Doa si Tukang Sepatu yang diusir. Ia berdoa dengan doa mustajab. Maka jangan remehkan !
Doa si Tukang Sepatu
Oleh : Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah
Ada di antara hamba-hamba Allah yang penampilannya sangat sederhana, tidak dikenal oleh manusia dan bahkan dipandang sebelah mata oleh mereka. Namun siapa sangka dia mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia disisi Allah. Namanya begitu menggelegar di kalangan penduduk langit dan doanya sangat mustajab. Ini mengingatkan kita kepada sabda Nabi riwayat Muslim,
"Terkadang seseorang yang rambutnya berdebu dan terusir di depan pintu namun seandainya ia bersumpah dengan nama Allah, maka Allah akan mengabulkannya."
Sesungguhnya yang Allah nilai dari diri seorang hamba adalah keadaan kalbu dan amal sholehnya. Penampilan lahir bukanlah barometer dalam menilai kedudukan seseorang di sisi Allah.
Bukan pula harta benda, pangkat kedudukan, status sosial, garis keturunan, dan yang lainnya dari berbagai urusan duniawi. Kisah berikut ini menjadi salah satu bukti nyata kebenaran sabda Nabi.
Peristiwa ini dialami dan disaksikan secara langsung oleh Muhammad bin Al Munkadir, seorang imam dan ulama besar di kalangan para tabi'in. Muhammad bin Al Munkadir menuturkan, "Ada sebuah tiang di Masjid Rasulullah, aku biasa duduk dan shalat menghadap tiang tersebut di malam hari.
Saat itu penduduk Madinah sedang menjalani musim kemarau nan panjang. Mereka pun keluar berduyun-duyun untuk melakukan shalat istisqa'. Namun tetap saja hujan tidak kunjung turun mengguyur penduduk Madinah.
Suatu malam aku mengerjakan shalat Isya di masjid Rasulullah. Setelah itu aku pergi menuju tiang tersebut dan aku sandarkan tubuhku pada tiang itu. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berkulit hitam kepucatan mengenakan kain sarung. Pada lehernya tergantung sebuah sarung yang lebih kecil ukurannya.
Lelaki itu melangkah ke depan menuju tiang yang berada di hadapanku sementara itu aku berada di belakangnya. Lantas orang itu mengerjakan shalat dua rakaat lalu duduk dan berkata,
"Wahai Rabbku, penduduk kota Nabi-Mu telah keluar untuk meminta hujan namun Engkau belum menurunkan hujan kepada mereka. Kini aku bersumpah atas nama-Mu supaya Engkau menurunkan hujan kepada mereka."
Ibnu Al Munkadir melanjutkan kisahnya, "Sungguh diluar dugaan, belum sempat lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar gemuruh suara petir. Kemudian datang awan yang mengguyurkan hujan.
Tatkala mendengar suara hujan, lelaki itu memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah aku dengar pujian semacam itu sebelumnya. Kemudian dia berkata, "Siapa saya dan apa kedudukan saya sehingga doa saya bisa terkabul. Namun aku berlindung kepada-Mu ya Allah dengan memuji-Mu dan berlindung dengan kemuliaan-Mu."
Ibnul Munkadir melanjutkan, "Kemudian bangkitlah lelaki itu dan mengenakan kain yang sebelumnya digunakan sebagai sarung. Dia juga menurunkan kain lain yang melekat pada punggungnya hingga kedua kakinya.
Kemudian terus berdiri untuk mengerjakan shalat malam. Tatkala orang itu merasa kedatangan waktu subuh kian dekat, ia pun mengerjakan shalat witir. Kemudian setelahnya dilanjutkan dengan dua rakaat sebelum subuh.
Beberapa saat kemudian iqamah shalat subuh pun dikumandangkan. Dia pun bergegas ikut melaksanakan shalat subuh bersama kaum muslimin. Saat itu juga aku turut menghadiri pelaksanaan shalat subuh tersebut.
Ketika imam selesai shalat dan mengucapkan salam, lelaki itu keluar dari masjid. Aku pun mengikutinya dari belakang hingga sampai depan pintu masjid. Dia keluar masjid sembari mengangkat bajunya dan berjalan diatas genangan air.
Aku juga keluar dari masjid dengan mengangkat pakaianku dan berjalan diatas genangan air. Namun aku kehilangan jejak sehingga aku pun tidak tahu kemana orang itu pergi. Pada malam berikutnya, aku kembali shalat di masjid Rasulullah. Kemudian aku pergi menuju tiang itu kalau berbaring pada tiang tersebut.
Tiba-tiba lelaki itu datang lagi lalu berdiri dengan mengenakan kainnya. Ia menjulurkan kain yang lain yang berada di punggungnya pada kedua kakinya. Kemudian ia terus melakukan shalat malam sampai ia khawatir akan kedatangan waktu shalat shubuh.
Pada saat itulah dia salat witir dan dua rakaat shalat fajar. Tatkala iqamah berkumandang, ia pun mengerjakan shalat secara berjama'ah bersama kaum muslimin. Demikian halnya aku juga masuk dalam shaf untuk mengikuti pelaksanaan shalat berjama'ah.
Setelah imam menyelesaikan shalatnya dan salam, ia pun keluar dari masjid dan aku membuntutinya dari belakang. Lelaki itu terus berjalan dan aku mengikutinya dari belakang sampaike sebuah rumah yang kukenal di Madinah. Akhirnya akupun kembali ke masjid dan mengerjakan shalat Dhuha setelah matahari terbit.
Kemudian aku putuskan untuk menuju rumah tersebut dan menemui laki-laki misterius itu. Setibanya di rumah itu, aku dapati ternyata dia sedang duduk sambil menjahit dan ternyata dia adalah tukang sepatu. Ketika lelaki itu melihatku, dia segera mengetahuiku.
Ia berkata, "Wahai Abu Abdillah (Ibnul Munkadir) selamat datang. Apakah engkau ada keperluan denganku? Apakah anda ingin aku buatkan sepatu?"
Aku pun duduk dan kukatakan kepadanya, "Bukankah engkau yang menjadi temanku pada malam pertama itu?" Tiba-tiba rona wajahnya berubah menjadi hitam saya mengatakan dengan teriakannya, "Ibnul Munkadir, apa urusan anda dengan peristiwa itu?!"
Lelaki itu marah sehingga demi Allah aku pun takut kepadanya. Aku katakan kepadanya, 'Baik, sekarang juga aku akan keluar dari sini.' Malam berikutnya aku kembali shalat Isya di masjid Rasulullah. Kemudian aku menuju tiang dan bersandar kepadanya.
Namun laki-laki tersebut belum juga datang. Aku pun berkata kepada diriku sendiri, "Innalillah, apa yang telah kuperbuat terhadap orang itu." Tatkala masuk waktu shubuh, aku pun duduk di situ sampai terbitnya matahari.
Kemudian aku keluar dari dan menuju rumah orang itu, tiba-tiba aku lihat pintu rumahnya telah terbuka dan tidak ada sesuatupun di dalamnya. Penunggu rumah itu berkata kepadaku, "Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan orang itu kemarin?"
Aku pun balik bertanya, "Ada apa dengannya?"
Orang-orang disini mengatakan, "Tatkala engkau keluar dari rumahnya kemarin, dia pun segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumah. Dia tidaklah membiarkan selembar kulit atau cetakan sepatu di rumahnya melainkan ia letakkan pada kain tersebut. Kemudian dia membawa kain itu dan keluar dari rumah sehingga kami pun tidak tahu lagi kemana dia pergi."
Muhammad bin Al Munkadir berkata, "Sungguh tidaklah aku biarkan satu rumah pun di Madinah yang aku ketahui melainkan pasti aku cari dia di rumah tersebut. Namun aku tetap tidak berhasil menemukannya, semoga Allah merahmatinya."
Demikian kisah seorang tukang sepatu yang hidup di masa generasi tabi'in yang doanya mustajab (terkabulkan). Kisah ini juga mencerminkan keikhlasan dan tawadhunya orang tersebut kepada Allah.
Keutamaan yang dia miliki tidak ingin diketahui oleh orang lain. Dan ia sempat marah kepada Ibnu Al Munkadir tatkala mengetahui amalannya dan bahkan melarikan diri dari rumahnya. Demikian semestinya seorang hamba berupaya menyembunyikan berbagai amal shaleh yang dilakukan. Karena sikap yang demikian itu akan membantunya dalam menjaga keikhlasan kepada Allah. Allahu a'lam.
Sumber : Majalah Qudwah edisi 25/2015 hal. 17
Kisah : Doa si Tukang Sepatu |
KOMENTAR