Kisah Perjalanan Umrah ke Baitullah, Cerita Tim Reportase Majalah Qudwah dalam Perjalanan Umrah.
MENGGAPAI BAITULLAH
Kisah Perjalanan Umrah ke Baitullah |
Muslim mana yang hatinya tak merindu Baitullah? Gema talbiyah menggetarkan relung hati terdalam. Meluruhkan jiwa, memunculkan kerinduan tak terperi. Seorang muslim taat tentu sangat mengharap dirinya bisa menginjakkan kaki di Tanah Haram. Walau itu cuma sekali dalam seumur hidupnya. Dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada-Nya. Dalam rangka menghidupkan sunnah Nabi-Nya. Menggapai Baitullah merupakan harapan yang menggayut di setiap dada seorang muslim.
Rihlah sa’idah, perjalanan yang menyenangkan lantaran didorong keimanan. Perjalanan yang tiada menjemukan lantaran diiringi sejuta harapan mendapat ganjaran. Perjalanan yang tiada akan menuai kerugian, walau sekian banyak harta dikorbankan. Tidak. Tidak akan merugi. Karena sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menyiapkan penggantinya yang Iebih baik. Jadi, muslim mana yang hatinya tak rindu menggapai Baitullah?
Terlebih, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا
”Umrah ke umrah yang lain merupakan kaffarah (peluruh dosa) yang terjadi di antara rentang waktu itu." [H.R. AI-Bukhari no.1773 dan Muslim no. 3289 hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه].
Juga sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
”Iringkanlah oleh kalian antara haji dan umrah, karena keduanya bisa menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa, sebagaimana tungku besi membersihkan besi dari karat.” [H.R. An-Nasai no.2630 dari shahabat Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani رحمه الله dalam Ash Shahihah].
Secara bahasa, umrah artinya berziarah (berkunjung). Secara syar'i didefinisikan; menziarahi Baitul-Atiq (Ka’bah) untuk thawaf di Ka'bah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. (Tabshiru An-Naasik bi Ahkami Al-Manasik, hlm.30. Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr]. Tak sebagaimana berhaji, menunaikan umrah bisa dilakukan dengan cara santai, walau tetap diselimuti semangat untuk beribadah.
Pada umumnya, jamaah umrah dari Indonesia, setiba di Bandar Udara King Abdul Aziz Jeddah memilih langsung ke Madinah. Tidak langsung menuju ke Makkah untuk menunaikan manasik umrah.
Perjalanan dari Jeddah ke Madinah bisa ditempuh dalam rentang waktu lima hingga enam jam. Pemandangan kanan-kiri jalan, sejauh mata memandang, diwarnai gunung batu, padang pasir, Iembah ditumbuhi pepohonan nan rimbun menghijau seperti di Indonesia. Bila terjadi angin kencang, pasir-pasir beterbangan. Bukit pasir nan menggunung pun bisa sirna dan berubah bentuk menjadi dataran pasir. Jalan aspal yang mulus pun bisa tertutupi butiran-butiran pasir. Sebuah pemandangan yang sulit didapatkan di Tanah Air. Masya Allah Tabarakallah.
Terkadang, dari kejauhan ada segerombolan unta atau kambing milik orang-orang badui yang tengah digembala. Penduduk badui hidup nomaden. Berpindah dari satu tempat ke tampat Iain. Karenanya, tak jauh dari gerombolan unta dan kambing yang tengah digembala, terlihat satu-dua buah tenda. Itulah tempat hunian mereka.
Bila telah tiba di Madinah, ada dua masjid yang disyariatkan untuk diziarahi, yaitu pertama Masjid Nabawi, yang keutamaan shalat di dalamnya tentu teramat agung. Shalat di dalamnya Iebih baik seribu kali dibanding shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Kedua, Masjid Quba’. Di Masjid Quba' disunnahkan menunaikan shalat dua rakaat. Rasulullah ﷺ mendatangi Masjid Quba’ setiap Sabtu.
Baik dengan berjalan kaki maupun berkendara, lantas beliau shalat dua rakaat di dalamnya. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Bahkan, dalam sabda beliau shallallahu alaihi wasallam yang artinya, ”Barangsiapa yang bersuci di rumahnya, Iantas mendatangi Masjid Quba’, kemudian shalat dua rakaat di dalam Masjid Quba tersebut, maka bagi dia mendapat pahala umrah."
[H.R. Ibnu Majah dan selainnya dari shahabat Abu Umamah Sahl bin Hunaif رضي الله عنه, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani رحمه الله dalam Shahihul Jami'].
Hal yang disyariatkan pula saat berada di Madinah, yaitu menziarahi tiga pemakaman, yaitu makam Rasulullah ﷺ beserta makam Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al Khaththab رضي الله عنهما (tiga makam ini berada dalam satu kamar), pemakaman Baqi’ dan pemakanan Syuhada’ Uhud.
Untuk melakukan kunjungan ke Masjid Quba’ dan Uhud, biasanya pihak penyelenggara umrah (biro travel) menyediakan sarana transportasi bus. Kunjungan ke kedua tempat tersebut biasanya digabungkan dengan program city tour. Seperti mengunjungi percetakan mushaf Alquran, serta melihat dan berbelanja di Kebun Kurma, sebuah tempat hijau di Kota Madinah.
Adapun menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al Khaththab رضي الله عنهما, atau ziarah ke pemakanan Baqi’ dan mengunjungi Raudhah, bisa dilakukan disela-sela waktu longgar. Misal, setelah melakukan shalat lima waktu di Masjid Nabawi, seseorang bisa langsung berziarah. Kecuali pemakaman Baqi’, biasanya dibuka setelah shalat Shubuh. Berziarah ke pemakaman hanya diperuntukkan kaum laki-laki.
Sedang mengunjungi Raudhah, bagi wanita disediakan waktu-waktu tertentu yang khusus. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, ”Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) dari taman-taman surga.”
Bila jamaah memilih paket perjalanan umrah sembilan hari. Di Madinah, diberi kesempatan tinggal selama tiga hari. Di Makkah empat hari. Sisa dua hari untuk perjalanan pergi-pulang Indonesia-Saudi Arabia. Berbeda dengan paket perjalanan umrah yang lebih dari sembilan hari, tentu akan terasa lebih Ionggar dan lebih banyak waktu untuk beraktifitas ibadah dan Iainnya.
Setelah tiga hari di Madinah, para jamaah bersiap menuju Makkah guna menunaikan umrah. Untuk memudahkan, semenjak di hotel tempat menginap disarankan sudah mandi janabah dan dalam keadaan mengenakan perlengkapan umrah. Adapun melafazhkan, "Labbaik Allahumma ’Umratan”, sebagai wujud seseorang memulai berihram, diucapkan saat di atas kendaraan yang hendak melaju dari tempat miqat.
Perjalanan menuju tempat miqat dari penginapan atau hotel tidak lebih dari setengah jam. Para jamaah akan disinggahkan ke satu masjid yang bertempat di Dzulhulaifah (masyarakat sering menyebut dengan Bir Ali, yang merupakan miqat penduduk Madinah). Di lokasi ini, disediakan tempat mandi dan wudhu. Disunnahkan shalat di tempat yang senyatanya merupakan wadi Al-Aqiq (Iembah Al-Aqiq) yang diberkahi. Kata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya), ”Shalatlah engkau di wadi yang diberkahi ini.” [H.R. Al-Bukhari no.1534].
Perjalanan menuju ke Makkah ditempuh sekira enam jam. Dalam perjalanan hingga menjelang thawaf, talbiyah terus dikumandangkan. Setiba di Makkah Al-Mukarramah, sebelum menuju Masjidil Haram dan menunaikan manasik umrah, diberi kesempatan untuk istirahat sejenak di pemondokan. Tentunya, seraya merapikan barang bawaannya masing-masing ke kamarnya.
Setelah itu, jamaah beranjak menuju Masjidil Haram, di mana Ka’bah ada di dalamnya. Jamaah menunaikan umrah; thawaf mengitari Ka’bah, shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, meminum air zam-zam, lalu mengguyurkan ke atas kepala, lantas menuju ke Bukit Shafa untuk memulai sa’i. Pungkas dari manasik umrah ini dengan tahalul.
Yaitu menggundul bersih rambut di kepala atau memendekkannya. Adapun bagi wanita cukup dengan memotong seluruh ujung rambut sepanjang satu ruas jemari. Jika semua itu sudah dilakukan, selesailah sudah ibadah umrah. Para jamaah pun bisa mengganti pakaian dan beraktivitas seperti biasa. Tinggal memperbanyak ibadah di Masjidil Haram. Bila ada kelapangan rezeki bisa belanja, membeli sesuatu sebagai buah tangan untuk kerabat dan handai taulan di Tanah Air.
Selama empat hari di Kota Makkah, pihak penyelenggara umrah biasanya mengagendakan city tour guna melihat beberapa obyek yang patut dllihat. Di antaranya, jamaah akan diajak keliling kota melihat masy’aril haram di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ketiga tempat itu merupakan tempat-tempat yang dijadikan pusat peribadahan saat menunaikan haji. Dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut, diharapkan mampu membangkitkan semangat untuk berhaji. Kunjungan memupuk rindu. Ya, rindu untuk menunaikan rukun Islam kelima. Sebuah harapan dan cita-cita mulia.
Juga, jamaah akan ditunjukkan Gua Hira yang berada di Jabal Nur. Letak Jabal Nur di sebelah timur Iaut Masjidil Haram, menjorok ke jalan Al-Adi. Karena ketinggian gunung ini mencapai 642 m, tentu jamaah tidak diajak untuk menaiki gunung Nur tersebut. Apalagi masuk ke dalam gua. Hanya sekadar tahu wujud Jabal Nur, di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kali pertama menerima wahyu. Lebih dari itu, tak ada urgensinya secara syariat menziarahi Jabal Nur.
Sama halnya dengan Jabal Nur, saat mengitari kota Makkah akan ditunjukkan pula Jabal Tsur. Di gunung itulah terdapat Gua Tsur. Sebuah gua tempat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq menyembunyikan diri dari kejaran kaum musyrikin Quraisy saat hendak hijrah ke Madinah. Letaknya sebelah selatan Masjidil Haram.
Perjalanan keliling Kota Makkah bisa ditambah rute menuju Hudaibiyah. Karena letak tempat yang sudah berada di luar Kota Makkah, biasanya sang pengemudi bus minta biaya tambahan. Di Hudaibiyah, jamaah bisa mengunjungi peternakan unta yang dikelola orang badui. Di tempat itulah jamaah bisa minum susu unta dan air seni unta.
Dengan mengeluarkan lima hingga sepuluh reyal Saudi, jamaah sudah bisa mencicipi susu unta segar yang langsung diperas dari unta-unta yang ada di situ. Demikian halnya dengan air seni unta. Walau terasa getir, baik untuk pengobatan. Berdasar hadits dari shahabat Anas bin Malik رضي الله عنه, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan orang-orang yang sakit setelah tiba di Madinah untuk mengikuti penggembala unta, lalu mereka (diminta) meminum susu dan air seni unta. Setelah mereka meminum susu dan air seni unta, sehatlah tubuh-tubuh mereka. [H.R. AI Bukhari no 5686].
Melakukan rihlah (perjalanan) yang panjang dengan sarat nilai ibadah, seperti rihlah untuk umrah, jangan menyepelekan masalah teman seiring. Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad حفظه الله bahkan menekankan pentingnya pertemanan saat haji dan umrah. Setelah menjelaskan pentingnya keikhlasan dan mengetahui hukum-hukum terkait manasik, beliau sebutkan pentingnya memilih teman seiring tatkala safar untuk haji dan umrah. Memilih teman dimaksud adalah teman yang bisa memberi faedah dalam ilmu dan adab. [Tabshiru An-Nasik bi Ahkami Al-Manasik, hlm.9].
Hati siapa yang tak merindu untuk menggapai Baitullah?. Ya Allah, berilah kami kekuatan dan kemudahan untuk bisa menggapainya. Amin. Alhamdulillah. Wallahu a’lam.
Sumber Majalah Qudwah Edisi 07
Oleh : Tim Reportase Majalah Qudwah
https://t.me/Majalah_Qudwah
KOMENTAR