Kisah Menggali Keberanian dalam Berbuat Kebaikan, seperti dulu para sahabat.
Menggali Keberanian Tersembunyi
“He, apa yang sedang kalian obrolkan?” ,tanya saya kepada sejumlah anak yang sedang duduk melingkar di ruang utama sebuah masjid.
Melihat anak-anak yang sedang berkumpul, ada dorongan tersendiri untuk menyapa mereka. Sambil sedikit berbincang ringan.
Setahu saya, dahulu nabi Muhammad melakukannya. Sebab, beliau sangat memahami bahwa regenerasi harus berkelanjutan. Tidak boleh putus. Oleh karena itu, nabi Muhammad selalu membuka komunikasi dengan kaum muda, bahkan anak-anak.
Jawaban mereka membuat terkejut. Ibarat tersetrum arus listrik tegangan tinggi. Mau dibilang apa perasaan saat itu, entahlah.
Seorang anak menjawab lantang. Suaranya keras. ”Genji,Ustadz!”.
Saya terus bertanya, ”Genji itu siapa?”. Anak yang lain mengatakan, ”Orang yang jago berkelahi, Ustadz!”. Terlihat ia dan anak-anak yang lain bangga dengan Genji. Seolah-olah tatapan mereka memberitakan bahwa Genji itu figur yang semestinya ditiru.
Saya mencoba menggali lebih dalam tentang sosok Genji. Anak-anak dengan lancarnya bercerita.
Astaghfirullah, benar-benar sedih. Betul-betul menyakitkan. Sangat memprihatinkan.
Saat itu juga saya tegaskan kepada mereka bahwa Genji yang mereka banggakan itu hanya fiktif. Etok-etok. Bohong. Ngapusi. Apalagi dalam cerita fiktif itu, Genji orang kafir.
“Tinggalkan Genji! Lupakan dia! Hapus Genji dari ingatanmu!”, saya bersuara cukup keras yang menekankan kata-kata itu kepada mereka.
Kemudian saya menceritakan sahabat Zubair bin Awam. Masih berusia muda ketika masuk Islam. Ada yang mengatakan 16 tahun, bahkan ada yang berpendapat saat itu Zubair masih 12 tahun.
Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Zubair yang masih remaja membawa pedang terhunus ingin membebaskan nabi Muhammad yang dikabarkan ditangkap oleh kaum Qurai-sy. Al Imam Adz Dzahabi menyebut beliau sebagai orang pertama yang menghunuskan pedang di jalan Allah.
Di sekujur tubuh Zubair penuh dengan bekas luka tusuk maupun sabetan pedang. Badannya bagai bekas dicacah-cacah. Semuanya berada di tubuh bagian depan. Menunjukkan keberanian yang luar biasa.
“Kita harus mencontoh siapa??”, tanya saya kepada anak-anak itu.
Serempak dan kompak mereka menjawab, ”Zubaiiiir bin Awaaaam”. Suara mereka membahana. Menggetarkan masjid. Semoga Allah memberkahi mereka.
ooooo-----ooooo
Malam itu pikiran saya ruwet.
Memikirkan anak-anak itu. Kenapa sampai demikian? Kenapa mereka memfigurkan tokoh fiktif? Kenapa mereka nampak bangga dengan Genji, tokoh khayalan yang kafir itu? Genji yang alur ceritanya dipenuhi dengan kekerasan, geng preman, kaum yakuza, kehidupan bebas, perkelahian dan narasi-narasi bohongan lainnya.
Tiap anak memiliki kecenderungan untuk memfigurkan seseorang. Figur yang ia anggap hebat. Figur yang ia rasa luar biasa. Di tiap kepribadian anak, ada sebuah ruang figur yang harus diisi. Setiap anak ingin mengisinya. Jika tidak diisi dengan figur yang baik, maka ruang itu akan terisi oleh figur yang jahat.
Jangan biarkan anak kita kehilangan figur! Bentengi anak kita agar tidak mencari dan menemukan figur yang jahat!
Saya mencoba untuk mencari tahu, siapakah yang salah?
Namun saya dengan pahit harus menyimpulkan bahwa mencari siapa yang salah bukan lantas menyelesaikan masalah. Daripada energi habis digunakan mencari siapa yang salah, apakah tidak lebih baik kita saling bekerja-sama untuk memberikan solusi yang tepat dan mengena?
Mari bersama-sama (ingat....bersama-sama), menggali figur-figur pemberani dari referensi-referensi Islam. Masih banyak kitab-kitab tarikh yang bisa menceritakan untuk kita keberanian-keberanian luar biasa dari pahlawan-pahlawan Islam. Ribuan jenderal perang kita miliki.
Dan itu nyata! Bukan fiktif. Bukan permainan game.
Seorang santri mencicil dengan menterjemahkan. Ustadznya mendampingi dan memotivasi. Orangtuanya mendorong dan mendoakan. Pengusaha mendukung sarana dan prasarana. Fasilitas dicukupi oleh yang memiliki harta. Penerbit mencetak dan mendistribusikannya.
Pihak madrasah atau pesantren menyediakan ruang baca atau kamar pustaka. Orangtua menceritakan ulang kepada anaknya. Dan seterusnya.
Dalam benak saya, ada sebuah ruang representatif. Fasilitas menterjemahkan disediakan. Komputer dan seluruh perangkatnya dipenuhi. Kaum santri diberi arahan dan ditugaskan per orang untuk menterjemahkan sekian halaman. Hasilnya diedit kemudian siap dikonsumsi oleh anak-anak kita untuk mengisi ruang figurnya.
Ceritakan ulang panglima Khalid bin Walid di perang Mu'tah yang sangat tidak logis menurut akal manusia. Bagaimana beliau mengatur dan memimpin 3.000-an personil menghadapi ratusan ribu musuh.
Ceritakan juga siapakah Abdullah bin Mas'ud! Sahabat yang pertama kali membaca Al Qur'an terang-terangan di kota Mekkah setelah nabi Muhammad di saat Islam masih terasing.
Ceritakan pula Muhammad bin Maslamah yang beberapa kali melakukan tugas rahasia dan misi khusus, termasuk membunuh tokoh musuh provokator bernama Ka'ab bin Al Asyraf.
Ketika tugas ini dilakukan bersama-sama, insya Allah, dalam hitungan satu atau dua tahun, sudah ada ratusan tokoh Islam yang siap mengisi ruang figur anak-anak kita. Apalagi jika berkelanjutan. Tidak hanya satu atau dua tahun. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Sebelum itu semua, marilah menjadi figur yang baik untuk anak-anak kita. Mulailah dari diri sendiri. Awali dari lingkup keluarga.
Orangtua harus menjadi figur yang baik buat anak-anaknya. Contohkan shalat berjamaah yang baik. Contohkan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Contohkan semangat thalabul ilmi. Contohkan hidup bermasyarakat yang benar. Smoga ikhtiar ini diridhai.
Jika anak kita berperilaku kurang baik, jangan terburu-buru menyalahkan siapa. Namun, mari jujur menilai diri sendiri, apakah kita sudah menjadi figur yang baik buat mereka?
Baarakallahu fiikum (dalam harapan besar)
08/ September/ 2019
(reposting tulisan 2 tahun lalu. Sekaligus mencoba mencari akar masalah ; fenomena anak muda yang terbawa figur artis korea)
t.me/anakmudadansalaf
KOMENTAR