Pembahasan Fikih Ringkas Puasa Ramadhan, Ringkasan Tentang Puasa Romadhon.
TENTANG PUASA RAMADHAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Fikih Ringkas Puasa Ramadhan |
Berikut ini beberapa faedah tentang puasa Ramadan. Semoga dapat memberikan manfaat yang luas untuk kaum muslimin.
DEFINISI PUASA
Puasa secara bahasa bermakna al-Imsak ‘anisy syai’, yaitu ‘menahan dari sesuatu’ (al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 151). Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa taala tatkala mengisahkan ucapan Maryam,
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar menahan diri untuk Ar-Rahman, maka pada hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun” (Maryam: 26).
Adapun puasa secara syariat maknanya adalah
الإمساك عن الأكل والشرب وسائر المفطرات مع النية من طلوع الفجر الصادق إلى غروب الشمس
“menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya disertai dengan niat mulai dari waktu fajar sadik sampai matahari tenggelam”.
RUKUN-RUKUN PUASA
Disebutkan di dalam al-Fiqh al-Muyassar (151) bahwa berdasarkan definisinya, rukun puasa ada dua.
Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari berdasarkan firman Allah,
وَكـُلـُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتـَبَيَّنَ لـَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجر ثم أتم الصيام إلى اللَّيل
“Makan dan minumlah kalian (pada malam hari) sampai tampak jelas pada kalian perbedaan antara benang putih dan benang hitam dari waktu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (al-Baqarah: 187).
2.Niat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنما الأعمال بالنيات
“Hanyalah amalan itu tergantung niatnya.” (Al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no 1.907).
Oleh karena itu, bagi yang berpuasa Ramadan harus berniat pada malam harinya. Niat maknanya adalah tujuan, bukan melafazkan bacaan-bacaan tertentu.
KEUTAMAAN PUASA RAMADAN
Sesungguhnya setiap amalan yang diperintahkan di dalam Islam pasti memiliki keutamaan. Tidak terlepas dari itu, ibadah yang sangat agung ini, yaitu puasa Ramadan, pun sangat banyak keutamaannya. Di antaranya adalah sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa yang menegakkan malam Lailatulqadar karena iman dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang lalu diampuni. Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang lalu diampuni” (Al-Bukhari, no. 1.901 dan Muslim, no. 760).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ
“Salat lima waktu, (salat) Jumat ke Jumat berikutnya, (puasa) Ramadan ke Ramadan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa, selama dia meninggalkan dosa-dosa besar” (Muslim, no 233).
Yang dimaksud dengan dihapuskannya dosa dari hadis-hadis ini dan yang semisalnya adalah dosa kecil. Adapun dosa besar, tidaklah bermanfaat kecuali dengan tobat. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata,
أما الكبائر فلا ينفع فيها إلا التوبة
“Adapun dosa-dosa besar tidak akan bermanfaat untuk menghilangkannya kecuali dengan tobat” (Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 80).
Selain itu, keterangan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Seluruh amal manusia dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah subhanahu wa taala berfirman, “Kecuali amalan puasa. Sesungguhnya ia hanya untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makannya ikhlas karena Aku’.” (Muslim, no 1.151).
HUKUM-HUKUM PUASA
Puasa Ramadan dahulu pada awal-awal Islam hukumnya belum wajib. Saat itu, kaum muslimin masih diberi kesempatan untuk memilih antara puasa dan memberi makan fakir miskin. Meski demkian, berpuasa tetap yang lebih utama. Allah subhanahu wa taala berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
”Wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa membayar fidiah, yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu, maka itulah yang lebih baik baginya. Jika kalian melakukan puasa, hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya” (Al-Baqarah: 184).
Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata,
لما نزلت ( وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) كان من أراد أن يفطر ويفتدي حتى نزلت الآية التي بعدها فنسختها
“Ketika turun firman Allah ‘wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan puasa membayar fidiah, yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin setiap harinya’, ayat ini dahulu berkenaan dengan orang yang tidak berpuasa, tetapi membayar fidiah. Kemudian turun ayat setelahnya yang menghapus hukum tersebut (sehingga puasa menjadi wajib–pen) (Al-Bukhari, no. 4 507). Ayat yang dimaksud adalah firman Allah subhanahu wa taala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barang siapa yang menyaksikan (datangnya) bulan itu, berpuasalah” (Al-Baqarah: 185).
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
شرع الصوم على أطوار. الطور الأول: التخيير فمن شاء صام ومن شاء أفطر والصوم أفضل، ومن أفطر أطعم عن كل يوم مسكينًا … والطور الثاني: الإلزام برمضان والصوم بنسخ الإفطار والتخيير وأن من أدركه رمضان وهو صحيح مقيم وجب عليه الصيام واستقرت الشريعة على هذا على الصوم لمن كان صحيحًا مقيمًا
والطور الثالث: أنه كان إذا نام بعد المغرب بعد غروب الشمس أو بعد صلاة العتمة حرم عليه الأكل والشرب، ثم نسخ هذا لما فيه من المشقة العظيمة وجعل الله الليل كله محل إفطار قال جل وعلا: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (البقرة:187) فصار الصيام في البياض في النهار والليل كله إفطار نام أو لم ينم، وهذا من توسعة الله ورحمته سبحانه وتعالى.
“Puasa disyariatkan pada tiga tingkatan.
- Diberi pilihan antara yang ingn puasa atau tidak, tetapi berpuasa tetap lebih afdal. Adapun yang tidak puasa, hendaknya memberi makan seorang miskin.
- Wajibnya puasa dan hukum ini menghapus syariat yang pertama, yaitu saat diberi pilihan. Barang siapa yang mendapati Ramadan dalam keadaan sehat dan mukim, wajib atasnya berpuasa. Seperti inilah syariat Islam menetapkan, yaitu wajib puasa bagi yang sehat dan mukim.
- Orang yang tertidur pada malam harinya setelah salat Magrib atau Isya (dan belum berbuka), haram atasnya makan dan minum. Kemudian syariat ini dihapus hukumnya karena sangat memberatkan dan Allah menjadikan seluruh malam untuk tidak puasa. Allah subhanahu wa taala berfirman,
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَام إلَى اللَّيْل
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam” (Al-Baqarah: 187).
Dengan demikian, puasa itu dilakukan pada siang hari. Adapun pada malam harinya, tidak untuk berpuasa, baik seseorang tertidur atau tidak. Ini merupakan kelapangan dan rahmat dari Allah subhanahu wa taala (https://binbaz.org.sa/audios/230/29-%D9%85%D9%86-%D9%82%D9%). Oleh karena itu, puasa Ramadan hukumnya wajib. Allah subhanahu wa taala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).
Bahkan, puasa Ramadan termasuk salah satu dari rukun-rukun Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima perkara, yaitu syahadat tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadan” (Al-Bukhari, no. 8 dan Muslim, no. 16).
Atas dasar ini, barang siapa yang meninggalkan puasa Ramadan dengan sengaja, sungguh dia telah melakukan dosa besar dalam Islam. Adapun jika dia mengingkari wajibnya puasa Ramadan, sungguh dia telah kafir menurut pendapat yang paling benar, sebagaimana yang difatwakan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz (https://binbaz.org.sa/fatwas/12320/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AA%D8%A7%D8%B).
HIKMAH WAJIBNYA PUASA RAMADAN
Hikmah disyariatkannya puasa adalah agar orang-orang yang beriman meraih tujuan yang sangat tinggi, yaitu ketakwaan. Allah subhaanahu wa taala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).
Takwa adalah tujuan yang sangat mulia. Betapa tidak, karena dengannya, kemuliaan seseorang diukur di sisi Allah. Allah subhanahu wa taala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).
Adapun makna takwa, para ulama berbeda pendapat secara lafaz, tetapi maknanya kurang lebih sama. Di antara makna yang paling komprehensif adalah yang disebutkan oleh salah seorang tabiin, Thalq bin Habib. Beliau rahimahullah mengatakan,
التقوى أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو ثواب الله وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عقاب الله
“Takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharap pahala-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan azab-Nya.”
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA PUASA RAMADAN
Berikut syarat-syarat wajibnya puasa Ramadan yang diringkas dari al-Fiqhu al-Muyassar (153).
1. Islam
Tidak sah puasa orang yang kafir karena puasa adalah ibadah dan tidak sah apabila dilakukan oleh orang kafir. Namun, apabila orang kafir masuk Islam, dia tidak diperintahkan untuk mengqada puasa Ramadan yang terluputkan.
2. Balig
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
“Diangkat pena (maksudnya amalan mereka tidak akan dicatat–pen) dari tiga golongan
manusia, yaitu anak kecil sampai ia dewasa, orang gila sampai ia sadar, dan orang yang tidur sampai ia bangun” (Abu Dawud dan selain beliau; disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2.207).
Namun, anak-anak yang belum balig sebaiknya tetap diperintahkan untuk ikut berpuasa. Hal ini sebagai bentuk tarbiah bagi dirinya sehingga dia menjadi terbiasa berpuasa ketika telah dewasa.
3. Berakal
Tidak wajib puasa bagi orang gila atau yang semisalnya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
“Diangkat pena (maksudnya amalan mereka tidak akan dicatat–pen) dari tiga golongan
manusia, yaitu anak kecil sampai ia dewasa, orang gila sampai ia sadar, dan orang yang tidur sampai
ia bangun” (Abu Dawud dan selain beliau; disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 2.207)
4. Sehat
Puasa tidak wajib bagi orang sakit yang tidak mampu. Namun, jika dia berpuasa, puasanya sah. Sementara itu, jika dia tidak berpuasa, dia bisa mengqadanya di luar bulan Ramadan berdasarkan firman Allah subhanahu wa taala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari lain” (Al-Baqarah: 184).
5. Mukim
Bagi orang yang melakukan perjalanan jauh, tidak wajib berpuasa. Namun, wajib baginya untuk mengqada puasa di luar bulan Ramadan. Adapun jika dia berpuasa, puasanya sah. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa taala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barang siapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari lain” (Al-Baqarah: 184).
6. Tidak sedang Haid dan Nifas
Wajib bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk mengqada puasa di luar bulan Ramadan dan tidak boleh bagi mereka berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم ؟ فذلك من نقصان دينها
“Bukankah wanita itu ketika haid tidak puasa dan salat? Hal itu yang menunjukkan lemahnya agama mereka” (Al-Bukhari, no. 304).
Kemudian ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Itulah yang menimpa kita kaum wanita. Kita hanya diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada salat” (Muslim, no. 335).
Disebutkan oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Sa‘di rahimahullah di dalam Minhaj al-Salikin (122) bahwa puasa Ramadan wajib bagi setiap muslim yang balig, berakal, mampu berpuasa, dan melihat hilal atau menyempurnakan bilangan Syakban tiga puluh (jika hilal tidak terlihat).
BAGAIMANA PENETAPAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADAN?
Penetapannya adalah dengan melihat hilal berdasarkan firman Allah subhanahu wa taala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barang siapa yang menyaksikan (datangnya) bulan itu, berpuasalah” (Al-Baqarah: 185).
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا رأيتموه فصوموه
“Apabila kalian melihat hilal, hendaknya kalian berpuasa” (Al-Bukhari, no. 1900 dan Muslim, no. 1080).
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata,
يجب الصيام عند رؤية الهلال من عدل فلصيامه صلى الله عليه وسلم وأمره للناس بالصيام
“Wajib untuk berpuasa Ramadan dengan melihat hilal dari seorang yang adil. Hal itu karena puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang demikian dan perintah beliau kepada manusia untuk berpuasa” (Al-Darari al-Mudhiyyah Syarh al-Durar al-Bahiyyah, hlm. 374).
Jika hilalnya tidak terlihat yang mungkin karena hujan atau mendung, maka digenapkan bilangan Syakban menjadi tiga puluh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
“Berpuasalah kalian berdasarkan pada terlihatnya hilal dan beridulfitrilah kalian berdasarkan pada terlihatnya hilal. Jika (hilal) terhalangi atas kalian, sempurnakanlah (bulan Syakban menjadi) tiga puluh” (Al-Bukhari, no. 1.909 dan Muslim, no. 1081).
Jika terjadi perbedaan pendapat, bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya walaupun dengan cara melihat hilal?
Jawabanya, pendapat yang kuat dalam hal ini adalah tidak boleh. Wajib bagi setiap muslim untuk berpuasa dan beridulfitri bersama pemerintahnya, mengawali serta mengakhiri Ramadan secara bersama-sama. Tidak boleh baginya untuk menyendiri dalam hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu pada saat kalian berpusa, Idulfitri itu saat kalian beridulfitri, dan Iduladha itu pada hari kalian menyembelih (sembelihan)”
(Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Shahihah, no. 224).
Maknanya adalah bersama pemerintah di negeri kalian masing-masing. Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul‘aziz bin Baz rahimahullah berkata,
على المسلم أن يصوم مع الدولة التي هو فيها ويفطر معها؛ لقول النبي ﷺ: الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون. وبالله التوفيق
“Wajib bagi (setiap) muslim untuk berpuasa bersama pemerintah di negara dimana dia tinggal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Puasa itu pada saat kalian berpuasa, Idulfitri itu saat kalian beridulfitri, dan Iduladha itu pada hari kalian menyembelih (sembelihan)’, wabillahit-taufiq” (https://binbaz.org.sa/fatwas/10918/%D8%B9%D9%84%D9%89-%D8%A7).
BAGAIMANA PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADAN BAGI YANG TINGGAL DI NEGERI KAFIR?
Hendaknya bagi mereka yang tinggal di negeri kafir untuk berpindah ke negeri Islam. Apabila mereka tetap berada di sana, cara penetapannya adalah diadakan majelis perkumpulan bagi mereka dan kesepakatan untuk melihat hilal. Hendaknya mereka bersungguh-sungguh mengetahui hal ini. Janganlah mereka berselisih dan hendaknya ada di antara mereka yang mempunyai perhatian dalam hal ini. Akan tetapi, apabila tidak didapati yang seperti ini, hendaknya melihat kepada negara Islam yang paling dekat dengan mereka, berpuasa sama dengan mereka, sebagaimana hal ini disampaikan oleh asy-Syaikh ‘Arafat bin Hasan al-Muhammadi hafizhahullah (https://bit.ly/2KaAQw9).
Baca juga : SILSILAH PUASA LENGKAP
Baca juga : SILSILAH PUASA LENGKAP
Baca juga : PERINTAHKAN ANAKMU UNTUK BERPUASA
Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu Umar غفر الرحمن له.
Ayo Gabung dan Bagikan:
Kanal Telegram: https://t.me/alfudhail
Situs Web: https://alfudhail.com
KOMENTAR