Kisah seseorang yang memiliki ibu yang terkena penyakit kanker payudara.
"Terimakasih Telah Mengembalikan Ibuku"
Dulu, aku tak mengerti kasih sayang ibuku. Kasih sayang itu
aku rasakan di setiap nada bicara Ibu sebagai bentuk kecerewetan. Tapi itulah
ibuku. Kini aku tahu, ibu selalu mengajarkan kami kemandirian dan segera adalah
melakukan segala sesuatu. Kesannya, Ibu terkadang terburu-buru dalam
mengerjakan sesuatu hal. Hal ini mungkin karena Ibu ingin cepat segera
menyelesaikannya.
Ibu...
Dialah wanita perkasa dalam hidupku. Segala hal, berusaha
beliau lakukan sendiri untuk keluarga ini. Apapun beliau lakukan demi melihat
aku, kakak, dan adikku tersenyum. Dari kecil sampai dewasa, kasih sayang ibu
selalu mengiringi langkah hidupku.
Ibu orangnya kuat. Sakit-sakit yang pernah dideritanya selama
ini seperti demam, atau yang lainnya, tak pernah Ibu rasakan sebagai suatu
penyakit berat yang dapat menghambat pekerjaan beliau sebagai ibu rumah tangga
sekaligus guru.
Aku teringat pada peristiwa besar yang mengguncang langkah
hidupku tahun 2011 lalu. Ini mungkin ujian untuk kami, untuk keluargaku. Karena
sejatinya Allah tak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan kesulitan.
Berawal dari pernikahan kakakku di bulan maret 2010. Di
tengah acara pernikahan kakakku, muka ibu pucat dan tubuhnya lemas. Berkali-kali
bapak tanyakan tentang keadaan ibu. Tapi ibu selalu menjawab, "Nggak
apa-apa Pak, mungkin kecapekan."
Mendengar jawaban dari Ibu, bapak agak sedikit tenang meskipun
mungkin dalam hatinya ada rasa khawatir tentang keadaan ibu. Kebahagiaan datang
kepada keluarga kami lagi, dengan diberikan bayi mungil yang lahir dari rahim
kakakku pada tanggal 25 November 2010. Senang, karena nanti aku akan di panggil
'Ammah'. Panggilan bahasa Arab yang artinya "Tante".
Mungkin ini yang Allah maukan dari kita. Di sela-sela
kebahagiaan yang di berikan-Nya, Allah memberikan ujian di tengah-tengah
kelurgaku. Di antara hikmahnya, Allah mengingatkan hamba-Nya agar tidak lupa
dengan nikmat-nikmat yang di rasakannya.
Tepat tanggal 23 November 2010, ibu merasakan sakit yang
luar biasa. Tapi ibu menahan rasa sakit itu, demi kakakku yang pada saat itu
mengalamai proses melahirkan. Barulah menginjak bulan Desember 2010, bapak memaksa
ibu untuk periksa di rumah sakit Surabaya.
Hasilnya mengejutkan. Ibu mengidap tumor ganas. Kanker ibu sudah
mencapai stadium 4, kata dokter. Bak tersambar petir, hatiku langsung panas mendengar
berita itu. Air mata juga langsung mengucur deras di pipiku ketika kakakku
menceritakan hal ini melalui telepon.
Selang beberapa waktu, dokter mengatakan pertumbuhan kanker
ibu yang semakin merajalela di dalam tubuh ibu, yang membuat ibu harus mejalankan
sekian terapi yang dia anjurkan oleh dokter.
Kanker itu berada di dekat payudara ibuku. Ukurannya
kira-kira sebesar telur ayam.
Benjolan itu keras. Ngeri. Aku sampai tidak tega saat
memegang benjolan itu. Aku hanya ingin ibu sembuh dari penyakit itu. Penyakit
yang mengerikan yang selalu membuat orang takut mendengarnya. Penyakit yang
telah mengakibatkan sekian banyak orang meninggal dunia. Membuat aku tak
berdaya dengan semua itu.
Kuat! Kuat! Aku harus bisa kuat! Aku harus bisa menguatkan Ibuku.
Aku harus ada disisi ibu. Ibu butuh dukungan kami semua. Kami akan selalu
menemani Ibu. Berkali-kali aku panjatkan doa sambil menangis, "Ya Allah,
jangan panggil Ibuku sekarang, aku masih butuh Ibu. Aku butuh Ibu sebagai
penguat langkah hidupku. Aku butuh Ibu, karena aku ingin belajar memasak,
menjahit, dan lainnya. Jangan ambil Ibuku Ya Allah. Aku belum sempat membalas
kebaikan yang telah dilakukannya."
Hampir setiap langkah aku selalu mengurai air mata saat tahu
ibu yang selama ini sering aku bantah perintahnya terkena penyakit kanker. Ibu
yang panggilannya sering aku abaikan saat dia membutuhkan, kini rapuh tidak
berdaya di kasur. Ibu yang selalu berkata dengan nada yang tinggi untuk membangunkan
aku pada pagi hari, kini tak terdengar lagi suaranya.
Sepi tanpa Ibu, aku rasakan penuh kehampaan di rumah selama
tahun 2011. Bapak yang menggantikan pekerjaan ibu, selama ibu menjalankan paket
terapi dari dokter itu. Paket terapi dari dokter tersebut berisi 6 kali
kemoterapi dan 1 kali operasi.
Kemoterapi? Aku tidak tahu istilah asing dalam kedokteran
itu. Apa yang akan dilakukan dokter untuk mematikan kanker yang ada di dalam
tubuh ibu? Apa? Ternyata, kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk
membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel kanker.
Terapi ini diperlukan untuk memperlambat perluasan sel
kanker. Sel kanker adalah sel hidup. Sel ini dapat meluas ke bagian tubuh
lainnya. Karena itu, sel kanker ini harus segera dibunuh. Sebelum menjalani enam
kali kemoterapi, ibu harus menjalani scan di semua bagian-bagian yang ada dalam
tubuh Ibuku; jantung, hati, dan paru-paru.
Awal pemeriksaan, hasilnya tidak baik. Dokter mengatakan
bahwa kemungkinan Ibuku bertahan hidup hanya 4 bulan, kemungkinan hidup tinggal
40%. Banyak kerusakan yang terjadi dalam organ-organ vital Ibu. Hati ibu sudah
ditumbuhi sel kanker. Jantung Ibu sudah berwarna kuning. Ibu harus segera
melakukan perawatan secepatnya.
Kemoterapi-kemoterapi yang dijalani Ibuku selama tahun 2011,
membuat aku merasa kasihan dengan keadaan fisiknya. Kepala yang sudah mulai
menggundul, alis mata yang rontok, dan tubuh yang kurus membuat tak sampai hati
aku melihat itu semua.
Tapi itu semua memang merupakan efek samping dari kemoterapi.
Kemoterapi tidak hanya membunuh sel-sel kanker yang jahat saja, namun beberapa
sel baik yang cepat membelah juga ikut terbunuh. Karena itu, orang yang
menjalani kemoterapi akan mengalami kerontokan rambut, sariawan, serta
muntah-muntah.
Meski demikian, kemoterapi merupakan cara yang paling
efektif -sementara ini- digunakan untuk menyembuhkan kanker. Di sela-sela kemoterapi,
bapak juga selalu membantu proses pemulihan ibu dengan membuat jus sehat (jambu,
wortel, apel, tomat), rebusan daun sirsak, susu, dan makanan yang harus dimakan
Ibu setiap harinya.
Kuat! Kuat! Itu yang aku katakan dalam hatiku. Selalu aku
panjatkan doa kepada Allah untuk meminta kesembuhan ibuku yang berujung dengan
tangisan deras yang mengguyur pipiku. Ya Allah, sembuhkan sakit ibuku. Aku
tidak peduli dengan kata-kata dokter itu. Aku hanya percaya dengan ketentuan
Allah saja. Karena manusia hanya bisa berikhtiar semaksimal mungkin, tetapi
Allah yang menentukan segalanya.
Sampai pada kemoterapi yang ke-6. Alhamdulillah, organ-organ
vital ibu semakin membaik secara perlahan. Kondisi jantung, hati, dan paru-paru
ibu membaik sejalannya waktu. Setelah menjalani kemoterapi, Ibu menjalani
operasi pengangkatan kanker. Operasi yang dilakukan selama 10 jam, membuat aku
merasa takut kehilangan Ibu.
Alhamdulillah, ketika pintu kamar operasi itu dibuka, aku, adik
dan bapak langsung lari mendekat kearah ibu. "Ibu..." teriakku kencang
bersamaan dengan kasur ibu yang dibawa keluar dari kamar oleh beberapa perawat.
Terima kasih Ya Rabb.. Terima kasih.
Wajah tenang dan senyuman dari ibu membuat aku banyak
bersyukur kepada Allah atas apa yang Allah berikan dibalik ujian-Nya. Sungguh
terasa indah. Dari hari ke hari berikutnya Ibu semakin membaik hingga hari ini.
Rambut ibu sudah mulai tumbuh dan tubuhnya sudah tidak kurus lagi.
Mungkin Allah mengingatkanku karena aku sering membantah
perintah ibu. Mungkin Allah mengingatkan agar aku senantiasa mengingat nikmat
Allah dalam setiap hari-hariku. Dan kini, Allah berikan kepadaku kesempatan
lagi agar aku bisa berbuat baik kepada Ibuku.
Karena itu pembaca, jagalah orang tua kalian sebelum nikmat
itu pergi dari kalian. Sungguh, kita akan merasa sangat menyesal saat nikmat
itu telah hilang. Jangan tunggu penyesalan. Mulailah berbakti kepada orang tua.
Terima kasih ya Rabb, terima kasih karena Engkau telah
mengembalikan kesehatan Ibuku. Terima kasih telah mengembalikan ibu untuk kami,
aku, adik dan kakakku.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 19 | vol 02 | tahun 2014 | hal.
103
KOMENTAR