Kisah Penyesalan Seorang Kakak Kepada Adik dan Keluarganya. Ketika Adik Lebih "Disayang".
Untuk Adikku Tercinta
Kisah : Untuk Adikku Tercinta |
Satu kesan yang selalu hadir dihatiku saat kata 'adik' terdengar di telingaku ataupun terucap dari lisanku sendiri. Dia adalah sahabat sekaligus 'kakak' secara makna bagiku. Dulu aku tidak berpikir begitu tentangnya. Namun seiring waktu dan jarak yang memisahkan kami, aku semakin menyadari bahwa kehadiran sosoknya sangat berharga bagiku.
Masa kecil hingga remaja kuhabiskan dengan 'iri' yang tak beralasan pada adikku. Aku selalu menganggap ayah dan ibu jauh lebih mencintainya. Sikapnya yang baik dan senang di rumah membuatnya lebih dekat dengan ayah dan ibu. Prestasinya yang selalu bagus di sekolah juga membuatku semakin yakin akan kasih sayang yang tercurah lebih untuknya. Karena kami memang berbeda. Aku harus berusaha keras untuk bisa meraih nilai bagus, namun dia biidznillah cukup dengan belajar santai dan terkesan biasa.
Rasa iri itu menetap di hatiku entah berapa tahun. "Aku juga ingin disayang!" begitu teriakku dalam diam. Rasa itu masih bersarang hingga aku masuk pesantren di dekat rumah kami. Usiaku baru 11 tahun saat ayah memasukkanku ke sekolah asrama berlabel pondok pesantren tauhid.
Tanpa bertanya apakah aku setuju atau tidak dengan pilihan tersebut, ayah mendaftarkanku disana. Kala itu ayah sudah mulai mengenal sedikit demi sedikit dakwah salafi. Mengirimku ke ma'had ahlussunnah adalah keinginan besar Ayah.
Namun, ma'had salaf terdekat di daerah kami berjarak kurang lebih 10 jam dari rumah. Ibu pun belum bisa melepasku sejauh itu. Disamping itu, aku juga menolak karena terasa anti dengan sesuatu yang bernama cadar. Terlebih lagi di ma'had 'bercadar' itu aku sudah tahu bahwa tidak ada pelajaran umum dan ijazah resmi, sehingga membuatku sama sekali tidak tertarik.
Padahal, aku sudah mengumpulkan brosur-brosur sekolah elite yang kudapat dari beberapa teman. Kuutarakan sekolah impianku kepada ayah dan ibu. Dan yang kudapat adalah penolakan demi penolakan dengan alasan yang tidak ingin kumengerti. Akhirnya aku memilih pasrah dengan keputusan ayah dan ibu. Yang penting dan pastinya, aku tidak ingin putus sekolah. Serta tidak ingin masuk ma'had bercadar tersebut.
Akhirnya aku pun sekolah di pondok pesantren swasta di daerah kami ini. Meski kecewa dengan fasilitas sederhananya, lambat laun aku mulai menikmati aktivitas belajarku disana. Toh, aku masih bisa sekolah, pikirku.
Berbeda dengan adikku. Dia bisa memilih sekolah sesuai keinginannya. Pilihannya adalah sebuah pondok pesantren organisasi terbesar di Indonesia yang letaknya lebih jauh dari pondokku. Benakku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan menyakitkan tentang hal yang kuanggap tidak adil ini. Mengapa dia boleh memilih sekolahnya sendiri dan aku tidak?
Rasa tersisih itu semakin subur tatkala kami sama-sama liburan di rumah, Ibu terlihat selalu membenarkannya. Entah dalam hal besar maupun hal terkecil. Sampai pun pada cara melipat pakaian, beliau membandingkan aku dan adikku. Walaupun ibu berkata itu sebagai motivasi bagiku agar bisa lebih dewasa, hatiku tetap berontak, tak percaya.
Seringkali kami berdebat dalam masalah-masalah sepele. Dan berakhir dengan tumpahnya air mataku di dalam kamar, sembari lisan menyalahkan ayah, ibu, serta adikku. Keadaan ini membuatku menjauh dari keluarga. Kuhabiskan banyak waktu bahkan hampir seluruhnya bersama teman-temanku selama 3 tahun.
Aku membatasi diri dari keluarga. Acuh, dingin, dan diam itu yang kuberikan untuk keluarga. Kadang terbesit dalam hati ingin kembali merasakan kehangatan belaian kasih sayang keluarga. Namun kutepis itu semua dengan segera. Aku berkata dalam hati, "Adik adalah tokoh utama dalam keluarga dan aku hanyalah figuran yang sebenarnya tidak diperlukan."
Semakin hari hubunganku dengan keluarga terus memburuk. Seakan semakin hari semakin tebal dinding yang tercipta di antara kami. Terutama aku dan Ayah. Aku tahu beliau kecewa dengan sikapku yang keterlaluan. Tapi, ketika itu aku selalu berusaha menyalahkannya.
Ayah begitu perhatian dengan adik. Tersenyum dan bercanda dengan riang bersama. Sementara denganku justru sering melihat tanpa ekspresi. Dan menegurku dengan muka masam jika aku melakukan kesalahan. Mengenang hal itu semua rasa bersalahku tumbuh kian membesar. Ayah, maafkan aku. Namun, waktu itu aku tidak mau berubah.
Aku merasa bahwa akulah yang benar. Aku merasa sebagai pihak yang teraniaya. Aku merasa diperlakukan tidak adil. Meski kuakui, Ibu berusaha menjalin kedekatan diantara kami. Tapi aku bergeming, tetap pada pendirianku. Seolah aku berkata, "Sudah Terlambat untuk diperbaiki." Maafkan aku ya, Maa..
Hingga kemudian Allah Sang Mahapengasih dan Penyayang, membimbing hatiku untuk mencintai Al Quran. Berteman dengan seseorang yang mencintai Al Quran, membuatku ingin sepertinya, menjadi salah satu penghafal Kalam terindah itu. Alasan itu membuatku menerima keputusan Ayah untuk berangkat ke ma'had yang beliau inginkan sejak dulu. Padahal awalnya aku kecewa karena nilai-nilai kelulusanku yang cukup untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan unggulan diabaikan oleh ayah dan ibu. Segala puji bagi Allah yang telah melapangkan dadaku dan memberiku hidayah semahal ini.
Di ma'had ahlussunnah inilah aku mulai semuanya dari nol. Memperbaiki diri, hati, akidah, adab, dan semuanya. Aku mulai memahami sunnah dan kewajiban-kewajiban seorang hamba. Disini pula aku mulai merasa bersalah atas semua sikapku kepada keluarga selama ini.
Secara perlahan, aku pun mulai menghilangkan rasa iri kepada saudaraku satu-satunya yang kumiliki. Aku berusaha menyusun dari awal bangunan muamalah yang sudah hampir runtuh antara aku dan keluarga. Saat liburan tiba, kusiratkan cerita dan candaan-candaan yang bisa mencairkan suasana. Itu terus aku lakukan. Dengan pertolongan Allah dan kemudahan dari-Nya, akhirnya kedekatan kami mulai menyapa kerenggangan kami.
Alhamdulillah, iri dan berasa dinomorduakan mulai luntur dari hatiku. Seiring dengan pelajaran-pelajaran dan adab-adab yang kudapatkan di ma'had. Aku mencoba memahami keadaan yang selama ini terjadi dalam hidupku.
"Dengan teman-teman yang bukan siapa-siapa saja kita di suruh ngasih 999 pintu udzur. Apalagi untuk orang tua yang kasih sayangnya nggak diragukan lagi. Harusnya lebih bisa ngasih udzur," begitulah gumam dalam hati yang kurangkai sendiri untuk menguatkan hati tatkala bisikan 'ingin diperlakukan seperti adik' kembali menghampiri.
Aku mulai intropeksi (muhasabah) diri sendiri. Menyadari bahwa kesalahan di masa lalu telah menyia-nyiakan duka di hati ayah dan ibu, jadi mungkin wajar jika sekarang keduanya berharap lebih pada adik yang memang lebih baik dan penurut dibanding diriku. Demikian catatan disudut hatiku yang lain menghibur diri.
Di ma'had tercinta itu pula, aku bertekad menyelesaikan hafalan Al Quranku. Aku ingin memberi ayah dan ibu hadiah terindah berupa mahkota di surga. Aku ingin melakukan sesuatu yang semoga bisa menyembuhkan luka-luka mereka. Aku ingin menjadi penyejuk mata dan hati mereka. Aku ingin mewujudkan cita-cita ayah.
Ayah tentu akan sangat senang apabila aku dan adik bisa menjadi penghafal Al Quran (hafizhah). Itu yang kuingat dari cerita ibu padaku saat menyemangatiku untuk terus belajar di ma'had. Aku pun mengatakan pada diriku sendiri, "Meski aku bukan anak kesayangan, aku harus tetap membahagiakan 2 orang yang paling istimewa dalam hidupku. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi anak yang baik."
Doa dan usaha kugiatkan untuk meraih cita-cita tersebut. Meminta pertolongan dan izin-Nya agar kalam termulia ini menetap di hatiku. Di sisi lain hubunganku dengan adikku semakin dekat Karena di tahun ke-3 aku di pondok, dia menyusulku di pondok yang sama. Ia juga semangat dalam menghafal Al Quran.
Sayangnya, fisik yang dimilikinya tidak sepertiku. Bahkan jauh berbeda. Dia sering jatuh sakit dan penglihatannya pun tidak sesehat diriku. Aku baru tahu ketika itu, sejak di Madrasah Tsanawi ia sering pulang karena sakit dari obrolan ringan dengan ibu setelah kuatnya kata 'dekat' di antara kami. Hal itu membuat rasa bersalah semakin menguasai hatiku. Melahirkan kesedihan yang seolah tak bertepi. Terlebih lagi setelah 3 hadiah besarnya untukku.
Hadiah yang pertama, ia berikan di bulan Dzulhijah, seakan hari itu hari bersejarah bagiku. Kala itu aku melaksanakan Idul Adha bersama kawan-kawan di ma'had. Adikku sudah pulang jauh hari sebelum puasa Arafah. Lemahnya daya tahan (imunitas) tubuhnya menjadikan sebab Ayah menjemputnya. Melalui sambungan telepon kukabarkan pada ibu bahwa 4 hari lagi hafalanku selesai.
Namun kemudian aku agak kecewa. Ternyata tak ada respon yang 'berlebih' yang kuharapkan keluar dari ibu. Hanya kalimat hamdalah serta beberapa kata yang sudah kulupakan. Sempat terlintas pertanyaan menyakitkan yang segera kubuang jauh-jauh, "Apa mama tidak begitu bahagia? Mengapa tanggapannya biasa sekali?"
Memang, menghafal kitabullah adalah hal yang lumrah di kalangan ahlussunnah. Tapi bagiku yang pernah menjadi pendosa dan penuh cela tentu menjadi hal yang selalu terkenang indah dalam sejarah hidup. Dan aku berharap orang tuaku pun merasakan kebahagiaan itu. Tapi sepertinya?? Entahlah. Aku lelah dengan segala prasangka yang muncul dari kedangkalan pikiranku ini
.
Sekembalinya adik ke ma'had, bertepatan 2 pekan dari 'hari bahagia'ku, bertanya tentang keadaan rumah adalah hal yang pasti aku tanyakan kepadanya. Dan jawab sederhana darinya ternyata justru mengalirkan kesejukan yang tiada terkira di setiap sudut jiwaku.
"Mama pas habis telpon nangis Mbak, ketika kamu bilang sudah mau khatam menghafal Al Quran." Oh, ternyata begitu. Ternyata mama bahagia dengan prestasiku. Bahkan mungkin lebih bahagia dari diriku sendiri. Perbincangan kami berlanjut dengan rasa syukur yang terukir di wajahku. Hingga 'hadiah yang kedua' dari adikku kembali menyentuh relung hatiku dan menghempaskan segala anggapan buruk kepada laki-laki terhebat dalam sejarah hidupku. Ayah.
"Pas hari Idul Adha Ayah terus ngingetin mama untuk nelpon kamu Mbak. Ayah nanya terus Mbak, 'udah ditelepon belum?' Pagi, siang, sampai sore." Begitu kisah yang meluncur polos dari adikku. Keegoisanku luluh lantak seketika dengan kisah singkat itu.
Segala rasa iri dan dugaan-dugaan buruk yang tertancap sekian lama pun terusir. Berganti dengan rasa sesal yang tak terkira, mengapa selama ini demikian buruknya prasangkaku. Dalam hati kupanjatkan doa dan asa yang terbaik untuk 2 orang teristimewa bagiku itu.
Di sore senja itulah aku baru yakin dan percaya bahwa ayah ternyata menyayangiku. Terima kasih adikku... Hadiah tak terbungkus darimu lebih berkilauan dari mutiara. Dan 'hadiahmu' yang selanjutnya, juga akan terus kuingat selagi nafas singgah dalam raga. Suatu hari, aku meminta adikku untuk menyimak hafalanku. Entah di ayat yang mana, aku lupa harakatnya. Karena tak mau ambil pusing aku pun membaca asal saja. Teguran yang tak pernah kusangka itu pun kudengar darinya, "Ada huruf jarnya kok dibaca fathah to mbak." Aku merasakan pukulan keras yang merobohkan keyakinan yang mengakar di dadaku.
"Bahasa Arab kan cuma ilmu alat, nggak penting-penting amat. Lagian menghafal Al Quran nggak harus bisa bahasa Arab." Demikian keyakinanku selama ini.
Sejak itulah aku sadar bahwa bahasa Arab itu bukan hanya sekadar ilmu alat yang tidak penting-penting amat. Kusimpan dalam-dalam kekaguman yang membenih di hati untuk adikku. Dia mengamalkan apa yang dia pelajari meskipun masih sedikit. Berbeda denganku yang tidak pernah terbetik sekalipun untuk merealisasikan ilmu yang satu itu di kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya aku tidak membenci bahasa Arab. Namun pahitnya rasa gagal sudah bertahta terlebih dahulu dalam diriku saat mempelajarinya. Rasa takut, enggan, kemudian menghindar. Itu sikapku terhadap ilmu yang satu ini. Ya, aku tidak menyukainya sama sekali. Bagiku bahasa Arab sangat sulit. Itulah alasanku lari darinya. Biarlah aku mencintai Al Quran tapi aku tidak suka bahasa Arab. Aneh bukan?
Namun, alhamdulillah keanehan pada diriku itu lenyap secara perlahan-lahan setelah kejadian itu. Kata-kata adikku itu seolah senjata yang melenyapkan segala penyakitku terhadap bahasa Arab. Hatiku mulai berbicara, "Mencintai Al Quran harus mencintai pula bahasa Arab. Mencintai Allah dan Rasul-Nya harus pula mencintai bahasa Arab. Karena Allah berkalam dalam Al Quran dalam bahasa Arab. Karena Rasul bertutur kata dengan bahasa Arab. Mencintai ulama ternyata juga harus mencintai bahasa Arab karena kitab-kitab mereka ditulis dalam bahasa Arab. Terima kasih adikku...
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat dan kembali memberi kami jarak yang jauh. Dua tahun bersama adik sekaligus 'kakak' bagiku banyak hal yang perlahan kupahami. Penyesalan tak berujung kini bersemayam di dinding hati karena di masa lalu mengobarkan rasa iri yang tak masuk akal terhadap saudara kecilku. Kini aku mengerti rasa tidak ingin dibedakan itu juga ada pada dirinya. Ada saatnya dia diam, ada saatnya dia tertawa bersamaku. Ada saatnya ia mengutarakan isi hatinya kepadaku, ada saat ia marah padaku. Dan selalu ada saatnya ia menjadi orang pertama yang tulus dalam memberi kritik dan saran.
Semakin bertambah umur, aku semakin tahu bahwa memang ia jauh lebih baik dariku. Dia tidak terpuruk ketika nilai akademiknya turun. Dan tidak larut dalam euforia tatkala di atas. Dia juga tidak suka menghabiskan waktunya untuk mengobrol. Jauh berbeda denganku. Ya, Rabb... Segala puji bagi-Mu yang telah memberiku adik seperti dirinya. Sabarkanlah dia mempunyai kakak seperti aku.
Di akhir kata, senandung rindu teriak ingin jumpa menyertai setiap huruf teruntuk adikku sekaligus sahabat terbaikku. Mungkin tak pernah lisan ini dengan lugas mengatakannya. Cukuplah Allah Yang Maha mengetahui secara sempurna bagaimana menjulangnya susunan harapan yang kupinta dari-Nya untukmu. Terima kasih ya Dik..
Terima Kasih Ayah, Ibu..., telah mencurahkan kasih sayang tiada henti untuk 'beban' yang belum berubah menjadi penyejuk hati. Maaf belum bisa menggantikan sekian banyak air mata duka yang telah keluar dengan air mata kebahagiaan.
Untuk ayah, ibu, dan adikku, aku minta maaf belum bisa menjadi anak dan kakak yang baik. Semoga naungan Allah selalu menjaga kalian dengan penjagaan yang paling baik. Doakan selalu aku, ya... agar rihlah ini berbuah jannah. Agar mahkota yang ingin kuberikan benar-benar bisa kudapatkan. Agar kata 'iya' yang kuucapkan sekitar 8 tahun yang lalu kepada adik benar-benar terwujudkan.
"Mbak nanti kalo kamu sudah hafal Al Quran kan boleh bawa berapa orang ke surga gitu ya? Jangan lupakan aku diajak ya." Dengan kepolosan kami waktu itu, akupun mengangguk. Kami tentu akan tertawa mengingat memori waktu itu. Semoga ya Dik...,
Semoga Allah mudahkan. Aamiin.
Sumber: majalah Qudwah edisi 75 vol. 07 tahun 1441H hal. 9
KOMENTAR