Pengertian Itsar Mengutamakan Orang Lain, Contoh Perbuatan Itsar.
lTSAR, MENGUTAMAKAN ORANG LAIN
Itsar, Mengutamakan Orang Lain |
Itsar adalah salah satu sifat yang sangat dihasung dalam agama Islam. Yaitu mengutamakan orang Iain daripada diri sendiri dalam perkara dunia yang kita juga membutuhkannya. Tidak dipungkiri, saat ini jarang kita dapati seseorang yang berhias dengan sifat mulia ini. Maka untuk menggugah hati kita agar senantiasa mengamalkannya, kami suguhkan kisah-kisah teladan dalam hal ini.
TELADAN SANG USWAH HASANAH
Pernah ada seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu alaih wasalam. Orang itu mengatakan bahwa dia kelaparan. Maka beliau datang menemui salah seorang istri beliau. Beliau shallallahu alaih wasalam menanyakan apakah ada makanan untuk orang tersebut. Namun ternyata beliau tidak menemukan selain air. Lalu beliau datang kepada istri yang lain. Ternyata sama, beliau hanya mendapatkan air. Demikian keadaanya pada seluruh istri beliau.
Kemudian beliau bertanya kepada para shahabat, apakah ada yang mau menjamu tamu beliau itu. Maka seorang dari kalangan Anshar menyanggupi. Lantas dia pulang ke rumah dan mengabarkan hal itu kepada istrinya. Dia menyuruh istrinya agar tidak menyia-nyiakan tamu Rasulullah. Tak jauh berbeda dengan keadaan Rasulullah, istrinya mengatakan bahwa mereka hanya punya makanan untuk anak-anak.
Demi memuliakan tamunya, shahabat Anshar itupun menyuruh istrinya agar menidurkan anak-anak. Lalu menghidangkan makanan mereka untuk tamu tersebut. Lampu rumah pun dia perintahkan agar dimatikan. Supaya sang tamu tidak mengetahui bahwa makanan yang ada hanya untuknya. Tak hanya itu, dia juga menyuruh istrinya agar mereka berdua pura-pura ikut makan bersama tamu, agar tamu tersebut merasa nyaman.
Subhanallah, Paginya, saat shahabat Anshar itu datang menemui Rasulullah, beliau mengatakan bahwa Allah merasa takjub dengan perbuatannya bersama istrinya dalam menjamu tamu tadi malam.
AL-WAQIDI DAN SEKANTONG DIRHAM
Al-Qadhi Iyadh رØمه الله dalam kitab beliau Tartibul Madarik menyebutkan; Al-Waqidi رØمه الله mengisahkan, ”Aku memiliki dua orang sahabat, salah satunya adalah dari Bani Hasyim. Suatu saat aku ditimpa kesempitan. Lalu istriku berkata, "Sungguh, kita bisa bersabar atas kesulitan ini. Namun, anak-anak kita, hatiku terluka melihat keadaan mereka. Apakah kita bisa melakukan sesuatu bagi mereka❓"
Aku pun menulis surat kepada sahabatku dari Bani Hasyim. Aku minta tolong kepadanya tentang keadaanku. Kemudian ia mengirimkan sebuah kantong yang masih tersegel. Dia sebutkan bahwa di dalamnya ada 1000 dirham. Belum sampai aku membukanya, ternyata aku menerima surat dari temanku yang Iain. Dia juga mengalami kesulitan sama sepertiku. Aku pun serahkan kantong itu dalam keadaan sama seperti saat aku menerimanya.
Kemudian aku pergi ke masjid untuk bermalam di sana, karena malu terhadap istriku. Saat aku kembali, ternyata istriku menganggap baik apa yang aku lakukan.
Beberapa waktu kemudian, datanglah temanku dari Bani Hasyim membawa kantong tadi, dan masih dalam keadaan yang sama. Dia memintaku untuk jujur menceritakan apa yang terjadi. Aku pun menyampaikan kepadanya. Lalu dia berkata, “Engkau mengadu kepadaku, sementara aku tidak punya apa-apa selain kantong yang aku berikan kepadamu. Lalu aku menulis surat kepada teman kita untuk meminta pertolongan. Lalu dia mengirimkan kantong ini dan masih ada segelku.” Lalu kami membagi uang itu menjadi tiga bagian, setelah menyerahkan 100 dirham untuk istriku.
Sampailah berita ini kepada Al-Makmun. Dia lalu memanggilku. Setelah aku menyampaikan peristiwa kami kepadanya, dia memberiku 7000 dinar. Masing-masing dari kami bertiga 2000 dinar dan untuk istriku 1000 dinar.
Sumber ||
Majalah Qudwah Edisi 07https://t.me/Majalah_Qudwah/1109
KOMENTAR