saya dan suami, mertua, adik-adik ipar dan simbahnya ke pantai. Sebelumnya kami mampir dulu ke saudara-saudara suami, untuk memperkenalkan mama dan adik-adik saya.
Di pantai kami pun duduk bercengkerama sambil memesan makanan. Sembari menunggu pesanan datang, suami yang duduk dekat mama memulai perbincangan, “Maa, tolong izinkan Salma pakai cadar yaa, karena saya sebagai suami merasa bertanggung jawab dengan aurat Salma.” Mama menjawab setelah berpikir sejenak, “Boleh, tapi di Jogja saja, kalau di Bandung cadarnya dilepas.“
Kami semua menyantap hidangan tersebut sambil mengobrol. Tiba-tiba mama berkata, “Saya senang bisa berkumpul seperti ini, dan saya tidak keberatan kamu memakai cadar. Karena kamu memang orangnya keras kepala, kalau A ya A. Tidak bisa dilarang. Jadi saya tidak melarang lagi, ini sudah keputusanku.“ Dan saya sangat senang sekali berkumpul seperti ini.” He, he, he tiba-tiba simbah suami menangis karena terharu dengan ucapan mama.
Alhamdulillah puji syukur atas karunia Allah. Allah telah meluluhkan hati mama dan menerima kondisi saya yang sekarang. Dan mama tidak membahas soal skripsi lagi. Bahkan membantu kami dan mendukung kami berjualan buku Islam dan busana muslim. Tidak ada lagi kemarahan yang terpancar di wajah mama. Bahkan ada rasa sayang yang tulus kepada kami berdua. Lebih dari itu, bahkan saya melihat dan merasakan mama lebih menyayangi menantunya ketimbang saya he,he,he..
Hikmah terbesar dari semua kisah ini adalah bahwa ketika seorang hamba sedang diuji dengan penentangan dalam menjalani Al Haq, maka sebenarnya Allah sedang menginginkan agar hamba-Nya tersebut kuat untuk menggadapi ujian itu dan tetap kokoh di atas Al Haq. Dan barangsiapa benar-benar menginginkan Al Haq, Insya Allah Allah akan mudahkan semua urusannya. Allahu’alam.
Sumber : "Secercah Harapan Untuk Masa Depan"
https://telegra.ph/Indahnya-Hijrah-03-08
KOMENTAR