BOLEHKAH SALAT GAIB UNTUK ORANG YANG MENINGGAL KARENA SEBAB TERKENA COVID-19?
BOLEHKAH SALAT GAIB UNTUK ORANG YANG MENINGGAL KARENA SEBAB TERKENA COVID-19?
Pertanyaan
Bismillah. Mohon ijin bertanya ustadz di masjid tempat kami sering melakukan salat gaib untuk orang yang meninggal karena covid. Bagaimana sikap kita, mengikuti imam yang salat gaib tersebut atau tidak ustadz ?
Jawaban
al-Ustadz Abu Fudhail 'Abdurrahman Ibnu 'Umar hafizhahullah,
Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah terjadi salat ghaib kecuali satu kali yaitu pada kejadian meninggalnya Najasyi yang hidup di lingkungan nasrani dan meninggal di sana dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ في اليَومِ الذي مَاتَ فيه خَرَجَ إلى المُصَلَّى، فَصَفَّ بهِمْ وكَبَّرَ أَرْبَعًا.
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumumkan berita wafatnya Najasyi pada saat beliau wafat. Beliau pun keluar menuju tanah lapang, lalu beliau memerintahkan para sahabat untuk merapatkan saf, dan melakukan salat (gaib- ed) dengan empat takbir." (al-Bukhari, no. 1.245).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin berkata,
أما الصلاة على الغائب فالصحيح أنها ليست بسنة إلا من لم يصل عليه؛ مثل أن يموت في بر، أو في دار كفر ولا يُعلم أنه صُلي عليه؛ فالصلاة عليه واجبة، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلى على النجاشي، وأمر أصحابه أن يصلوا عليه أيضاً، فخرج بهم إلى المصلى فصلى بهم عليه الصلاة والسلام.
وهذه القضية أي الصلاة على الغائب لم ترد إلا في النجاشي؛ لأنه لا يُعلم أنه صُلي عليه في بلده.
وأما من علم أنه صُلي عليه في بلده، فالصحيح أنه لا تسن الصلاة عليه.
"Adapun salat gaib, maka pendapat yang benar adalah tidaklah disunahkan kecuali untuk orang yang belum disalatkan seperti orang yang meninggal di daratan atau di negeri kafir dan tidak diketahui bahwa dia telah disalatkan. Maka wajib menyalatkannya karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi dan memerintahkan para sahabatnya untuk turut menyalatkannya, beliau pun keluar menuju tanah lapang dan menyalatinya bersama para sahabat.
Peristiwa salat gaib ini, tidaklah terjadi (pada masa Nabi) kecuali pada kejadian Najasyi ini karena tidak diketahui bahwa dia sudah disalatkan di negerinya.
Adapun orang yang diketahui bahwa dia sudah disalati di negerinya, maka pendapat yang benar adalah tidak disunahkan untuk disalatkan(dengan salat gaib)." (Majmū' al-Fatāwā, jilid 17, hlm. 146).
Jadi kesimpulannya, jika jenazah tersebut sudah disalatkan baik oleh tim medis atau pihak lain, intinya jika sudah ada yang menyalatkannya maka tidak perlu diadakan salat gaib. Jika yang boleh menyalatkan jenazahnya orang-orang terbatas saja yaitu seperti dari kalangan petugas medis saja, maka tidak perlu bagi keluarganya atau yang lainnya untuk melakukan salat gaib, jika ingin menyalatinya baik jenazah tersebut sudah disalati oleh tim medis atau pihak lain, hendaknya mereka menyalatkannya setelah jenazah itu dikubur sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
أن امرأة سوداء كانت تقم المسجد -أو شابا- ففقدها رسول الله فسأل عنها -أو عنه- فقالوا مات قال أفلا كنتم آذنتموني قال فكأنهم صغروا أمرها -أو أمره- فقال : دلوني على قبره فدلوه فصلى عليها
"Ada seorang wanita yang biasa bersih-bersih masjid, maka Rasulullah tidak mendapatinya kemudian menanyakan keberadaannya, lalu para sahabat menjawab, 'Dia telah meninggal,' beliau pun berkata, 'kenapa kalian tidak memberitahu aku,' seakan-akan para sahabat menganggap kecil urusannya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tunjuki aku di mana kuburnya,' para sahabat pun menunjukinya kepada beliau, kemudian beliau menyalatinya." (Shahih Muslim, no. 956).
Dibolehkan menyalati jenazah yang sudah dikuburkan walaupun waktu meninggalnya sudah lama. Syekh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata,
أما الصلاة على القبر فهي سنة كما ثبت ذلك عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ولكن من العلماء من حددها بشهر، ومنهم من لم يحددها. والصحيح أنها ليس لها حد؛ لكن يشترط أن يكون الميت الذي صلي عليه في قبره قد مات في حياة هذا المصلي؛ أي مات بعد ولادته وتمييزه...وإنما قلنا ذلك لئلا يبتدع أحد بدعة فيذهب يصلي صلاة الجنازة على قبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وعلى قبور الصحابة رضي الله عنهم في البقيع فإن هذا لم يرد.
والخلاصة أنه يصلى على القبر بدون تعيين مدة إذا كان صاحب القبر قد مات في زمن قد بلغ فيه المصلي أن يكون من أهل الصلاة
"Adapun menyalati jenazah yang sudah dikubur, maka hukumnya sunah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi, sebagian ulama membatasinya selama sebulan dan di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa hal itu tidak ada batasannya. Pendapat yang benar bahwa hal itu tidak ada batasannya dengan syarat jenazah yang disalati di kubur ini, telah meninggal setelah terlahirkan dan orang yang menyalatinya telah melalui usia tamyiz, kita katakan seperti ini agar tidak ada seorang pun yang berbuat kebidahan, dia pergi melakukan salat jenazah di kubur Nabi dan para sahabat, maka yang seperti ini tidak ada dalilnya. Kesimpulannya adalah silakan menyalati jenazah yang sudah dikubur tanpa ada penentuan waktu batas akhirnya apabila jenazah yang disalatkan, telah meninggal di waktu orang yang menyalatkan ini sudah mencapai usia yang sudah tepat untuk menjadi orang yang mampu menunaikan salat dengan baik (telah melalui di usia tamyiznya)." (Majmū' al-Fatāwā, jilid 17, hlm. 146/147).
Wallahua'lam
Baca juga : HUKUM SHALAT GHAIB
📃 Sumber: Majmu'ah al-Fudhail
✉️ Publikasi: https://t.me/TJMajmuahFudhail
KOMENTAR