Kisah Qatadah bin Diamah As Sadusi, ulama yang buta namun bisa jadi ulama besar.
Cahaya dalam Kegelapan
Cacat Bukan Penghalang Untuk Berilmu dan Beramal |
Anggota tubuh yang kita miliki adalah nikmat yang besar dari Allah subhanahu wa taala. Semua orang pasti suka memiliki tubuh yang sempurna. Itulah dambaan setiap insan. Namun tidak semua mendapatkan apa yang didambakan. Di antara mereka ada yang memiliki kesempurnaan tubuh. Semua berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak ada satupun yang cacat. Anugerah yang sangat berharga dan kenikmatan yang besar.
Di antara mereka ada yang Allah uji pada salah satu dari bagian tubuhnya. Entah pendengarannya tidak berfungsi alias tuli. Kaki dan tangan tidak sempurna alias buntung. Bahkan pandangan yang tidak berfungsi alias buta. Itulah ragam dan macam-macam ciptaan Allah.
Bagi mereka yang memiliki kesempurnaan tubuh hendaknya memperbanyak rasa syukur kepada Allah dan menjadikannya sebagai sarana untuk semakin dekat dengan Allah subhanahu wa taala. Bisa jadi ketika dia tidak mau berterima kasih dan bersyukur atas kesempurnaan yang dia miliki, Allah dengan mudah akan mencabut kenikmatan tersebut dalam sekejap. Satu organ saja yang hilang fungsi dan kegunaannya akan goyah keseimbangan tubuhnya.
Bagi mereka yang tidak memiliki kesempurnaan tubuh. Ada cacat pada salah satu organnya. Hendaknya dia bersabar atas ujian itu. Hendaknya dia yakin apa yang Allah berikan itulah yang terbaik dan terindah, suka atau tidak.
Kalau kita memperhatikan dengan pikiran yang penuh rasa syukur, kita akan dapati sebagian manusia yang tidak memiliki kesempurnaan tubuh Allah gantikan yang hilang dengan yang lebih baik. Bahkan bisa jadi kelebihan itu tidak dimiliki oleh orang-orang yang normal sekalipun. Hanya saja sering kali seorang itu tenggelam pada kekurangan dirinya yang membuat dia lupa akan kesempurnaan dan kelebihan yang Allah anugerahkan kepadanya.
Terlepas dari itu semua hendaknya kita banyak bersyukur kepada Allah atas apa yang Allah anugerahkan kepada kita apapun itu. Karena semua yang Allah beri pasti sangat cocok bagi kita dan sesuai.
Sebagai pelajaran untuk kita semua, perlu kiranya kita memutar waktu sejenak melihat sebagian pendahulu kita. Mereka memiliki keterbatasan fisik dan kekurangan pada salah satu organ tubuhnya. Tapi subhaanallah, Allah gantikan kekurangan mereka dengan kesempurnaan yang sangat menakjubkan. Membuat orang-orang yang normal terbelalak dan terheran-heran. Membuat yang normal merasa iri akan kelebihan tersebut.
Banyak contoh yang bisa kita ambil pelajaran darinya, kekurangan dan keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk menggapai kesempurnaan di sisi Allah. Semua kembali kepada tekad dan keikhlasan kita, yassarallaahu umuuranaa jamii’a (semoga Allah mudahkan semua urusan kita).
Pada tahun keenam puluh hijriyah tepatnya pada generasi tabi’in, generasi terbaik kedua umat ini. Lahirlah seorang anak laki-laki. Dia diberi nama Qatadah. Putra dari seorang ayah yang bernama Di’aamah dari kabilah Sadus. Sadus adalah kabilah besar dan banyak sekali ulama yang berasal dari kabilah ini. Namun, Allah menetapkan beliau terlahir dalam kondisi buta tidak bisa melihat. Nasalullah lanaa wa lakum al ‘aafiyah.
Baca juga : Biografi Qatadah bin Diamah As Sadusi
Beliau tumbuh dengan kondisi seperti itu. Namun kebutaan mata bukan berarti kebutaan hati dan pikiran. Kekurangan itu justru membuat beliau lebih giat dalam mempelajari ilmu dan menghafal ilmu. Apalagi beliau lahir dari kabilah yang sangat banyak melahirkan ulama-ulama besar. Darah penuntut ilmu sudah mengalir dalam diri beliau.
Beliau mendatangi majelis-majelis ilmu tanpa malu dan ragu. Bahkan beliau berguru dengan para ulama terkemuka di masa itu. Seperti Sa’id bin Al Musayyab rahimahullah menantu shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sekaligus tokohnya para tabi’in. Bahkan, shahabat yang mulia Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang mendapatkan doa keberkahan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk di antara daftar guru-guru beliau masyaAllah. Tidak heran bila murid-murid beliau adalah orang-orang besar di masanya dan dijadikan rujukan umat. Seperti Imam Ayyub As Sikhtiyani, Imam Syu’bah bin Al Hajjaj, dan masih banyak lagi.
Imam Ma’mar rahimahullah pernah menukil pengakuan dari Qatadah rahimahullah sendiri, bagaimanakah kekuatan hafalan yang beliau miliki. Beliau berkata, “Tidaklah aku mendengarkan sesuatu melainkan aku langsung menghafalnya.”
Beliau juga pernah berkata, “Mengulang-ulang hadis dalam satu majelis, bisa memudarkan cahayanya. Aku tidak pernah berkata kepada siapapun yang membacakan hadis kepadaku, ‘Ulangi lagi!’” Beliau pernah pula berkata kpeada Imam Sa’id bin Al Musayyab salah satu guru beliau, “Wahai Abu Nadhr, ambillah mushaf!” Imam Sa’id mengambilnya. Kemudian Qatadah menyetorkan hafalan surat Al Baqarah dari awal hingga akhir. Tidak ada satupun huruf yang salah.
Qatadah rahimahullah berguru dengan Imam Sa’id bin Al Musayyab rahimahullah selama delapan hari. Pada hari yang ketiga Imam Sa’id berkata kepada Qatadah, “Pindahlah engkau wahai si buta ke tempat yang lain. Sungguh engkau telah menguras semua ilmuku.”
Kekuatan hafalan yang ada pada beliau tidak membuat beliau sombong. Tidak segan bila ada yang bertanya tentang sebuah permasalahan dan beliau tidak memiliki ilmunya beliau berkata, “Aku tidak tahu.” Berkata Abu Hilal, “Aku bertanya kepada Qatadah tentang sebuah permasalahan, namun beliau menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Akupun mendesaknya sambil berkata, “Jawablah dengan akalmu! Beliau berkata, ‘Sudah empat puluh tahun aku tidak berkata tanpa ilmu.” Ketika itu beliau berusia lima puluh tahun. Imam Dzahabi berkata, “Menunjukkan beliau tidak pernah berkata dalam urusan agama tanpa ilmu sama sekali.”
Dan beliau tetap belajar dan terus belajar. Meskipun tidak diragukan lagi kekuatan hafalan dan luasnya ilmu beliau. Berkata Mathar Al Warraq, “Qatadah selalu belajar dan terus belajar hingga beliau meninggal.” Beliau pernah memberi petuah tentang keutamaan menghafal ilmu dengan tujuan kebaikan, beliau berkata, “Seseorang menghafal satu bab ilmu untuk kebaikan dirinya dan kebaikan keturunannya, lebih baik daripada ibadah (sunnah.pen) satu tahun.”
Beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah yang taat. Berkata Salaam bin Abi Muthi’, “Qatadah mengkhatamkan Al Quran setiap tujuh hari. Bila datang waktu Ramadhan beliau mengkhatamkannya setiap tiga hari. Bila tiba sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya setiap malam.” MasyaAllah, demikianlah ketangguhan beliau dalam hal ibadah dan ilmu di samping kekurangan fisik yang ada pada beliau. Namun, kekurangan itu tertutupi dengan kemuliaan ilmu dan cahayanya.
Maka sepantasnya bagi kita yang dianugerahi oleh Allah kesempurnaan fisik untuk lebih giat dalam menuntut ilmu, menghafal, dan mendakwahkannya. Semoga Allah memberikan kita semua keteguhan dan keistiqamahan.
Beliau wafat pada tahun 117 H ada yang mengatakan tahun 118 H, Rahimahullah wa ghafara lah. Disadur dari kitab Siyar A’laamun Nubala’ karya Al Hafidh Adz Dzahabi rahimahullah.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 71 vol.06 1440 H rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Amr As Sidawy.
http://ismailibnuisa.blogspot.com/2019/08/cahaya-dalam-kegelapan.html
KOMENTAR