Kisah menemukan pondok / ma'had salafy yang penuh perjuangan dan air mata.
Mutiara Baik Sangka
Kisah : Perjalanan Menemukan Pondok Salafy |
"Jika Allah telah menentukan bahwa kita akan mendapatkan suatu nikmat, maka pastilah nikmat itu sampai di tangan kita walau aral rintangan berusaha menghalanginya."
"Kalau mbak mau jadi dosen, emang gak takut kalau terjadi ikhtilat? Ngumpul sana ngumpul sini, rapatlah... inilah... itulah..., emang mbak bisa menjaganya?? Di luar itu liar loh," kurang lebih seperti itulah paparan pamanku yang mengetahui besarnya cita-citaku saat itu. Paman adalah orang yang saat itu paling dekat dengan dakwah salaf di keluarga kami.
Aku anak bungsu dari dua bersaudara, aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan dan sarat akan ilmu agama, alhamdulillah. Kakakku yang saat itu sedang mondok di salah satu pondok salafy di daerah tempat tinggal kami, membuat kami pelan-pelan 'ikut-ikutan' pergi taklim sambil menjenguk kakak di pondok. Itu semua karena paman yang ambil alih masalah pendidikan kakakku.
Ketika tamat dari sekolah dasar (SD) aku dimasukkan ke pondok pesantren berbasis modern oleh ummi. Segala kemaksiatan menjadi kebiasaan setiap harinya. Walaupun ummi selalu menasehati untuk tidak macam-macam. Namun apa daya, saat nafsu mengalahkan dangkalnya iman. Bersama teman-teman melanggar peraturan, hafalan hancur, akhlak tercela, tidak adanya adab, itulah aku. Aku habiskan waktuku dengan itu semua selama hampir dua setengah tahun disana.
Ketika menginjakkan kaki di rumah, diriku bagaikan manusia "bertopeng" yang berusaha menutupi identitas diri yang sebenarnya. Pura-pura baik, anak 'alim, shalihah, beradab baik, padahal semuanya nol. Mungkin itu semua karena pergaulan yang tak terbimbing di atas sunnah.
Ketika tahun pembelajaran ke 2, tepatnya saat aku kelas 2 MTs di semester 2, ibu memintaku untuk pulang tiap pekan pertama. Kata ibu agar aku terbiasa mendengarkan ceramah-ceramah ustadz walaupun hanya sepekan sekali. Tiba suatu ketika, saat kesempatan taklimku yang entah keberapa, hati ini mulai luluh, hidayah itu mulai terasa.
Ceramah yang menenangkan hati, santri-santri yang hidup zuhud, ukhuwah jamaah yang begitu hangat, menjadi harapan hadirnya aku diantara mereka. Sehingga tumbuhlah rasa cinta ini kepada dakwah salaf, dan ingin rasanya thalabul 'ilmi bersama dengan santri-santri dari segala penjuru pencari ridha.
Mencari kecintaan rabbul'alamin sembari menjalin ukhuwah. Maka semakin kuatlah niat ini untuk meraihnya. Kubulatkan tekad, kukuatkan niat seperti baja, kuberanikan diri untuk mengutarakan semua rasa yang tersimpan di kalbu ini.
Saat itu masih di ruang taklim, "Mi..., aku ingin pindah pondok, ke pondok ini bareng mbak," bujukku kepada ummi. Ummi terdiam menatap mataku yang penuh harap.
"Tanya abimu nak!" Kalimat itu bagaikan cobaan bagiku, yang aku tahu abi pasti tidak mengizinkan, karena abi ingin aku terus berjalan bersama cita-citaku yang akan mendunia itu yakni menjadi dosen. (Semoga Allah memberi abi kebaikan).
Namun aku teringat kalimat ini "Setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang diciptakan baginya." Kudapat potongan makna hadis itu saat kunjungan taklimku yang keempat.
Atas dasar itulah aku pun memberanikan diri menghampiri Abi yang sedang membaca majalah di ruang tengah, "Bi, aku mau pindah pondok ke tempat mbak. Udah gak mau lagi di luar, pengen jalani hidup zuhud, supaya aku bisa bawa abi ke surga," kalimat itu seperti permohonan anak kecil. Tiba-tiba... "Adek bener mau mondok dengan mbak? Mmm, kalau bener niat adek kuat... selesaikan dulu sampai kelas tiga MTs, setelahnya baru pindah!" Duh, betapa bahagianya hati ini mendengarnya.
Maka kulalui hari-hariku setelah itu dengan berharap kepada Allah agar mempercepat perputarannya. Beberapa bulan setelah itu, saat pagi menghampiri, hancur harapan yang aku simpan selama berbulan-bulan. Aku mendengar bahwa pondok kakakku menyimpang. Kabar yang membuat hati sangat kecewa. Tapi aku percaya, inilah cara Allah agar aku semakin menguatkan niatku untuk berjalan di atas manhaj salaf. Hanya doa dan ikhtiar itu tak pernah lengah dariku.
Kakakku pun akhirnya pulang dan mengakhiri thalabul ilminya [semoga Allah memberikan nya kebaikan]. Setelah kejadian itu, dibangunlah sebuah bangunan sederhana dan masjid di dekat rumahku untuk kembali menjalani ukhuwah dakwah salaf di kotaku. Walau tidak besar, namun setidaknya cukup untuk ummahat dan ikhwan-ikhwan yang datang dari segala penjuru kota. Jarak tempuh kami untuk taklim semakin dekat hanya memakan waktu 3 menit dari rumah.
Waktu pun berjalan saat aku duduk di kelas 3 MTs, niatan ini semakin kuat. Kali ini dengan tidak banyak basa-basi kuutarakan niat itu lagi kepada kedua orangtuaku. Kebetulan saat itu di kota tetangga ada pondok salafy yang baru di buka, aku mendapatkan kabar itu dari pamanku. Maka kuberanikan untuk mengutarakan niatku di hadapan mereka.
"Mi... Abi... inget nggak kalau dulu adek ingin mondok di pondok salafy. Kali ini niat ini udah kuat. Aku pengen menuntut ilmu di kota Tanjung, ingin menghabiskan waktu yang tersisa." Setelah selesai aku berbicara ayah menjawab, "Tanjung itu jauh dek, jarak tempuh abi kesana akan semakin sulit, terlebih lagi sekarang jadwal abi kerja semakin padat, anak abi itu ya cuma dua, kalau dua-duanya mondok siapa yang nemani umi? Dan abi gak bisa jauh-jauh dari adek...!"
Kalimat itu seakan permohonan abi untuk aku mengurungkan niatku saja. Duh betapa kecewanya, tapi aku sadar tak mungkin bagiku untuk mencapai kesana, jikalau rida orangtuaku tak beriringan dengan niatku.
Waktu aktif sekolah tinggal 5 hari lagi, saat itu umi mendaftarkanku di pondok tahfidz di kotaku yang aku ketahui itu adalah pondok Turotsi. Namun Allah tidak menakdirkanku untuk menuntut ilmu di pondok tersebut. Aku tidak lulus test sampai ke 4 kalinya. Namun umi tidak berputus asa. Waktu singkat itu di manfaatkan umi keliling kota untuk mencari brosur pondok tahfidz, yang pastinya jaraknya tidak jauh dari rumah.Alhasil salah seorang teman umi menawarkan pondok baru yang membutuhkan banyak santri. Tidak ada pilihan lagi "batinku" selain mengikuti perintah umi.
Sabtu 15 Juli 2017 aku, umi, dan abi menuju pondok itu untuk mengisi formulir pendaftaran, dan semua berjalan mulus. Rencana apa lagi yang Allah tetapkan? Batinku saat itu. Aku hanya berharap Allah memberiku jalan keluar.
Sepulang darisana umi langsung mempersiapkan semua perlengkapanku untuk mondok. Namun, tiba-tiba paman datang dengan seribu pertanyaan untuk umi, "si bungsu mau di pondokkan dimana kak? Pondok salafy kan? Ustadz siapa?" Perasaan takut menggeluti hati paman. Umi hanya terdiam, tak tahu apa yang harus dijawab. "Kayaknya pondok tahfidz biasa," sambung ayah dari ruang tengah. Perkataan paman berputar-putar di pikiranku dan aku berharap saat itu Allah memberi jawaban yang tepat.
Ahad 16 juli 2017, kujalani hari pertama di sebuah pondok sederhana. Aku masih saja percaya bahwa Allah akan mengabulkan harapan-harapan ku. Di pondok yang baru ini, santri baru dikenai masa karantina selama 40 hari. Sepekan masa karantina kutemui kejanggalan-kejanggalan. Kuvonis pondok itu dengan pondok tabligh. Teman-temanku selalu memakan makanan bekas ustadzahnya yang tidak layak untuk dimakan. Berjalan dengan berlutut seakan semacam budak di hadapan majikannya.
Dan banyak lagi keanehan-keanehan yang aku rasakan terutama dalam masalah akidah. Syariat macam apa ini (batinku berkata) mereka terlalu ghuluw kepada guru-gurunya. Semakin lama semakin hati ini risau. Dan akhirnya aku beraninya diri menulis sepucuk surat untuk umi yang berisi tentang penyimpangan-penyimpangan mereka. Tak terasa tulisanku telah menghabiskan 4 lembar kertas.
Namun qadarullah usahaku tidak berjalan mulus. Suratku di ketahui seniorku, padahal surat itu aku letakkan di atas lemari di dalam Al Quran. "Rencana apa lagi ini yang Allah tetapkan untukku?" Batinku.
Setelah mengetahui isi surat itu, mereka pun marah besar, serasa itu adalah hinaan bagi mereka. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku bagaikan seekor kelinci di tengah-tengah serigala-serigala yang siap memangsa.
Allahu musta'an. Batinku tak karuan, aku tak sanggup membendung air mata ini sehingga mengalir begitu derasnya. Namun, alhamdulillah Allah kemudian menolongku. Mudhirahku memvonisku sebagai orang awam yang baru merasakan sunnah. Sedangkan ustadzah-ustadzahku yang lain memvonisku sebagai salafy. Hingga beberapa hari setelah kejadian itu aku dipanggil lagi oleh salah seorang ustadzahku. Beliau mengajukan beberapa pertanyaan.
Bohong jalur itulah yang aku lakukan untuk menutupi identitasku. Akhirnya kulalui hari-hariku selama masa karantina dengan terasing di antara mereka, dan hampir-hampir hati ini goyah. Tiba saat 18 Agustus pihak pondok mengizinkan untuk menelpon orangtua, melepas rindu karena lama tak bersua. Rencana Allah tak bisa kuduga, alhamdulillah bini'matihi tatimmushalihaat. Aku mendapat telpon dari umiku, dan beliau berkata; "Lusa umi datang, mau lihat adek, perasaan umi gak tenang!!!" Perasaan bahagia seketika itu mengalir di setiap persendianku menghadirkan senyum yang sempat memudar satu pekan.
20 Agustus, pagi itu awan mendung namun kedatangan umi dan abi tetap menjadi harapan. Tak lama kemudian aku mendengar temanku menyebutkan namaku dari balik pintu tirai, pemberitahuan bahwa ada yang datang. Dan aku sudah menduga sosok itu pasti umi. Benar dugaanku. Aku pun langsung mendatangi umi dan memeluk tubuh umi dengan penuh kerinduan karena selama 40 hari tak bersua dengan beliau. Dan bisa dibilang aku anak kesayangannya.
Pagi itu penuh dengan tangis melepas rindu. Tanpa panjang lebar cerita, umi berkata kepadaku, "Adek siap kalau umi kirim ke Tanjung?" Kalimat itu bagaikan kejutan dan kalimat tersebut adalah kalimat yang selalu aku nanti-nantikan sebelumnya. Betapa hatiku berbunga-bunga tak tergambarkan. Saat itu juga umi langsung memerintahkan untuk berkemas-kemas barang sembari umi mengurus surat pindah.
Setelah beberapa hari di rumah pamanku, ia berusaha untuk memasukkanku di pondok salafy di kota tetangga yang aku impi-impikan. Kali ini paman yang ambil alih pendidikanku. Sampai paman mengajukan permohonan kepada ustadz pondok itu untuk membukakan satu pendaftaran lagi untukku. Alhamdulillah, jalanku dipermudah. Aku percaya kalau ini adalah rencana dari rencana-rencana Allah yang tidak aku ketahui.
Allah telah menyadarkan umi dan abi dengan cara hikmah-Nya. Inilah jalan yang telah Allah tetapkan. Allah kenalkan aku dengan Turotsi, kemudian Allah kirimkan aku ke Jama'ah Tabligh, kemudian Allah menghadiahkan kepadaku tempat yang manis ukhuwahnya bagai berada di taman-taman surga. Agar Allah tumbuhkan rasa cinta ini semakin kuat dan yakin untuk thalabul ilmi diatas jalan yang lurus bersama ahlussunnah wal jama'ah.
Wahai saudaraku, husnuzhan (berbaik sangka) lah dengan apa yang telah Allah tetapkan. Ada hikmah di balik semua peristiwa sekalipun hanya jarum yang patah. Kisah ini aku rangkai untuk kita saling berbagi hikmah dari perjalanan hidupku, dan percayalah saudariku dengan firman-Nya, "wa man yattaqillaha yaj'al lahu makhrajaa." (dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kepadanya jalan keluar). Maka tetaplah berbaik sangka dengan takdir-takdir yang telah Allah tetapkan dan percayalah Allah bersama prasangka hamba-Nya. Telah kuraih mutiara baik sangka itu. Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimush shalihaat.
Sumber : Majalah Qudwah Edisi 60 Vol 06 1439 H | Rubrik Kisahku
KOMENTAR