Abdullah bin Umar tentang Qodariyah seandainya salah seorang mereka memiliki segunung Uhud emas
TERTOLAK, MESKI BERINFAK SEGUNUNG EMAS
Oleh : Al-Ustadz Abu Falih Yahya حفظه الله تعالى
“Apabila kalian bertemu mereka, katakan bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat Yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang mereka memiliki segunung Uhud emas, kemudian diinfakkannya, Allah sekali-kali tidak akan menerimanya, sampai ia beriman dengan takdir.”
-Abdullah bin Umar رضي الله عنهما-
Tersebutlah, orang pertama yang mengingkari takdir di daerah Bashrah (lrak) adalah Ma'bad Al Juhani. Sebuah keyakinan bid’ah yang sangat berbahaya. Karenanya, Yahya bin Ya’mur bersama rekannya, Humaid bin Abdurrahman Al Himyari, ingin meminta fatwa dari shahabat Nabi ﷺ tentang hal ini.
Mereka pun Ialu menempuh safar ke Makkah. Yahya bin Ya'mur berkisah, bahwa ia dan Humaid bin Abdurrahman Al Himyari pergi berhaji atau umrah. Mereka berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar bisa bertanya tentang keyakinan sesat dalam hal takdir tersebut.
Dengan pertolongan Allah سبحانه وتعالى, mereka pun dipertemukan dengan Abdullah bin Umar bin Al Khaththab رضي الله عنهما, ketika beliau masuk Masjidil Haram. Yahya dan Humaid langsung mengapit beliau, di kanan dan kiri beliau. Yahya membuka pertanyaan, ”Wahai Abu Abdirrahman (Abdullah bin Umar), sesungguhnya di daerah kami, ada orang yang membaca Al Qur’an, mencari ilmu, -Yahya bin Ya’mur menyebutkan keadaan mereka-. Tetapi, mereka meyakini bahwa tidak ada takdir. Segala sesuatu terjadi begitu saja tanpa takdir."
Maka Abdullah bin Umar رضي الله عنهما mengatakan, ”Apabila kalian bertemu mereka, katakan bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat Yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang mereka memiliki segunung Uhud emas, kemudian diinfakkannya, Allah sekali-kali tidak akan menerimanya, sampai ia beriman dengan takdir.'”
Pembaca, kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim رحمه الله dalam Kitab Shahih beliau ini menunjukkan betapa iman dengan takdir adalah pilar keimanan seorang mukmin. Tanpa keimanan kepada rukun iman yang keenam ini, infak seberapun tidak akan di terima. Karena imannya tidak sah.
Di sisi Iain, mempelajari tentang rukun iman ini, iman terhadap takdir, sangat penting bagi setiap muslim. Sehingga ia bisa mengimaninya dengan benar. Coba perhatikan kisah di atas, masa yang relatif masih dekat dengan kenabian saja, sudah ada yang tersesat tentang masalah ini. Padahal, para shahabat masih ada. Juga perhatikan, bagaimana Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman Al Himyari rela menempuh safar yang jauh demi ilmu yang benar tentang takdir.
Pembaca, رحمكم الله, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun sangat besar perhatian beliau tentang masalah ini. Karenanya, Beliau menanamkan prinsip keimanan terhadap takdir ini semenjak dini.
Adalah Abul Abbas Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Beliau adalah saudara sepupu Nabi ﷺ. Beliau termasuk golongan Ahlul Bait. Dalam usia yang masih sangat muda, beliau telah diajari oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang pokok-pokok keimanan terhadap takdir.
Mari kita simak penuturan seorang alim rabbani, Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Beliau berkata, "Pada suatu hari, aku pernah berada di belakang Nabi. Beliau bersabda, ”Wahai anak kecil Sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah hanya kepada-Nya. Jika engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan hanya kepada -Nya.
Ketahuilah, sekiranya umat seluruhnya bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, melainkan apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sekiranya mereka bersatu untuk memberikan mudharat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, melainkan apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.”
Hadits ini diriwayatkkan oleh Al Imam At Tirmidzi رحمه الله dalam Kitab Sunan beliau nomor 2516. Setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata, ”Hadits hasan shahih.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Asy Syaikh AI Albani رحمه الله dalam Shahihul Jami’ nomor 7957.
Wasiat nan agung lagi berharga dari seorang Nabi yang sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya. Terkhusus di sini, Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Sekaligus ini menunjukkan keutamaan beliau. Ya, Allah telah menghimpunkan pada beliau antara keutamaan nasab dengan ilmu. Di usia fajar, beliau telah dipercaya untuk mengemban ilmu ini.
Abdullah bin Abbas, figur teladan dalam hal kesungguhan menuntut ilmu. Sosok ideal dalam hal keluasan ilmu serta pemahaman. Hingga, beliau mendapat gelar pakar tafsir AI Quran, tinta dan Iautan ilmu umat Muhammad ﷺ.
Masa belia beliau dihabiskan dalam thalabul ilmi. Bayangkan saja, ketika Nabi ﷺ wafat, usia beliau baru sekitar 13 tahun. Namun, beliau termasuk salah satu dari tujuh shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi. 1660 hadits telah beliau riwayatkan. Subhanallah❗️
Karena kecakapannya inilah, Nabi ﷺ menyampaikan wasiat agung berisi wejangan berharga. Bermanfaat untuk beliau sendiri, dan umat seluruhnya.
Secara global wasiat tersebut terdiri dari tiga poin penting. Mencakup permasalahan takdir dan akidah secara umum.
1. Wasiat untuk menjaga Allah سبحانه وتعالى.
Menjaga Allah maknanya adalah menjaga batasan-batasan dan syariat-syariat-Nya. Yaitu dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sekiranya terluputkan dari dua hal tersebut, yakni meninggalkan perintah atau melanggar larangan, maka jangan sampai terlewatkan untuk beristighfar dan bertaubat kepada-Nya سبحانه وتعالى.
Siapa yang menjaga Allah seperti ini, niscaya Allah akan menjaganya. Baik dalam urusan dunia maupun akhiratnya. Sebaliknya, siapa yang menelantarkan hak-hak-Nya, maka Allah tidak akan menjaganya. Bahkan, Allah سبحانه وتعالى akan memberikan hukuman karenanya. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
”Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” [Q.S. As Syura: 30].
Musibah ini bisa menimpa jiwa, harta, keluarga, atau perkara dunia lainnya. Yang lebih besar lagi adalah musibah yang menimpa agama. Seperti kelalaian, terhalangi dari ilmu, perpecahan datangnya syubhat, yaitu kerancuan dalam memahami agama, termasuk berbagai bid’ah dalam keyakinan, kerasnya hati, laknat dari Allah, dan sebagainya. Kita berlindung dan memohon keselamatan kepada Allah سبحانه وتعالى darinya.
2. Wasiat berdoa dan meminta pertolongan hanya kepada Allah.
Hal ini dalam urusan-urusan yang tidak dimampui oleh makhluk. Ini adalah perwujudan tauhid yang menjadi hak Allah atas seluruh hamba. Agar mereka menunjukkan ibadah hanya kepada Allah سبحانه وتعالى semata, tanpa menyekutukan dengan selain-Nya. Sehingga, tidak boleh meminta hidayah, ilmu, rezeki, kesembuhan, keselamatan, dan perkara yang hanya dimampui oleh Allah, kepada selain-Nya. Sebab, doa adalah ibadah yang agung. Bahkan merupakan intisari dari ibadah. Nabi ﷺ bersabda yang artinya, ”Doa adalah ibadah.” Selanjutnya beliau membacakan firman Allah سبحانه وتعالى:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
"Dan Rabb kalian berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.” [Q.S. Ghafir: 60]. [H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani رحمه الله dalam Ahkam Al Janaiz hal. 246].
Adapun dalam urusan yang dimampui oleh makhluk, maka boleh seseorang meminta bantuan kepada yang lain. Dengan menganggapnya sebagai sebab, dan tetap menyandarkan hati kepada Allah سبحانه وتعالى.
Namun, selagi seorang mampu melakukannya sendiri, tidak selayaknya ia membiasakan diri meminta bantuan kepada yang lain. Sebab, yang demikian itu termasuk akhlak yang kurang baik.
3. Penetapan takdir dan wasiat agar bertawakal hanya kepada Allah.
Sebab, segala yang diinginkan manusia, baik mendapat kebaikan atau terhindar kejelekan, apa pun itu, bagaimana pun itu, dan siapa pun itu, walaupun seluruh umat bersatu, jin dan manusianya, jika Allah سبحانه وتعالى tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi.
Ini menunjukan bahwa Allah memiliki kehendak yang pasti terlaksana. Tiada yang dapat mencegah dan menghalanginya. Adapun usaha manusia, itu hanya sebatas sebab. Bisa menimbulkan akibat, bisa juga tidak, sejalan dengan takdir yang Allah tetapkan. Karenanya, tidak boleh bagi seorang hamba untuk bersandar kepada dirinya, usahanya, ataupun kepada makhluk yang tidak memiliki kekuasaan apa pun.
Namun, bukan berarti dia diam saja tanpa melakukan usaha. Karena manusia telah di karuniai kehendak dan kemampuan untuk menempuh sebab-sebab yang diizinkan. Banyak ayat Al Qur‘an ataupun hadits nabi yang memerintah untuk melakukan sebab, disertai perintah untuk bertawakal kepada Allah. Di antaranya Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” [Q.S. Ali ‘Imran: 159].
Nabi shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزَنْ
”Bersemangatlah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah petolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه]
Pembaca Qudwah yang dirahmati
Allah, Demikian agung hadits yang sedang kita bahas ini, sehingga banyak pelajaran yang bisa kita gali darinya. Selain pokok akidah dan iman terhadap takdir, masih banyak pelajaran yang Iainnya. Di antaranya:
1. Disyariatkannya pengajaran anak sedari kecil. Sebab, daya tangkap anak kecil itu masih jernih. Pikirannya pun belum bercabang, hingga lebih memungkinkan untuk merekam ilmunya hingga masa dewasa kelak. Karenanya, dikatakan bahwa pengajaran di waktu kecil itu seperti mengukir di atas batu.
2. Penggunaan kalimat yang lembut agar anak dengan senang hati mau menerima pelajaran, bukan dengan terpaksa.
3. Penggunaan kata-kata yang ringkas dan mudah di pahami. Karena penalaran anak tidak seperti orang dewasa.
4. Memberikan pendahuluan yang akan menarik perhatiannya, agar orang yang didakwahi siap menangkap pesan penting yang akan disampaikan.
5. Pemanfaatan momen-momen yang tepat untuk menyampaikan dakwah dan pengajaran.
6. Keutamaan Abdullah bin Abbas, dengan usianya yang masih sangat muda, beliau dipandang pantas oleh Nabi shallallahu alahi wasallam menerima wasiat agung ini.
7. Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu alahi wasallam yang melihat kondisi setiap orang yang diajarinya.
8. Siapa yang menjaga batasan- batasan Allah, maka Allah akan menjaganya. Dan siapa yang
menelantarkannya, maka Allah juga akan menelantarkannya.
9. Siapa yang menjaga batasan-batasan Allah, maka Allah akan membimbingnya pada semua kebaikan. Berdasarkan sabda beliau shallallahu alahi wasallam yang artinya, ”Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”
Dalam hal isti’anah, meminta pertolongan, ada dua tingkatan:
a. Tingkatan wajib yang merupakan tauhid. Yaitu meminta pertolongan kepada Allah dalam urusan yang hanya dimampui oleh Allah.
b. Tingkatan sunnah, yaitu jika memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan urusannya sendiri, maka disunnahkan tidak meminta bantuan kepada orang Iain. Meskipun boleh jika sesekali diperlukan. Berbeda halnya jika hal itu selalu dilakukan, maka hukumnya menjadi makruh.
11. Penetapan adanya takdir. Bahwa semua yang dirasakan hamba, berupa kenikmatan ataupun musibah tidak Iepas dari kehendak Allah.
12. Penje|asan bahwa takdir yang ada dalam Al Lauful Mahfuzh itu tidak akan pernah berubah. Dimana beliau ﷺ bersabda yang artinya, ”Pena-pena telah diangkat dan Iembaran-Iembaran telah mengering.”
13. Wajibnya bertawakal hanya kepada Allah.
14. Manusia bukanlah makhluk yang dipaksa dalam menjalankan aktivitasnya. Sebab, Allah telah membekali dengan kehendak dan kemampuan. Namun, kehendak mereka akan sejalan dan tidak akan keluar dari kehendak Allah. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
”Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [Q.S. At Takwir: 29].
Karenanya, tetap disyariatkan untuk menempuh sebab-sebab atau usaha-usaha yang mubah.
Demikian sebagian nilai agung yang bisa kita uraikan. Di sana, masih banyak pelajaran yang sangat berharga. Memang, sedemikian mulianya hadits ini. Bahkan, Abdurrahman bin Jauzi رحمه الله mengatakan, ”Aku sangat tercengang memperhatikan hadits ini. Hampir-hampir jiwaku melayang (karena wasiat yang luar biasa). Sungguh sangat disayangkan orang yang tidak mengetahui hadits ini, dan orang yang hanya sedikit memahami makna-maknanya.” [Shaidul Khathir].
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber || Majalah Qudwah Edisi 06 | https://t.me/Majalah_Qudwah/1026
KOMENTAR