Thalabul Ilmi Saat Pandemi Lihat dirimu ! Perhatikan sungguh-sungguh ! Cermati ! Apa yang engkau temukan? Benakmu terlintasi pikir apa? Mas....
Thalabul Ilmi Saat Pandemi
Apa yang engkau temukan?
Benakmu terlintasi pikir apa?
Mas....apakah Mas tidak menyadari, betapa besar karunia yang Allah titipkan untuk Mas. Tak mampu kita menentukan nilainya. Mahal. Tinggi. Bahkan tak dapat di-angkakan. Tak bisa di-nominalkan.
Sehatmu itu mahal. Fisikmu itu mahal. Kekuatan jasmani juga mahal. Panca indra mu pun mahal. Itu masih materi.
Apalagi thalabul ilmi mu. Apalagi hafalan Qur'an mu. Telaah hadits-hadits mu. Bahasa Arab yang pernah engkau pelajari. Ilmu fiqih dan tafsir mu. Nikmat menjadi seorang muslim. Bahagia sebagai bagian Ahlus Sunnah. Damai dalam lingkungan orang-orang saleh.
Tak perlu hal itu hilang, lalu tersadar bukan?
Tidak harus menunggu semua itu terlepas, baru kemudian menangisi bukan?
Jangan menunggu menyesal ! Menyesal itu pedih. Sangat perih.
Saat sakit, itukah yang engkau tunggu? Saat tak bisa apa-apa.
Waktu badan melemah termakan usia, itukah yang engkau nanti ? Waktu tak bisa apa-apa.
Ketika mata memburam, telinga berkurang dengar, lidah mati rasa atau ketika tangan kaki tak dapat digerakkan?
Itukah yang engkau tunggu?
Ketika terhalang dari thalabul ilmi, ketika itukah engkau sesali?
Waktu hafalan Qur'an mu hilang, haditsmu dilupakan dan susah engkau berucap bahasa Arab, apakah pada waktu itu baru engkau berharap waktu berulang kembali?
Kita kurang bersyukur. Iya, kita memang sangat kurang dalam bersyukur.
Syukurmu bukan dengan egois. Hanya memikirkan diri sendiri. Hanya ingin semau sendiri. Tak peduli kecuali kesenangan dan kepuasan diri sendiri. Jangan ganggu aku ! Urusi dirimu sendiri ! Apakah begitu berpikirmu?
He, Mas....
Syukurmu itu dengan berjuang. Syukurmu wujudkan dengan berkorban. Berjuang untuk Islam. Rela berkorban agar kalimat Allah tegak di muka bumi.
Apa yang sudah engkau lakukan untuk Islam? Apa yang telah engkau perbuat untuk umat? Atau malah justru engkau membuat malu umat?
Al Mundziri terheran-heran dengan Ibn Shadaqah al Hamawi. Siang terik. Panas menyengat. Di Timur Tengah sana,Mas. Al Hamawi sedang berteduh di sebuah lubang bawah tanah sambil belajar. Kata al Mundziri, ”Di tempat semacam ini ? Dalam cuaca seperti ini ? Engkau masih belajar?”.
“Kalau bukan sibuk belajar, untuk apa aku hidup?”, jawab al Hamawi.
Kepada Ibn Taimiyah yang sedang sakit, dokter memberi saran supaya banyak istirahat dan sementara waktu berhenti membaca. Apa tanggapan Ibn Taimiyah?
“Saya tidak dapat menahan diri untuk terus membaca buku. Sesuai disiplin ilmu yang Anda pelajari, saya hendak berdiskusi”, kata Ibn Taimiyah.
Beliau melanjutkan,”Bukankah sakit akan mudah sembuh ketika suasana hati sedang bahagia? Nah, dengan membaca buku, saya merasa sangat bahagia”. Dengan demikian Ibn Taimiyah berharap lekas sembuh.
Begitulah, Mas.
Belajar itu tidak ada istirahatnya. Belajar itu harus terus menerus. Tidak ada habis-habisnya. Jangan merasa cukup ! Jangan bangga karena sudah dinyatakan lulus ! Sudah berapa banyak kitab yang engkau baca? Ibn Jauzi semasa thalabul ilmi pernah membaca ribuan buku.
Lah kita, Mas?
Baarakallahu fiik
Lendah, Kulonprogo 04/07/2020.
KOMENTAR