Cerita Kisah Biografi Asiyah Istri Firaun yang Shalihah Peraih Janji Surga.
Asiah, Istri Fir’aun - Wanita Peraih Janji Surga
Al-Ustadz Idral Harits hafizhahullah
Ujian Keimanan
Telah diceritakan bahwa dakwah Nabi Musa dan Nabi Harun ditentang oleh Fir’aun dan para pengikutnya. Fir’aun meminta bukti yang menguatkan bahwa Nabi Musa memang benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi Musa ‘alaihissalam menunjukkan sebagian mukjizat beliau. Namun, Fir’aun justru mengejek bahwa itu semua adalah sihir dan menantang Nabi Musa untuk mengadu kekuatan sihir pada hari yang disepakati.
Seluruh rakyat, baik dari bangsa pribumi (Qibti) maupun Bani Israil, sama menunggu dengan hati berdebar-debar, siapa yang akan memenangi adu kekuatan antara sihir antek Fir’aun dan mukjizat Nabi Musa.
Setelah para tukang sihir dari seluruh wilayah kerajaan berkumpul, mereka menantang Nabi Musa agar melemparkan apa yang mereka inginkan. Akan tetapi, Nabi Musa ’alaihissalam menyuruh mereka agar melemparkan lebih dahulu. Mereka pun melempar tali dan tongkat mereka masing-masing ke hadapan Nabi Musa ‘alaihissalam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ أَلۡقُواْۖ فَلَمَّآ أَلۡقَوۡاْ سَحَرُوٓاْ أَعۡيُنَ ٱلنَّاسِ وَٱسۡتَرۡهَبُوهُمۡ وَجَآءُو بِسِحۡرٍ عَظِيمٖ ١١٦ ۞وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَلۡقِ عَصَاكَۖ فَإِذَا هِيَ تَلۡقَفُ مَا يَأۡفِكُونَ ١١٧
“Musa menjawab, ‘Lemparkanlah (lebih dahulu)!’ Tatkala mereka lemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).
Kami pun mewahyukan kepada Musa, ‘Lemparkanlah tongkatmu!’, maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan.” (al-A’raf: 116—117)
Nabi Musa sempat merasa takut. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan bahwa beliau akan menang, lalu memerintahkan agar beliau segera melemparkan tongkat beliau. Dengan seketika, tongkat Nabi Musa menelan semua tali dan tongkat yang dilemparkan oleh para tukang sihir tersebut.
Para tukang sihir itu kalah telak. Namun, mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Musa bukanlah sihir, tidak sama dengan apa yang mereka perbuat. Oleh karena itu, mereka segera bersujud sambil bersaksi, “Kami beriman kepada Rabb Musa dan Harun (yaitu Allah subhanahu wa ta’ala).”
Di dalam istana, Asiah menunggu-nunggu berita tentang siapakah yang menang. Setelah diberitahu bahwa putra angkatnyalah yang menang, dia pun bersaksi menyatakan keimanannya.
Itulah kemuliaan yang ditakdirkan oleh Allah untuknya. Bisa jadi, salah satu sebabnya adalah dia telah melindungi dan menyayangi Nabi Musa sejak bayi. Semoga Allah meridhainya.
Asiah berusaha menyembunyikan keimanannya serapat-rapatnya dari suami dan para tentaranya. Selama beberapa waktu, sang suami sama sekali tidak mengetahui bahwa istrinya telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adalah sunnatullah bahwa setiap orang yang telah menyatakan dirinya beriman pasti menghadapi berbagai cobaan terhadap keimanannya. Dengan ujian itu, iman itu akan disaring, jujur ataukah dusta, kuat ataukah lemah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 1—3)
Suatu ketika, Fir’aun mengetahui juga bahwa istrinya, Asiah, telah beriman kepada bekas anak angkat mereka yang kini menjadi Rasul Allah. Fir’aun curiga, jangan-jangan inilah anak laki-laki Bani Israil yang akan menghancurkan dia dan kerajaannya. Mengingat hal ini, semakin memuncaklah kemarahannya, lebih-lebih terhadap istrinya, Asiah.
Fir’aun menganggap istrinya itulah yang menjadi biang keladi semua ini. Kalau dahulu dia membiarkan Fir’aun membunuh bayi itu, tentu tidak begini jadinya. Akan tetapi, takdir Allah subhanahu wa ta’ala Yang Mahakuasa siapa yang dapat menduga?
Begitu melihat Musa yang tergolek di dalam tabut yang hanyut di atas gelombang air, Asiah, istri Fir’aun, segera jatuh cinta, merasa sayang dan suka kepadanya. Hal itu pun menjadi sebab kebahagiaannya karena memperoleh hidayah. Tidak demikian halnya suaminya yang durjana.
Itulah kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang tiada satu makhluk pun dapat melepaskan diri darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 1—3)
Suatu ketika, Fir’aun mengetahui juga bahwa istrinya, Asiah, telah beriman kepada bekas anak angkat mereka yang kini menjadi Rasul Allah. Fir’aun curiga, jangan-jangan inilah anak laki-laki Bani Israil yang akan menghancurkan dia dan kerajaannya. Mengingat hal ini, semakin memuncaklah kemarahannya, lebih-lebih terhadap istrinya, Asiah.
Fir’aun menganggap istrinya itulah yang menjadi biang keladi semua ini. Kalau dahulu dia membiarkan Fir’aun membunuh bayi itu, tentu tidak begini jadinya. Akan tetapi, takdir Allah subhanahu wa ta’ala Yang Mahakuasa siapa yang dapat menduga?
Begitu melihat Musa yang tergolek di dalam tabut yang hanyut di atas gelombang air, Asiah, istri Fir’aun, segera jatuh cinta, merasa sayang dan suka kepadanya. Hal itu pun menjadi sebab kebahagiaannya karena memperoleh hidayah. Tidak demikian halnya suaminya yang durjana.
Itulah kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang tiada satu makhluk pun dapat melepaskan diri darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذۡ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّكَ مَا يُوحَىٰٓ ٣٨ أَنِ ٱقۡذِفِيهِ فِي ٱلتَّابُوتِ فَٱقۡذِفِيهِ فِي ٱلۡيَمِّ فَلۡيُلۡقِهِ ٱلۡيَمُّ بِٱلسَّاحِلِ يَأۡخُذۡهُ عَدُوّٞ لِّي وَعَدُوّٞ لَّهُۥۚ وَأَلۡقَيۡتُ عَلَيۡكَ مَحَبَّةٗ مِّنِّي وَلِتُصۡنَعَ عَلَىٰ عَيۡنِيٓ ٣٩
“Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Aku pun telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (Thaha: 38-39)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa setiap orang yang melihat Nabi Musa akan segera menyukai beliau. Tidaklah beliau beralih dari satu keadaan ke keadaan lainnya dalam asuhan keluarga istana, melainkan di bawah pengawasan dan pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala Maha Melakukan apa yang diinginkan-Nya, tidak ada satu pun yang dapat menentang-Nya.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala hendak memuliakan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang diinginkan-Nya, Dia menakdirkan bahwa bayi suci keluarga ‘Imran itu justru dipungut oleh keluarga istana dan menjadi anggota mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱلۡتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرۡعَوۡنَ لِيَكُونَ لَهُمۡ عَدُوّٗا وَحَزَنًاۗ
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (al-Qashash: 8)
Menurut Ibnu Ishaq, lam di sini adalah lam ‘aqibah (bermakna “akibat”), bukan lam ta’lil (bermakna “agar, supaya”). Sebab, mereka tidak ingin memungut Nabi Musa supaya beliau menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Akan tetapi, menurut Ibnu Katsir, apabila diperhatikan makna susunan kalimatnya, lam tersebut tetap sebagai lam ta’lil. Sebab, maksud ayat ini ialah Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan mereka akan memungut beliau untuk menjadikan beliau sebagai musuh dan kesedihan bagi mereka. Dengan demikian, hal ini lebih sempurna dalam menggugurkan kekhawatiran mereka. Oleh karena itu pula, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ فِرۡعَوۡنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُواْ خَٰطِِٔينَ ٨
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (al-Qashash: 8)
sehingga sangat pantaslah mereka menerima hukuman dan penyesalan tersebut.[1]
Kemurkaan dan dendam Fir’aun semakin memuncak, lebih-lebih setelah mengetahui bahwa istrinya, Asiah bintu Muzahim, benar-benar sudah beriman kepada bekas anak angkatnya, Musa bin ‘Imran ‘alaihissalam. Akhirnya, setiap hari Asiah dijemur di bawah terik matahari. Namun, setiap kali dia ditinggal sendirian oleh Fir’aun, para malaikat datang menaunginya dengan sayap-sayap mereka.
Bosan dengan satu jenis siksaan, Fir’aun memerintahkan prajuritnya mencari batu besar untuk dilemparkan ke tubuh Asiah yang sedang dijemur.
“Tanyai dia! Kalau dia tetap beriman, lemparkan batu itu ke tubuhnya. Kalau dia menarik ucapannya, dia tetap sebagai istriku.”
Ternyata, Asiah tetap berpegang pada keimanannya. Fir’aun dan beberapa pembesarnya melihat ke arahnya yang tersenyum. Mereka pun terheran-heran, “Sudah gila dia rupa-rupanya. Kita siksa dia dengan hebat, dia malah tersenyum.”
Ahli tafsir menyebutkan bahwa Asiah tersenyum karena doanya dikabulkan oleh Allah. Sebuah rumah dari permata putih sudah disediakan untuknya di dalam surga. Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkannya dari keganasan Fir’aun dan tentaranya. Allah mencabut ruhnya, menyelamatkannya dari kekejaman Fir’aun. Batu besar yang disiapkan untuk meremukkan tubuh Asiah akhirnya dilemparkan juga, tetapi hanya menimpa seonggok jasad yang sudah kaku.
Ruh wanita yang mulia ini telah sampai di sisi Khaliqnya.
Keimanan Asiah dan keberadaannya bersama Fir’aun menjadi ibrah bagi kaum wanita yang datang sesudahnya. Asiah hidup di atas keimanan yang sempurna, keteguhan yang utuh, dan selamat dari ujian. Oleh karena itu, sangatlah pantas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan dalam sabda beliau,
كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ؛ وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Yang mulia dari kalangan pria itu banyak, tetapi tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita selain Asiah, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran; dan sesungguhnya keutamaan ‘Aisyah di atas kaum wanita seperti keistimewaan tsarid daripada semua makanan.”[2]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengabadikan kisahnya sebagai sebuah contoh nyata bagi orang-orang yang beriman,
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱمۡرَأَتَ فِرۡعَوۡنَ إِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ٱبۡنِ لِي عِندَكَ بَيۡتٗا فِي ٱلۡجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ١١
“Allah menjadikan istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Firdaus, selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (at–Tahrim: 11)
Demikianlah perumpamaan yang dibuat oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk orang-orang yang beriman, bahwa hubungan keluarga atau kekerabatan dengan orang-orang kafir tidak memudaratkan mereka, tidak mengurangi pahala mereka, dan tidak merusak kedekatan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, selama mereka menjalankan kewajiban mereka.
Kedudukan Asiah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala tidak berubah meskipun dia adalah istri musuh-Nya yang paling berani mengucapkan kata-kata yang sangat buruk.
Beberapa Hikmah
Dari kisah ini kita dapat memetik beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut.
Tidak dapat diingkari bahwa al-Qur’anul Karim memberikan banyak perumpamaan dalam membimbing manusia. Akan tetapi, perumpamaan-perumpamaan tersebut tidak dapat dimengerti selain oleh orang-orang yang berilmu.
Perumpamaan yang dipaparkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat at-Tahrim ini telah memberikan pengaruh yang luar biasa, yang terlihat nyata dalam kehidupan dua ibunda orang-orang yang beriman, yaitu ‘Aisyah dan Hafshah, serta yang lainnya.[3]
Kejahatan dan kezaliman Fir’aun tidak menghalangi Asiah untuk mengatakan, “Aku beriman kepada Rabb Musa dan Harun (yaitu Allah subhanahu wa ta’ala).”
Keimanan yang meresap ke dalam hati Asiah adalah keimanan yang sejati, tidak goyah oleh terpaan badai dan godaan atau cobaan apa pun. Hal ini terlihat ketika dia dengan tabah menerima siksaan dari suaminya sendiri. Asiah tidak meminta keringanan, tetapi berdoa kepada Allah agar dibuatkan rumah untuknya di dalam surga.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang wanita yang bersabar menghadapi keburukan akhlak suami akan diberi pahala oleh Allah seperti yang diberikan-Nya kepada Asiah. Wallahu a’lam.
_______
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
[2] HR. al-Bukhari (no. 3411) dan Muslim (no. 2431).
[3] Insya Allah akan dikisahkan dalam edisi-edisi mendatang majalah Qonitah ini.
Sumber : Arsip website Qonitah.com
KOMENTAR