Kisah Tahun Persatuan Kaum Muslimin, Antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan
Tahun Kebersamaan
Oleh: Ustadz Abu Firas Hamzah Rifa'i
Cerita lama telah usai dan berganti dengan sejarah berikutnya. Generasi silih berganti seperti bergantinya tahun manusia. Pembawa bendera Khaibar yang mencintai Allah dan Rasul-Nya telah tutup usia. Sepupu sekaligus menantu Nabi telah tiada karena tebasan pedang seorang yang bengis nan durjana. Pedang Ibnu Muljam telah mengucurkan darah seorang yang dijuluki singa oleh ibundanya. Hari perpisahan tak terlampau lama semenjak kulit ayah dari dua pemuka pemuda surga robek terkena tebasan Ibnu Muljam. Semoga Allah selalu merahmatimu wahai seorang penghuni surga. Namamu tiada pernah berhenti dari pujian lisan kami, kecintaan Allah dan Rasul-Nya pada dirimu. Semoga Allah kumpulkan kami bersamamu wahai Amirul Mukminin Abul Hasan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah selanjutnya terukir, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sosok bayi kecil kesayangan Rasulullah telah menjelma menjadi pemuda yang tangguh lagi bersahaja. Dibawah atap rumah kenabian, di tengah lingkungan Rabbaniyyin menjadi lahan tumbuhnya. Putra sepasang tokoh besar dalam Islam, Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib cucu kesayangan Nabi Muhammad. Salah seorang pahlawan besar Islam dengan kelebihan yang Allah limpahkan pada dirinya. Wajah dan perawakan sangat mirip dengan kakeknya. Ilmu, ketakwaan, kesalehan, rendah hati, senang mengalah, penyabar, ulet, pemberani, tegar, berpendirian, teguh, dan sederet sifat-sifat kebaikan menyatu dalam sanubarinya. Akhlaknya menggambarkan akhlak seorang mukmin yang sebenarnya, wajarlah jika Nabi mengabarkan bahwa dirinya adalah seorang Sayyid di dunia dan Sayyid di Firdaus. Seorang pemuka dan tokoh besar dalam sejarah Islam. Semoga Allah mengumpulkan kami bersamanya di dalam surga, meskipun kami tak mampu beramal sebagaimana amalan yang beliau lakukan.
Seperginya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menuju sisi Rabb-nya pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyyah. Diangkatlah Al Hasan bin Ali menjadi khalifah yang berikutnya tanpa ada penunjukan khusus dari Ali bin Abi Thalib. Datanglah orang-orang yang mulia menyodorkan tangannya untuk berbaiat, dimulai dari Qais bin Sa'ad bin Ubadah Al-Anshary tak lama seusai pemakaman Ali bin Abi Thalib di Kufah, dan diikuti oleh setiap orang berikutnya.
Qais bin Sa'ad mengatakan : "Kemarikanlah tanganmu wahai Al-Hasan, aku berbaiat kepadamu di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan di atas kesetiaan memerangi orang-orang yang menghalalkan darahnya muslimin." Al-Hasan menjawab, "Diatas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, itu sudah cukup karena di belakang dua perkara tadi telah sempurna semua persyaratan." Setelah itu diikuti oleh seluruh manusia." [Tarikh Thabari, 6/73]. Kemudian Al-Hasan mempersyaratkan kepada seluruh penduduk Iraq agar mereka bersumpah setia dengan baiat diatas persyaratan, "Kalian harus mendengar dan taat, dan menjaga keselamatan orang yang aku lindungi serta memerangi orang yang aku perangi." [Tarikh Thabari, 6/77].
Dengan itu sah kedudukan beliau sebagai imam dan Amirul Mukminin di mata masyarakat muslimin. Layaknya seorang Khalifah yang terpilih, demikian halnya Al Hasan bin Ali terpilih menjadi khalifah. Ahli Syura bersepakat atas kepemimpinan Al-Hasan. Oleh karenanya tidaklah benar keyakinan yang sering didengungkan oleh Syi'ah Rafidhah bahwa Al Hasan terpilih sebagai khalifah karena penunjukan ayahnya (Firaqus Syiah, An Nubakhti, hal. 34). Sebagaimana keyakinan Syi'ah Rafidhah yang bathil bahwa Imamul Muslimin haruslah pilihan Allah sendiri sebagaimana Allah memilih Rasul-Nya, dan tidak sah Amirul Mukminin yang dipilih oleh manusia. (Al-Imamah Wan Nash, Faishal Nur, hal. 8). Syi'ah Rafidhah meyakini bahwa para Imam telah ditunjuk dan dipilih langsung oleh Allah ta'ala semenjak masa Rasulullah. Mereka menyebutnya sebagai 12 (dua belas) imam, dimulai dari Ali bin Abi Thalib hingga Muhammad Al-Mahdy (Ushul Syiah Al-Imamiyyah, 2/800).
Sungguh tidaklah kedudukan baru yang disandangnya itu menjadikan Al-Hasan tersenyum. Sebaliknya Al-Hasan sadar sepenuhnya bahwa menjadi seorang khalifah adalah tugas dan kewajiban terberatnya. Bagian atas dirinya telah tersebar di Iraq, Hijaz, Yaman dan negeri-negeri lainnya. Dirinya harus berusaha agar selalu terus mencintai rakyatnya sehingga bisa bersikap adil dan penuh kasih sayang. Sebagaimana dirinya juga harus selalu menggapai kecintaan Allah Rabb semesta alam. Betapa berat terasa tanggung jawab di pundaknya.
Tersebarnya petunjuk di tengah manusia. Keadilan sosial dan pemerataan hak serta kewajiban. Permusuhan orang-orang kafir dari negara adidaya. Rongrongan kaum munafikin dan tipu daya mereka. Bertebarnya pemberontakan khawarij dan sikap ekstremnya Rafidhah. Serta bertumpuknya permasalahan negara yang lain. Tak terlupa tentunya, pembagian kekuasaan antara ayahnya dan adik iparnya Rasulullah [Muawiyah] di masa perang Shiffin. Semuanya harus disikapi dengan bijak, dengan teliti dan kepala dingin. Betapa amat beratnya, entah apakah ada yang mampu memikul beban tanggung jawab sedemikian rumitnya.
Dibenaknya selalu terngiang kehormatan dan darah muslimin, sebagaimana rasa cinta telah menjalar memenuhi rongga tubuhnya. Kasih sayang yang mengalir bersama aliran cairan merah dalam pembuluh darahnya. Darah orang-orang beriman akan berkumpul menjadi satu tubuh dalam dirinya. Betapa peliknya, hanya Allah tempat mengadu, dan hanya kepada-Nya pertolongan itu datang.
Di belahan bumi yang lain, tampak sosok manusia bertubuh tinggi, besar dan gempal. Muawiyah bin Abi Sufyan, ipar Rasulullah seorang pejabat nomor satu di negeri Syam, gubernur terkemuka dan terpandang di negeri tersebut. Amir terhormat di sisi para sahabatnya Nabi. Sebagian ayat-ayat Allah telah ditulis dengan tangannya di masa Nabi. Salah seorang pencatat wahyu yang turun dari langit, atas permintaan ayahnya sebagai seorang tokoh besar Quraisy yang sangat dihormati oleh Nabi.
Abu Sufyan bin Harb mengajukan permohonan kepada Rasulullah agar beliau sudi kiranya bila Muawiyah menjadi juru tulis Nabi. Di saat yang sama, salah seorang putrinya yaitu Ramlah binti Abi Sufyan diajukan agar Nabi rela menikahinya, meskipun sang putri sedang berada di seberang lautan, di tanah Najasyi tepatnya.
Kini seorang pemuda, Putra Abu Sufyan yang tersebut dalam sejarah sebagai pencatat wahyu, telah mengambil sifat kepemimpinan dari ayahandanya. Keberanian, kebijaksanaan, keuletan, kedisiplinan, kesalehan, dan sekian banyak sifat-sifat terpuji lainnya telah terkumpul dalam sosok Muawiyah bin Abi Sufyan. Salah seorang pemimpin yang faqih sebagaimana Ibnu Abbas menggelarinya. Tak jarang dirinya rela untuk membuka mata semalam suntuk melawan rasa kantuk demi memikirkan ide-ide inovatif, solusi-solusi kerakyatan, dan kebijakan kenegaraan yang memberikan manfaat bagi muslimin. Ketangguhan dan ketegaran yang kokoh dari seorang pemimpin bagi muslimin. Wahai Hindun ibunda Muawiyah, doamu telah terkabulkan, putramu menjadi seorang pemimpin yang dipuji dalam sejarah.
Di salah satu ruangan, Muawiyah bin Abi Sufyan sedang dilanda kemelut dalam dirinya. Menatap tajam dan berpikir atas berita yang sampai kepadanya. Dirinya turut bersedih atas meninggalnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Di sisi yang lain muncul tanda tanya besar dalam jiwanya, apa nanti yang terjadi setelah diangkatnya Al Hasan bin Ali sebagai Khalifah?
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, Abu Bakrah berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah sedang berada di mimbar, dan di sisinya ada si kecil Al Hasan bin Ali. Kemudian beliau memandang ke arah jamaah sesaat dan sesaat berikutnya memandang ke arah Al Hasan, lalu beliau bersabda, "Sungguh cucuku ini adalah seorang Sayyid (Tokoh/ Pemuka), dan barangkali suatu saat nanti Allah akan mendamaikan dua pasukan besar dari kalangan muslimin melalui sebab dirinya." [H.R. Bukhari no.7109].
Amirul Mukminin Al Hasan bin Ali bin Abi Tholib telah melakukan persiapan yang sangat besar. Para komandan tentara muslimin telah dikumpulkan. Pasukan besar dari berbagai pelosok negeri telah mempersiapkan segala keperluannya. Persenjataan yang kuat tak tertandingi dengan jumlah pasukan laksana air bah siap menyapu apapun yang menghalangi. Negeri Madain tujuannya, tempat yang kiranya tepat bila Muawiyah bin Abi Sufyan hendak menghadang beserta pasukan yang telah berbaiat sumpah setia pada dirinya. Hingga di kemudian hari Allah pertemukan kedua pasukan di lembah Miskan.
Demi mendengar persiapan yang dilakukan Al-Hasan, benar-benar kemelut dalam hati Muawiyah semakin mendalam dan menyayat. Belum lama kejadian Shiffin yang merenggut nyawa muslimin sedikit jumlahnya. Hingga kemudian perdamaian telah membentengi dari terkucurnya darah orang-orang beriman. Akankah kejadian serupa, atau bahkan lebih besar dari yang dikira akan kembali terjadi. Semoga Al-Hasan bisa memutuskan dengan bijak dan jiwa yang besar, karena itulah jiwa Al-Hasan yang dikenal oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Al Hasan Al Bashri bercerita, "Demi Allah Al Hasan bin Ali datang siap menghadapi Muawiyah dengan pasukan laksana gunung yang menjulang. Hingga 'Amr bin Al-'Ash (dari kubu Muawiyah) berkata: "Sungguh aku telah melihat pasukan yang tak akan mungkin mundur kecuali setelah berhasil membunuh lawan tandingnya". Muawiyah berkata kepada 'Amr bin Al-'Ash, "Wahai 'Amr, jika sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, maka siapakah yang akan membantuku mengurusi istri-istri dan harta mereka? Setelah itu Muawiyah mengutus dua orang dari Quraisy yaitu Abdurrahman bin Samurah dan Abdullah bin Amir agar menawarkan perdamaian kepada Al-Hasan apapun syarat yang diberikan oleh Al-Hasan.
Harapan menjadi kenyataan, berita kenabian sampai ke telinga Al-Hasan ketika kedua pasukan telah berhadap-hadapan. Abu Bakrah menyampaikan kepada Al Hasan bin Ali tentang sebuah kabar gembira, bahwa Rasulullah pernah memuji Al Hasan adalah seorang Sayyid. Barangkali suatu saat nanti Allah akan mendamaikan dua pasukan besar dari kalangan muslimin dengan sebab Al Hasan. Dengan jiwa besar, menjadi teladan bagi seluruh manusia, Al-Hasan bin Ali rela meletakkan kepemimpinan dan diberikan kepada ipar Rasulullah. Demi persatuan dan terjaganya darah kaum muslimin.
Dengarlah khutbah yang diserukan oleh Al-Hasan setelah beliau menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, "Amma ba'du. Kita semua demi Allah, tidaklah keraguan dan penyesalan membelokkan kami untuk memerangi penduduk Syam. Akan tetapi kita datang kemari dalam rangka memerangi penduduk Syam dengan senjata keselamatan dan kesabaran. Sehingga keselamatan menggantikan permusuhan, kesabaran menggantikan rasa takut. Kalian dahulu telah melalui jalan menuju Shiffin dalam keadaan agama berada mendahului dunia kalian. Adapun hari ini, keadaan telah berubah, dunia telah mendahului agama kalian. Ketahuilah kalian berada diantara korban dua medan pertempuran. Korban pertempuran Shiffin yang kalian pilukan, dan korban pertempuran Nahrawan (melawan khawarij) yang kalian harapkan kebaikan darinya. Adapun yang masih tersisa maka ia tidak mau menolong dan adapun yang menangis ia akan mendendam. Ketahuilah bahwa Muawiyah telah mengajak kita pada perkara yang tidak ada kemuliaan di dalamnya. Jika kalian menghendaki kematian maka kita akan menolaknya dan kita menghukuminya dengan hukum Allah yaitu gemerincingnya pedang. Adapun jika kalian menghendaki kehidupan yang tentram maka marilah kita semua menerima dirinya dan kita berikan keridhaan kepada kalian semua". Maka datanglah suara yang bersahutan dari berbagai penjuru "untuk tetap berdamai."[Al Kamil Fit Tarikh, Ibnu Katsir, 3/406].
Berakhirlah masa genting, Al Hasan telah menyerahkan tampuk kekhilafan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan persyaratan agar berhukum dengan hukum Kitabullah dan Sunnah Nabawiyyah. Pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 Hijriyyah tercatat menjadi salah satu sejarah terbesar dalam dunia Islam. Tahun yang digelari sebagai tahun kebersamaan. Genap sudah berita yang disampaikan oleh Rasulullah, "Khilafah kenabian akan terjadi selama 30 tahun, adapun setelahnya adalah kerajaan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki." [Shahih Sunan Abu Dawud, Al-Albany, 3/879].
Sempurnalah bilangan 30 tahun khilafah kenabian dengan berakhirnya masa khilafah Al Hasan bin Ali di bulan Rabiul Awwal tahun 41 Hijriyyah. Tepat 30 tahun pula semenjak meninggalnya Rasulullah dan kemudian khilafah dipimpin oleh Abu Bakr Ash Shiddiq [Al Bidayah Wa an Nihayah, 11/134]. Lebih terperinci, khilafah Abu Bakr selama 2 tahun 3 bulan, khilafah Umar 10 tahun 6 bulan, khilafah Utsman 12 tahun, khilafah Ali 4 tahun 9 bulan, khilafah Al Hasan 6 bulan. [Syarh at Thahawiyah, Abul Izzi Al Hanafi, hal 545].
Suatu ketika Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, dan disisi beliau ada 'Amr bin Al-'Ash dan berapa tokoh yang mulia "Siapakah orang yang paling mulia ayahnya, ibunya, kakaknya, neneknya, paman dari garis ibunya, bibi dari garis ibunya, paman dari garis ayahnya, dan bibi dari garis ayahnya? Maka bangkitlah An Nu'man bin Al 'Ajlan Az Zurqany sambil mengangkat tangan Al-Hasan dan berkata, "Tentu orang ini, ayahnya adalah Ali, ibunya Fathimah, kakeknya Rasulullah, neneknya Khadijah, pamannya dari garis ayah Ja'far, bibinya dari garis ayah Ummu Hani' bintu Abi Thalib, pamannya dari garis Ibu Al-Qasim, bibinya dari garis Ibu Zainab. [Tarikh Ibnu Asakir, 14/70].
Berkata Al-Hasan bin Ali, "Kebinasaan manusia terletak pada tiga perkara, kesombongan, ambisi, dan hasad (dengki). Adapun kesombongan itu akan membinasakan agamanya sebagaimana ini merupakan sebab dilaknatnya iblis. Ambisi merupakan musuh diri kita sendiri, sebagaimana ini merupakan sebab dikeluarkannya Adam dari surga. Dengki merupakan pemandu yang buruk, sebagaimana ini merupakan sebab Qabil membunuh Habil. (Al Ilmu Auladakum Hubban, hal. 31).
Semua kisah yang terlewati, menunjukkan kemuliaan orang-orang yang menghadapinya. Al Hasan bin Ali yang rendah hati, dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang diridhai seluruh manusia. Semoga Allah meridhai mereka semua, radhiyallahu anhum 'ajmain. Barangsiapa tidak mencintai keduanya tentulah ia menyelisihi orang-orang terbaik yang hidup di masa keduanya.
Wallahu Muwaffiq Ilas Shawwab. Wa Shallallahu 'Ala Muhammad Wa Ala Alihi Wa Sahbihi Ajmain.
Sumber: majalah Qudwah edisi 23 vol 02 1436 H/ 2014 M hal.46
KOMENTAR