Inilah manisnya tawadhu rendah hati beserta kisah salaf tentangnya.
MANISNYA RENDAH HATI
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa'i حفظه الله تعالى
Usaha ulama salaf dalam mewujudkan rendah hati seolah tidak ada habisnya. Selalu saja ada cara dan jalan untuk mengikis habis nyala takabur dari dalam hati. Tidak sedikit di antara mereka yang rela menyamar menjadi orang biasa agar tidak dikenal. Bahkan tidak hanya satu dua yang lebih memilih untuk berjalan di lorong-lorong sepi agar tidak disambut khalayak ramai. Akan tetapi, meski mereka merendahkan diri, nama mereka tetap harum terpatri dalam lembaran kemuliaan.
Gelarnya adalah Sayyidul Qurra' (Pemuka Ahli-Ahli Qira'ah). Gelar yang beliau sandang bukanlah gelar sembarangan. Gelar itu disepakati oleh alim ulama kota Kufah untuk disematkan kepada beliau. Di masa itu, kota kufah sangatlah tersohor dan masyhur dengan ulama-ulama ahli qira'ah. Tentu bisa bayangkan, seberapa mulianya kedudukan beliau di mata kaum muslimin.
Nama beliau adalah Thalhah bin Musharrif bin Amr bin Ka'ab Al Yami. Namanya yang tercatat sebagai seorang perawi hadits di dalam kutubus sittah¹ adalah jaminan nyata akan kemapanan beliau di bidang hadits. Hidup di abad keemasan Islam, memudahkan beliau untuk berguru kepada para shahabat dan tokoh-tokoh senior tabi'in.
"Al Imam Al Hafizh (sangat ahli dalam bidang hadits, mengetahui banyak hadits lengkap beserta sanadnya) Al Muqri' Al Mujawwid (ahli dalam bidang tajwid) Syaikhul Islam Abu Muhammad Al Yami Al Hamdani Al Kufi." Begitulah Imam Adz Dzahabi رحمه الله memujinya di dalam kitab Siyar A'lam Nubala'. Beliau wafat di penghujung tahun 112 H.
Sebagai bukti ketokohan beliau, kaum alim ulama di masa itu berbondong-bondong datang untuk duduk bersimpuh di hadapan beliau dalam rangka mempelajari qira'ah dan tajwid. Sebut saja sebagai contoh adalah Syu'bah bin Al Hajjaj, Muhammad bin Thalhah, Manshur bin Al Mu'tamir, Malik bin Mighwal, dan Al A'masy. Adapun jumlah pasti berapa orang yang pernah merasakan menjadi murid beliau, hanya Allah سبحانه وتعالى lah yang mengetahui.
Kini kita akan "mengintip" cara Thalhah bin Musharrif untuk mengelupas rasa sombong dari dalam hati! Barangkali saja, suatu saat nanti ada di antara kita yang dimudahkan Allah untuk menirunya.
Ada kabar santer beredar yang sampai di telinga beliau. Sejumlah tokoh-tokoh ahli qira'ah mengadakan sebuah pertemuan di kota Kufah. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah menetapkan Thalhah bin Musharrif sebagai Tuannya Ahli-Ahli Qira'ah. Senangkah beliau? Merasa bangga? Hati berbunga-bunga?
Tidak!
Thalhah bin Musharrif malah melakukan tindakan yang tidak pernah terbayangkan sama sekali oleh orang-orang itu. Sejak hari itu, Thalhah justru datang berguru kepada murid sekaligus kawan karibnya sendiri yaitu Al A'masy, Sulaiman bin Mihran. Hal itu beliau lakukan agar tidak lagi disebut-sebut sebagai Tuannya Ahli-Ahli Qira'ah. Jika memang ahli, kenapa juga belajar dan berguru kepada murid sekaligus kawannya sendiri ? Pikir beliau.
Kata Al A'masy رحمه الله bercerita untuk kita, "Thalhah selalu datang dan menantiku keluar dari rumah untuk membaca Al Qur'an. Kira-kira bagaimanakah sikap kalian kepada seseorang yang tidak ada salahnya juga tidak Iahn (keliru) ketika membaca Al Qur'an?”
Duh, sangat luar biasa! Subhanallah!
Pilihan beliau untuk belajar dan berguru kepada Al A'masy رحمه الله bukannya membuat pandangan orang menjadi berubah. Bahkan langkah beliau tersebut semakin menjadikan para ulama menaruh hormat dan segan kepada beliau.
Bagaimana dengan kita? Hmm, rasa-rasanya kita sangat perlu untuk menata hati, memperbaiki, dan membenahinya. Jangankan karena suatu hal sepele yang pernah kita lakukan, atau bahkan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan pun, ada rasa senang jika disanjung. Ada nada bangga jika dipuji.
Padahal Allah berfirman di dalam Al Qur'an:
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١٨٨)
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” [Q.S. Ali Imran: 188]
Bersikaplah rendah hati! Seorang hamba yang memilih untuk merendah bukannya malah direndahkan dan dihinakan orang. Allah justru akan semakin membuatnya mulia di sisi-Nya juga dalam pandangan manusia. Sangat kontras dengan seseorang yang tinggi hati, sombong, dan takabur! Selain Allah membencinya, orang-orang pun akan menjauhi dan membenci dirinya. نعوذ بالله من ذلك.
Jangan memaksakan diri untuk memperoleh pujian! Jika memang tidak bisa, tidak menguasai, tidak mengerti dan tidak ahli karena bukan bidangnya, kenapa malu untuk mengakui? Apa susahnya untuk berkata jujur, “Mohon maaf, saya tidak bisa melakukannya karena memang tidak mampu.”? Apa beratnya untuk mengungkapkan ketidakmampuan agar orang lain tidak salah sangka ?
Lebih menyakitkan dan memalukan lagi jika kita telanjur berkoar-koar bisa ini bisa itu. Punya di sana punya di sini. Mampu melakukan demikian dan demikian. Memiliki pengalaman seperti ini dan seperti itu. Namun, ketika tiba giliran pembuktian? Melempem, terdiam membisu dan berdiri mematung.
Kata Rasulullah ﷺ demikian:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبِيْ زُورٍ
“Seseorang yang memaksakan diri untuk tampil dengan sesuatu yang tidak ia punya, seperti seseorang yang mengenakan dua pasang pakaian kedustaan.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]
Nampaknya, kita harus mencontoh Thalhah bin Musharrif رحمه الله di atas! Beliau saja yang memang layak menyandang gelar Tuannya Ahli-Ahli Qiraah. Beliau saja yang pantas untuk disebut sebagai seorang ulama ahli qira'ah dan ahli tajwid. Beliau yang seperti itu saja masih berupaya untuk menghindar agar tidak disebut dengan gelar-gelar itu. Lah apalagi kita?
Kalau begitu, janganlah berbangga diri! Bersikaplah merendah hati! Bukan sebatas dalam hal qira'ah dan tajwid saja pembahasan ini! Thalhah bin Musharrif yang ahli di bidang tajwid dan qira'ah hanyalah salah satu contoh saja. Masih ada hal-hal lain yang perlu diaplikasikan di sana sikap rendah hati. Benar demikian, bukan?
Catatan Kaki:
1) Kutubus sittah adalah enam buku induk hadits. Keenam buku tersebut adalah: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan An-Nasa'i.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 13 || t.me/majalah_qudwah
KOMENTAR