Manusia Makhluk Sosial dalam Pandangan Islam, Tidak Dapat Hidup Sendiri, Membutuhkan Orang Lain.
TAK SANGGUP HIDUP SENDIRI
Oleh : Al Ustadz Abu Muhammad Farhan
Tak Sanggup Hidup Sendiri |
Seorang mukmin membutuhkan saudaranya sesama mukmin. Hidup dalam kebersamaan tidak terpisahkan. Sehingga yang lemah akan menjadi kuat dengan keberadaan yang lain. Karena sesama kaum mukminin saling mengkokohkan. Saling mengusahakan kemanfaatan. Baik kemanfaatan untuk masing-masing individu, terlebih yang sifatnya umum menyeluruh. Kaum mukminin juga bersama mencegah kemadharatan. Baik kemadharatan pada pribadi, terlebih skala masyarakat luas.
Bukan hanya pada permasalahan dunia, namun bahkan pada perkara akhirat. Akan semakin sempurna keimanan seseorang dengan keberadaan kaum ini di sekitarnya. Baik dengan nasihat pada saat lemah, atau motivasi ketika kurang semangat, pengingat waktu lupa, teguran dengan hikmah kalah salah, bahkan sekadar keberadaan mereka adalah kebaikan bagi mukmin yang lain.
Bukankah salat bersama mukmin yang lain akan semakin banyak pahalanya daripada sendirian? Apalagi semakin banyak jamaah semakin berlipat pula pahalanya. Subhanallah, sekadar keberadaan seorang mukmin saja sangat berpengaruh terhadap mashlahat mukmin yang lain.
Al Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa seorang hamba dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, secara tidak langsung telah berusaha untuk memberikan manfaat kepada saudaranya kaum mukminin.
Sebagaimana ia pun mendapatkan manfaat dari amalan saleh mereka. Kaum mukminin saling mendapatkan manfaat dari amalan yang mereka kerjakan bersama. Seperti salat jamaah, masing-masingnya akan dilipatgandakan pahala salatnya sebanyak dua puluh tujuh derajat, karena keikutsertaan selainnya dalam salat tersebut.
Amal orang lain adalah sebab bertambahnya pahalanya, sebagaimana amalannya menjadi sebab bertambahnya pahala orang lain. Bahkan disebutkan bahwa pahala salat akan dilipatgandakan sesuai dengan jumlah orang yang salat dalam jamaah tersebut. Demikian pula keikutsertaan kaum mukminin dalam jihad, haji, amar ma'ruf nahi mungkar, atau ta'awun dalam kebajikan dan ketakwaan.
Dalam sebuah permisalan yang indah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
انَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
"Sesungguhnya mukmin dengan mukmin yang lain seperti bangunan, saling menguatkan." Rasulullah lalu menjalin jari jemari beliau." [H.R Al Bukhari dan Muslim dari Shahabat Abu Musa].
Ini semuanya dalam perkara agama. Dalam masalah dunia lebih jelas lagi kemanfaatan bersama yang diraih. Maka dengan berislamnya seorang, lalu bergabung dengan kaum muslimin, hal ini menjadi sebab terbesar untuk tercapainya manfaat sesama kaum muslimin dalam kehidupan dunia dan setelah kematiannya. [Ar Ruh, 1/128].
Demikian pula dari sisi tercegahnya kemaksiatan dan kemungkaran. Seorang yang beriman akan berusaha dengan hikmah untuk mencegah saudaranya seiman dari perbuatan dosa. Sebaliknya, mukmin yang dinasehati akan mudah menerimanya. Allah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." [Q.S Adz-Dzariyat:55].
Siapa yang mengaku beriman, maka ia akan selalu bisa mengambil manfaat dari sebuah peringatan. Tanpa rasa sempit, benci, atau marah kepada mukmin si pemberi nasehat, bahkan justru ia akan sangat berterimakasih, dan mencintainya. Karena itulah bukti cinta sesama saudara seiman.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri." [H.R Al Bukhari dan Muslim dari Shahabat Abu Hurairah].
Bahkan sekadar adanya keberadaan saudara seiman disampingnya, seorang mukmin akan tercegah dari kejelekan, malu berbuat maksiat. Hal ini cukup menunjukkan betapa sesama mukmin saling membantu, saling bahu-membahu menguatkan saudaranya. Saling menguatkan untuk mencapai mashlahat dunia, terlebih akhirat.
Semestinya kaum mukminin saling bersaudara, berkasih sayang, saling mencintai, dan berlemah lembut antar mereka. Masing-masing mencintai yang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Mengusahakan cita-cita mulia ini. Mereka berkewajiban untuk memerhatikan mashlahat umum bersama. Sebagaimana bangunan yang saling berhubungan, menopang mengokohkan. Demikianlah kaum mukminin, masing-masing tidak akan mampu mewujudkan mashlahat sendiri-sendiri. Namun, harus ada kerjasama saling membutuhkan dan saling menyempurnakan antar mereka. Baik dalam meraih kemanfaatan atau mencegah dan menghilangkan berbagai kemudharatan. [Bahjatul Qulub As Sa'diy].
Menyadari hal ini, aksi setiap mukmin adalah berusaha mencurahkan kebaikan untuk sesama mukmin. Tidak boleh egois, karena ia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan kemanfaatan yang didapatkan oleh orang yang berbuat baik kepada pihak lain akan lebih besar. Ia akan menjadi manusia terbaik dengan kebaikan kepada orang lain. Baik di sisi Allah, dengan keimanan yang semakin baik, sekaligus baik disisi sesama dengan kebaikan yang semakin banyak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
"Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain." [H.R. Al Qudhai dari Shahabat Jabir bin Abdillah dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami'].
"Manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain." [H.R. Al Qudhai dari Shahabat Jabir bin Abdillah dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami'].
Memberikan kemanfaatan bisa dengan harta, tenaga, usulan, ide, nasehat, bantuan dengan kedudukan, atau yang lainnya. Jadi, siapa saja mampu mengamalkan hadis ini, meraih predikat mukmin terbaik.
Karena manfaat yang dimaksud adalah jenis kemanfaatan yang bisa dilakukan sesuai kemampuan. Bukan saja khusus orang yang kaya atau kuat, tidak pula hanya untuk mereka yang cerdas, atau berkedudukan. Namun, semua bisa sekadar kemampuan. Alhamdulillah.
Terlebih apabila seorang mukmin mengetahui berbagai manfaat yang didapat dari kebaikan yang diberikan kepada saudaranya. Begitu melimpah jauh melebihi kebaikannya kepada pihak lain yang mungkin tak seberapa. Perhatikanlah sabda mulia berikut ini!
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
"Siapa yang membantu memberikan jalan keluar kepada seorang mukmin dari kesempitan dunia, Allah akan memberikan jalan keluar untuknya dari kesempitan pada hari kiamat. Siapa yang memberikan kemudahan kepada seorang yang mengalami kesulitan, Allah pun akan memudahkan urusan dunia dan akhiratnya. Siapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Sungguh Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya." [H.R. Muslim dari Shahabat Abu Hurairah].
Allahuakbar! Kebaikan yang dilakukan seorang mukmin untuk saudaranya benar-benar tidak bernilai jika dibandingkan dengan balasan Allah kepadanya. Sedikit yang dilakukan, sangat terbatas dan begitu sederhana, namun Allah membalas dengan balasan tak terhingga.
Ya, karena sebesar apapun kebaikan di dunia ini, tidak seberapa bila dibandingkan kebaikan di akhirat. Bahkan sepenuh bumi harta pun akan rela dikeluarkan untuk menebus keselamatan di akhirat. Emas permata beserta kemewahan dan kenikmatan seluruh dunia tetaplah rendah dibandingkan satu kemudahan di akhirat. Renungilah ayat ini:
لِلَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَالَّذِينَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ سُوءُ الْحِسَابِ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." [Q.S. Ar Ra'd : 18]
Memang, dunia tak seberapa. Lalu siapa yang mampu berbuat baik kepada sesama dengan sepenuh dunia? Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan janji besar bagi siapa saja yang gemar membantu dan berbuat baik kepada orang lain.
Beliau bersabda yang artinya, "Orang yang paling Allah cintai adalah yang paling bermanfaat untuk manusia. Dan amalan yang paling Allah cintai adalah memasukkan kebahagiaan kepada seorang muslim, menyingkirkan kesulitan, melunasi hutang, atau menghilangkan rasa lapar darinya. Sungguh, aku berjalan bersama saudaraku muslim untuk menyelesaikan kebutuhannya, lebih aku cintai daripada beritikaf sebulan di masjidku ini. Siapa yang menahan marahnya, Allah akan menutupi aibnya. Dan siapa saja yang meredam amarahnya, walaupun ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan keridaan pada hari kiamat. Siapa saja yang berjalan sesama saudaranya muslim untuk menunaikan kebutuhannya sampai ia menyelesaikannya, niscaya Allah akan mengokohkan kakinya pada saat kaki-kaki tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang jelek benar-benar akan merusak amalan sebagaimana cuka merusak madu." [H.R. Ath Thabarani dari Shahabat Abdullah bin Umar, dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al-Albani dalam shahihul Jami'].
Subhanallah!
Cukuplah dalil-dalil di atas menjadi motivasi yang besar bagi seorang mukmin. Siapa pun yang beriman terhadap firman Allah dan sabda Rasul Nya dengan kokoh pasti akan tergerak penuh keyakinan. Menebar berbagai kebaikan untuk mendapatkan hasil berlimpah ruah, di dunia dan akhirat.
Ringan memberikan kebaikan kepada sesama untuk meraih curahan nikmat dari Allah. Apalagi, dengan kebaikan kepada orang lain Allah akan menjaga nikmat yang dimiliki hamba, melanggengkan nikmat tersebut, sebelum menambahnya berlipat ganda.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda memberikan kabar gembira (yang artinya), "Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang Allah khususkan dengan berbagai nikmat untuk memberikan manfaat-manfaat kepada sesama. Allah biarkan nikmat-nikmat itu pada mereka selama mereka mencurahkan kebaikan kepada sesama. Apabila mereka menahannya, tidak memberikan kepada orang lain, Allah pasti akan mencabut dari mereka dan memberikannya kepada selain mereka." [ H.R. Ath Thabarani dan Ibnu Abid Dunya dari Shahabat Abdullah bin Umar, dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam shahihul Jami'].
Masya Allah, melalui kebaikan kepada sesama, kebaikan berlimpah akan senantiasa menyertai kehidupan seorang hamba, kekal abadi bahkan hingga kehidupan hakiki setelah kematian nanti. Nyata bahwa seorang mukmin adalah pertama kali yang akan mengambil faedah dari manfaat kebaikan kepada pihak lain, sebelum pihak lain tersebut. Dengan bahasa lain, kebaikan seseorang adalah untuk dirinya sendiri.
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
"Jika kamu berbuat baik (berarti) sesungguhnya kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu menimpa dirimu sendiri." [Q.S. Al-Isra' : 7]. Allahul Musta'an!
Sumber: Majalah Qudwah edisi 74 vol 07 tahun 1441 hal. 81 | diedit tanpa mengurangi makna.
KOMENTAR