Kisah Percakapan Abdul Muthalib dan Abrahah tatkala Abrahah Ingin Menghancurkan Ka'bah
ABDUL MUTHTHALIB DAN ABRAHAH
Sejak dahulu, Makkah sudah menjadl pusat keagamaan bagi seluruh bangsa ‘Arab. Kota ini mulai ramai sejak NabI lsma'il dan dititipkan oleh Nabi Ibrahim Al Khalil عليه السلام kepada Allah سبØانه وتعالى di sana. Terlebih lagi sejak ayah dan anak itu mendirikan Baitullah (Ka'bah) sebagai rumah ibadah pertama di muka bumi ini.Setiap tahun, sejak berdirinya Ka’bah, Makkah selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah yang ingin menunaikan haji atau umrah.
Jauh di selatan, di Yaman, salah seorang gubernur Najasyi yang bernama Abrahah, berambisi mengalihkan perhatian orang-orang ’Arab agar tidak lagi berziarah ke Ka’bah yang ada di Makkah. Untuk itu, dia pun membangun sebuah rumah ibadah (gereja) yang sangat megah di kota Shan'a‘ dengan kubah emas di atasnya. Kemudian, Abrahah memerintahkan anggota kerajaannya untuk selalu ke rumah ibadah tersebut.
Namun demikian, sebagian bangsa 'Arab tidak menyukai tindakannya. Bahkan, ada salah seorang dari suku Kinanah sengaja memasukinya, Ialu buang hajat di mihrab gereja itu. Pagi harinya, ketika Abrahah memasuki tempat itu, dia melihat kotoran manusia terserak di mihrab. Kejadian ini membuatnya marah, "Siapa yang berani berbuat seperti ini?”
”Seorang laki-laki keluarga rumah yang diziarahi oleh orang-orang 'Arab itu (Ka’bah)."
”Rumah itu pasti aku hancurkan, agar tidak ada lagi yang berhaji ke sana selama-lamanya.”
Setelah itu dia mengumpulkan pasukannya dan mengirim surat kepada Najasyi meminjam gajahnya. Berangkatlah dia bersama kaumnya dan orang-orang Yaman, seperti Asy’ariyin, Khats’am, dan ’Akka.
Dalam perjalanan, dia mengutus salah seorang Bani Sulaim agar mengajak orang banyak mengunjungi rumah ibadah yang dibangunnya di Shan’a. Laki-laki Bani Sulaim itu disambut oleh salah seorang Bani Kinanah dan dibunuh oleh laki-Iaki suku Kinanah itu.
Berita ini didengar oleh Abrahah sehingga menambah dendam dan kemarahannya. Abrahah segera memerintahkan agar perjalanan dipercepat.
Pasukan Abrahah bergerak melewati Tsaqif. Beberapa pemuka Tsaqif menemui Abrahah dan meminta agar berhala mereka tidak diganggu karena bukan tujuan Abrahah dan pasukannya. Abrahah menyanggupi dan meminta penunjuk jalan dari mereka agar membawanya ke Makkah.
Penduduk Tsaqif menyuruh Nufail, salah seorang bani Hudzail, Ialu membawanya berhenti di Mughammas, enam mil dari Makkah. Abrahah mengirim beberapa pasukan pelopor ke Makkah. Pasukan tersebut merampas ternak milik Quraisy, dua ratus di antaranya adalah milik ’Abdul Muththalib.
Pada mulanya, penduduk Makkah berniat melakukan perlawanan. Tetapi, setelah melihat pasukan Abrahah, mereka mengurungkan niatnya karena tidak mungkin sanggup melawan pasukan itu. Akhirnya, penduduk Makkah menyingkir ke luar kota menyelamatkan diri, bersembunyi di balik bukit-bukit.
Tidak ada yang tertinggal di Makkah selain 'Abdul Muththalib dan Syaibah bin 'Utsman bin 'Abdiddar. ‘Abdul Muththalib ketika itu mengurus minuman bagi jama'ah haji, sedangkan Syaibah bertugas dalam hijab Baitullah.
'Abdul Muththalib segera menuju Ka'bah dan memegang kusen pintu Ka’bah sambil berdoa, "Ya Allah, setiap orang membela rumahnya. Maka belalah rumah-Mu.”
Ketika mendengar dua ratus ekor untanya dirampas pasukan Abrahah, 'Abdul Muththalib pun mendatangi kemah pasukan tersebut. Seorang pengawal dari Asy’ariyin mengenalnya lalu memintakan izin kepada Abrahah.
Abrahah mengizinkan ’Abdul Muththalib masuk lalu duduk di atas tanah bersama 'Abdul Muththalib dan bertanya, ”Apa keperluan Anda?”
”Saya ke sini hanya ingin meminta dua ratus ekor unta milik saya yang kalian rampas."
Abrahah terkejut dan heran. Katanya, ”Demi Allah, tadinya saya mengagumi Anda. Tetapi, mendengar ucapan Anda ini, saya tidak lagi memerlukan Anda."
”Mengapa?" Tanya 'Abdul Muththalib.
”Saya datang ke sini untuk menghancurkan Ka’bah, yang merupakan kebanggaan kalian, agama dan kemuliaan kalian. Saya juga merampas dua ratus ekor untamu dan menanyakan apa keperluanmu.
Tetapi, ternyata engkau hanya membicarakan urusan unta. Bukan kepentingan rumah (Ka'bah) ini.”
"Tuan. Unta-unta itu memang sayalah pemiliknya. Adapun Ka’bah, rumah itu ada pemilik dan penguasanya sendiri. Pemilik dan Penguasanya itulah yang akan membela dan mempertahankan rumah-Nya. ltu bukan urusan Saya.”
Mendengar jawaban ’Abdul Muththalib ini, Abrahah terdiam. Tetapi dia memerintahkan prajuritnya agar menyerahkan dua ratus ekor unta itu kepada ’Abdul Muththalib. Setelah itu ’Abdul Muththalib kembali ke Makkah.
Tidak lama, pasukan bergajah itu hancur luluh dilempari batu yang dikirim oleh Allah Ta'ala, sebagaimana akan dikisahkan pada bagian lain.
'Abdul Muththalib meninggal dunia ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berusia delapan tahun. Sebelum mati, 'Abdul Muththalib berwasiat kepada Abu Thalib agar bersungguh-sungguh memelihara dan merawat putra saudaranya yang yatim itu, Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
والله أعلم.
Catatan Kaki:
1) Lihat Sirah Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Hisyam, dan Dalailun Nubuwah Al Baihaqi (1/9395).
Sumber Majalah Qudwah Edisi 05
KOMENTAR