"Wettu Pammulangna Ilejjaki Ri Suruga" Judul di atas adalah terjemah dalam bahasa Bugis untuk jawaban Imam Ahmad bin Hanbal saat d...
"Wettu Pammulangna Ilejjaki Ri Suruga"
Judul di atas adalah terjemah dalam bahasa Bugis untuk jawaban Imam Ahmad bin Hanbal saat ditanya, " Kapankah kita bisa benar-benar istirahat?".
Beliau menjawab,
عند أوّل قَدَمٍ تضُعها في الجنّة !
" Saat pertama kali menginjakkan kaki di surga".
Selalu mengingat jawaban Imam Ahmad di atas termasuk modal besar untuk mengurangi penat dan mengelola lelah.
Sebab, dunia ini penuh masalah dan problem. Sebab, dunia ini adalah satu perjalanan menuju perjalanan berikutnya. Tidak berhenti kecuali di akhir perjalanan yang sebenarnya, yakni surga (harapan kita semua).
Barangkali, spirit inilah yang menggerakkan kita untuk ingin bersabar di atas thalabul ilmi.
Terharu saat berbincang-bincang dengan peserta kajian di Sengkang. Ketika mereka menyebut asal daerahnya.
Soppeng, Sidrap, Pinrang, terus ke atas sampai Pasangkayu di Sulawasi Barat. Ada juga rombongan Palopo hingga yang harus menyebrang Teluk Bone, yakni Kolaka di Sulawesi Tenggara.
Kadang iri kenapa bisa mereka bersemangat seperti itu? Sementara ada yang di dekat-dekat majlis ilmu enggan atau tak bisa berjuang untuk datang.
Semoga perjalanan mereka -dan kita semua-, menuju majlis ilmu adalah perjalanan yang kita pilih untuk bisa masuk surga.
***
Jalur pulang dari Sengkang menuju Bandara Maros berbeda dengan saat datang.
Kami memilih untuk memutari Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Pertimbangannya? Akses jalan lebih baik dan waktu yang cukup longgar.
Jadilah perjalanan pagi menyusuri pantai pesisir barat dari kota Pare-Pare menuju Maros melintasi Barru dan Pangkep.
Banyak hal yang dibicarakan dalam perjalanan, termasuk prinsip-prinsip hidup orang Bugis.
Saya tertarik dengan konsep, "Ero annganre tapi teai akkareso?". Sederhananya; masak hanya mau makan namun malas kerja?
Kultur orang Bugis adalah bekerja keras untuk menggapai cita-cita. Tidak pemalas. Tidak hanya berpangku tangan. Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan.
Tidak kenal istirahat. Sebab, istirahat itu hanya di surga.
Konsep berjuang dan berkorban dalam menuntut ilmu agama adalah materi yang saya sampaikan kepada santri-santri Ma'had Daarussunnah Segeri Pangkep asuhan Al Ustadz Muhammad Sarbini saat singgah pagi tadi.
Rindu kepada orangtua dan kampung halaman adalah batu ujian yang berat. Jika sewajarnya, masihlah baik.
Namun, jika rindu malah membuat konsentrasi belajar terganggu, bila rindu justru membuat sedih dan lesu, itu rindu yang keliru.
Rindu itu mestinya malah penambah semangat. Rindu harus dikonversi menjadi energi tekad agar kuat.
Jika dalam menuntut ilmu, datang rindu menyapamu, jangan disambut dengan menyendiri, tidur, malas, atau lesu.
Rindu mestinya dikelola dan diajak berdamai.
Tampakkan gembiramu dengan berkumpul bersama teman-temanmu sesama penuntut ilmu. Bergeraklah dan buatlah kegiatan yang menyenangkan. Jangan perlihatkan wajah sedihmu.
Sedih kok dipelihara?
Memang begitu realita menuntut ilmu. Kalau engkau bertanya, "Sampai kapan bersabar dalam menuntut ilmu?"
Ini jawabanku, " "Wettu pammulangna ilejjaki ri suruga". Saat pertama kali menginjakkan kaki di surga.
Bandara Sultan Hasanudin, 01 November 2021
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR