Benarkah Tidak Boleh Keras dalam Membantah Kesalahan ?! Bantahan bagi yang memusuhi orang yang membantah kemungkaran / kesalahan dengan keras.
BENARKAH TIDAK BOLEH KERAS DALAM MEMBANTAH KESALAHAN?!
Asy-Syaikh Rabi' bin Hady al-Madkhaly hafizhahullah
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد:
Berikut ini perkataan yang berharga dari asy-Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly –hafizhahullah– tentang masalah sikap keras terhadap ahli bid’ah:
Pertanyaan:
Ada pihak yang menuduh dakwah salafiyyah di zaman ini keras, dan sepantasnyalah para dai untuk bersikap lembut terhadap ahli bid’ah. Apakah pernyataan semacam ini benar dan bagaimana membantah mereka? Dengan memperhatikan bahwa zaman ini tidak seperti zaman dulu dan orang-orangnya pun tidak seperti di zaman dulu. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan?
Jawaban :
Cara ini yaitu menuduh salafiyyun memiliki sikap yang keras, ini bukanlah perkara yang baru, tetapi sudah sejak dahulu. Sejak zaman Ahmad bin Hanbal, sebelumnya, dan setelahnya hingga hari ini.
Para pembela kebathilan tidak mampu untuk menghadapi ahlul haq kecuali dengan melemparkan gambaran buruk terhadap mereka. Penggambaran yang buruk semacam ini sangatlah banyak, bukan hanya dengan sikap keras saja, dan tidaklah tuduhan mereka dengan sikap keras ini kecuali hanya salah satu darinya saja.
Orang-orang Khawarij dan Mu’tazilah menuduh Salafiyun sebagai Murji’ah. Rafidhah menuduh Salafiyyun sebagai Nawashib (pembenci Ahlul Bait –pent), karena Salafiyyun tidak berlebihan di dalam memuliakan Ahlul Bait sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah itu, demikianlah seterusnya.
Wahai saudaraku yang kucintai, mereka menuduh Salafiyyun keras, jongos pemerintah, mata-mata penguasa, ulama yang hanya tahu masalah haidh dan nifas, dan berbagai tuduhan keji yang lainnya yang dilontarkan oleh para penyeru kejahatan, kebathilan dan kesesatan.
Maka tidak ada yang dilakukan oleh Salafiyyun kecuali terus melanjutkan usaha menjelaskan dakwah mereka kepada agama Allah dengan ilmu. Dan di waktu yang bersamaan hendaklah mereka berhias dengan akhlak mulia seperti sabar, pemaaf, hikmah dan sifat-sifat baik yang lainnya yang sesuai dengan dakwah yang agung ini.
Di samping itu hendaklah mereka menyiapkan diri untuk sabar menghadapi segala celaan yang ditujukan kepada mereka, dan hendaknya mereka menjadikan para nabi dan para ulama salaf sebagai teladan mereka.
Al-Qur’an menceritakan kepada kita tentang musuh-musuh para nabi yang menuduh para nabi sebagai pendusta, tukang sihir, dukun, gila dan berbagai tuduhan buruk lainnya yang banyak. Maka wajib atas seorang dai yang ikhlash untuk menjadikan para nabi tersebut dan para imam Islam yang menempuh jalan mereka sebagai teladan. Jika mereka dengan kedudukan yang tinggi dan mulia saja tidak selamat dari tuduhan-tuduhan buruk dan berbagai celaan, maka bagaimana kita yang lemah dan miskin ini akan bisa selamat?!
Pahala didapatkan sesuai kadar ujian.
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ.
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang semisalnya terus yang semisalnya.”
(Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 5648 –pent)
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ.
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka.”
(Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 146 –pent)
وَلَوْ يَشَاءُ اللهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ.
“Seandainya Allah menghendaki, Dia mampu mengalahkan mereka (tanpa perang) tetapi Dia ingin menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lainnya.” (QS. Muhammad: 4)
لَوْ شَاءَ اللهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيْعًا.
“Seandainya Allah menghendaki, Dia mampu untuk memberi hidayah kepada manusia semuanya.” (QS. Ar-Ra’d: 31)
Maksudnya tanpa sebab, karena semua ada di tangan-Nya. Tetapi Allah menghendaki untuk menguji sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya. Barangsiapa selamat dari ujian ini, Allah akan meninggikan derajatnya dan memuliakannya di dunia dan akhirat.
Namun kebanyakan manusia seringnya gagal, patah semangat dan menyerah. Apakah dia akan lebih sibuk dengan urusan dunia, atau dia akan menyimpang seperti yang menimpa banyak manusia?!! Jadi mereka ini adalah orang-orang yang gagal menghadapi ujian ini.
Kita memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar menjauhkan kami dan kalian dari sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Karena demi Allah, sungguh ini adalah medan perang antara kebenaran dan kebathilan yang lebih berat dibandingkan medan tempur militer.
Perang melawan hawa nafsu yang berkecamuk di masa ini yang dihadapi oleh para dai yang menyerukan manhaj salaf tidak ada bandingannya. Karena banyaknya media massa dan jangkauannya mencapai belahan bumi timur dan barat serta banyaknya syaithan dari jenis manusia di masa ini. Dan saya melihat berbagai makar untuk memerangi manhaj salaf dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya tidak ada bandingannya.
Saya menilai tidak ada yang semisalnya yang mendahuluinya hingga zaman canggih dalam hal kemajuan –seperti kata orang– karena di sana sekarang muncul berbagai macam makar dan rencana jahat serta kedustaan dan issu atau yang apa yang dinamakan dengan pemberitaan buruk.
Salah seorang tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yaitu Sa’id Hawa dan dia telah banyak menulis tulisan untuk mendukung manhaj rusak ini, dan dahulu mereka sangat memuliakannya dan memiliki kedudukan tinggi di kalangan mereka (ada suara yang terputus) dan mereka tidak bisa mencapai seperti yang dicapai oleh al-Ikhwan Al-Muslimun.
Setelah mereka datanglah Quthbiyyun dan dikatakan: “Seandainya semua faksi-faksi tersebut sekarang bergabung bersama al-Ikhwan Al-Muslimun, mereka tidak akan seperti Quthbiyyun di dalam mencela dan merendahkan Ahlus Sunnah.”
Tetapi, wajib untuk bersabar.
إِنَّما يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ.
“Hanyalah orang-orang yang sabar yang pahala mereka disempurnakan tanpa hisab.” (QS. Az-Zumar: 10)
Kita memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar memberi hidayah mereka, atau menolak kejahatan mereka, meninggikan kalimat-Nya, dan menolong agama-Nya, sesungguhnya Rabbku benar-benar mendengar doa hamba-Nya.
Benarkah Tidak Boleh Keras dalam Membantah Kesalahan ?! (Bagian 2)
Asy-Syaikh Rabi' bin Hady al-Madkhaly hafizhahullah
Pertanyaan:
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syaikh ada pertanyaan dengan ungkapan lain yaitu: Apakah mubtadi’ di zaman kita disikapi seperti mubtadi’ di zaman dulu, karena tidak diragukan lagi bahwa zaman Al-Imam Ahmad tidak seperti zaman kita pada hari ini?
Jawaban:
Saya jawab bahwa sesungguhnya agama Allah tidak berubah dan tidak berganti warna mengikuti perubahan manusia. Agama Allah adalah agama Allah, dakwah Allah adalah dakwah Allah. Muamalah dengan manusia di zaman Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam, di zaman Ahmad, di zaman Ibnu Taimiyah, dan zaman Ibnu Abdul Wahhab, serta zaman setelahnya semuanya bersumber dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam, manhaj mereka semua adalah satu.
Tetapi dibutuhkan orang yang menerapkan manhaj ini dan mengerti bagaimana menyikapi ahli bid’ah sesuai dengan bimbingan al-Qur'an dan as-Sunnah. Jadi ahli bid’ah harus ditahdzir dan dibongkar kesesatan mereka. Dan menjelaskan kesesatan mereka termasuk kewajiban terbesar.
Orang yang mengatakan bahwa keadaan telah berubah dan waktunya berbeda, sesungguhnya yang mereka maukan adalah agar engkau tidak membicarakan lagi kesalahan ahli bid’ah. Karena kelompok-kelompok sesat tersebut tunduk kepada kepemimpinan bid’ah dan sesat. Sehingga ketika engkau membantah pimpinan mereka yang sesat berarti engkau mencela mereka. Jadi mereka pun ingin membungkam dirimu, namun mereka tidak akan bisa menyesatkanmu kecuali dengan cara-cara seperti ini.
Mereka mengatakan: “Dahulu Ahmad… dahulu Ibnu Taimiyah…” Mereka mengubah-ubah perkataan para ulama tersebut dan menyusupkan tujuan jahat mereka. Semua ini mereka lakukan untuk membungkam Ahlus Sunnah dan menyumbat mulut mereka dengan batu –seperti kata orang– dan mereka mengerahkan segala kemampuan mereka untuk membungkam Ahlus Sunnah.
Tetapi Ahlus Sunnah tidak melakukan kecuali mencurahkan semua usaha untuk meninggikan kalimat Allah, menyebarkan as-Sunnah dan menampakkannya, serta menghancurkan bid’ah dengan segenap kemampuan mereka di semua negeri dengan cara menjelaskannya kepada manusia.
Memisahkan antara kebenaran dan kebathilan, petunjuk dan kesesatan, as-Sunnah dan bid’ah, perkara-perkara ini tidak disukai oleh ahli bid’ah dan orang-orang yang suka hizbiyah yang tercela itu yang mereka bersembunyi dengan berbaju salafiyyah untuk menipu manusia.
Jadi mereka melakukan pengkaburan terhadap salafiyah dengan sekuat tenaga agar mereka bisa merusaknya.
Oleh karena itulah engkau melihat mereka membuntuti dakwah salafiyah dan para pemudanya di semua tempat agar mereka bisa menghancurkannya dan membangun manhaj bid’ah mereka yang rusak di atas puing-puingnya. Ini adalah sesuatu yang bisa dirasakan.
Intinya, membantah ahli bid’ah adalah perkara yang mau tidak mau harus dilakukan, demikian juga mentahdzir mereka, dan ini merupakan jihad. Dahulu para ulama mengatakan di zaman Ahmad: “Jihad melawan ahli bid’ah.” Atau mereka mengatakan: Membela As-Sunnah lebih utama dibandingkan menebaskan pedang (jihad).
Demikian pula Ibnu Taimiyah di masanya beliau bersungguh-sungguh dan mengerahkan segenap kemampuan yang melebihi kebanyakan para imam Islam sebelumnya. Karena beliau menghadapi berbagai bid’ah yang sangat banyak. Beliau menghadapinya dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dan menghancurkannya serta menggulung para pengusungnya, padahal beliau adalah seorang yang lembut dan hikmah di samping ilmu beliau yang dalam.
Jadi, termasuk menjelaskan hikmah dan termasuk hak ilmu adalah dengan engkau memilah dan memisahkan kebenaran dan kebathilan, petunjuk dan kesesatan, serta as-Sunnah dan bid’ah.
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ أُوتُوْا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهُ.
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dengan orang-orang yang diberi al-Kitab, (yaitu) hendaklah kalian menjelaskannya kepada manusia dan jangan menyembunyikannya.” (QS. Al-A’raf: 187)
Jadi para nabi –demi Allah– mereka telah berjihad dan mengorbankan jiwa untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Sedangkan para ulama adalah pewaris para nabi, sehingga harus ada jihad dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Saya katakan kepada orang-orang yang perlu dikasihani itu: Demi Allah, sungguh Ahlus Sunnah benar-benar manusia yang terdepan dalam menyampaikan nasehat dan paling semangat untuk menunjukkan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
Dan sesungguhnya siapa saja yang ingin membungkam Ahlus Sunnah, maka sesungguhnya –demi Allah– dialah yang sebenarnya membahayakan umat, dialah orang yang berkhianat kepada umat, dialah yang menipu mereka. Dialah yang tidak peduli apakah umat akan masuk ke jurang neraka atau akan selamat?!
Adapun Ahlus Sunnah –demi Allah– mereka tidak menginginkan bagi manusia kecuali kebaikan, mereka tidak menginginkan umat ini kecuali agar menempuh jalan Nabi mereka shallallahu ‘alaihi was sallam yang lurus, agar mereka masuk jannah atau apa yang Allah Tabaraka wa Ta’ala kehendaki dari mereka.
Jadi Ahlus Sunnah berjihad dan mengorbankan jiwa tidak ada tujuan lain selain untuk menunjukkan manusia dan mengarahkan mereka kepada hal-hal yang akan memberi manfaat bagi agama dan dunia mereka.
Sedangkan orang-orang yang membela ahli bid’ah –demi Allah– mereka adalah musuh umat. Merekalah yang membahayakan umat dan menghalangi mereka dari kebenaran yang hanya mungkin dibawa oleh para dai Ahlus Sunnah.
Maka bagaimana bisa dikatakan bahwa zamannya berbeda dengan zaman Ahmad?!!
Mereka mengatakan bahwa pada zaman Ahmad boleh membantah ahli bid’ah dan mentahdzir ahli bid’ah, adapun sekarang maka tidak boleh.
Jelaskan apa maksud kalian?! Apa yang kalian inginkan dari ucapan ini?!
Apakah kalian menginginkan agar kami tidak menjelaskan kebenaran kepada manusia dan tidak memperingatkan mereka dari kesesatan dan bid’ah?!
Atau agar kami tidak mengajari mereka akidah dan manhaj yang benar?!
Apa yang kalian maukan?! Pada ucapan mereka ini terdapat pengkaburan masalah dan sifatnya global, baarakallahu fiikum.
Oleh karena inilah maka saya tegaskan kepada kalian bahwasanya mereka tidak menyukai bantahan terhadap tokoh-tokoh bid’ah dan kesesatan secara mutlak.
Dari sinilah mereka mengeluarkan manhaj muwazanah antara kebaikan dan keburukan setelah mereka putus asa untuk membungkam Ahlus Sunnah. Jadi mereka mengada-adakan manhaj muwazanah agar engkau menyanjung dan memuji para tokoh mereka, lalu setelah itu engkau boleh membicarakan kesalahan mereka. Walaupun mereka tidak suka dan tidak menginginkan engkau membicarakan kesalahan tokoh-tokoh mereka, namun jika memang terpaksa ya timbanglah dengan adil.
Mereka mengada-adakan di dalam agama Allah hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah, dan mereka meninggalkan apa yang Allah syariatkan berupa menyampaikan risalah Allah dan menasehati kaum Muslimin, serta memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan mereka bagi agama dan dunia mereka, mereka diharamkan (tidak mendapat taufik) untuk melakukan hal-hal ini.
Maka dengan hal itu mereka menjadi manusia yang lebih besar kejahatannya terhadap Islam dibandingkan dengan orang-orang yang mereka cap sebagai thaghut (pemerintah –pent) dan yang mereka perangi, padahal hakekatnya mereka melakukan semua itu demi meraih kekuasaan.
Benarkah Tidak Boleh Keras dalam Membantah Kesalahan ?! (Bagian 3)
Asy-Syaikh Rabi' bin Hady al-Madkhaly hafizhahullah
Pertanyaan:
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syaikh, mungkin yang saya maksud bukan mendiamkan para mubtadi’, tetapi maksud saya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama besar seperti asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah dan asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry –dan saya telah bertanya langsung kepada beliau– dengan pertanyaan semacam ini, maka beliau menjawab:
“Harus dibedakan antara satu waktu dengan waktu yang lain. Jika Ahlus Sunnah di waktu yang mereka memiliki kekuatan dan perkataan mereka didengar maka ketika itu sikap terhadap ahli bid’ah diperkeras dan mereka diboikot serta disikapi dengan yang sesuai dengan keadaan mereka. Adapun jika Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam keadaan lemah dan perkataan mereka tidak didengar, maka ketika itu ucapan terhadap ahli bid’ah diperlembut, dan bukan berarti diam tidak membantah mereka sama sekali.”
Asy-Syaikh al-Albany rahimahullah barangkali Anda telah mendengar kaset beliau yang berjudul “Orang-orang yang Lancang Berfatwa” di mana beliau mengatakan dalam nasehat emas tersebut: “Kalian jangan menggabungkan dua hal yang keras di dalam menghadapi manusia, yaitu beratnya kebenaran itu sendiri sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)
Jadi kebenaran itu sendiri sudah berat, jangan ditambah dengan cara yang keras, sehingga sepantasnyalah kita melembutkan cara kepada manusia walaupun seorang mubtadi’.
Jawaban :
Apakah salaf dahulu mereka tidak mengerti bagaimana bersikap lembut?! Apakah mereka tidak mengerti kelembutan semacam ini hingga kita mengatakan: “Zamannya telah berbeda?!”
Apakah salaf dahulu adalah orang-orang yang kaku dan kasar?!
Kelembutan dan sikap keras ada pada salaf, dan mereka dahulu dipuji karena sikap keras mereka, dan engkau tidak bisa menuang manusia semuanya dalam satu cetakan yang sama (tidak menyama ratakan –pent). Jadi pada zaman itu ada kelembutan dan di zaman ini lebih lembut lagi, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Di zaman itu ada orang-orang yang keras dan tegas, dan di zaman ini harus ada juga. Harus ada karena engkau tidak mungkin menjadikan manusia dalam satu bentuk. Allah Ta’ala membagi karunia dan pemberian kepada hamba-hamba-Nya (sehingga mereka tidak sama sifatnya –pent). Umar keras, sedangkan Abu Bakr lembut. Dan sikap keras di samping kelembutan akan memberikan kekuatan bagi Islam, baarakallahu fiikum.
Yang jelas, seseorang berusaha sebisa mungkin untuk mendakwahkan agama Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Tetapi di sana ada keadaan-keadaan yang menuntut keras.
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ.
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir, namun penyayang diantara mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
Adapun ahli bid’ah maka mereka mendapatkan bagian mereka dari sikap keras ini, karena mereka bergabung bersama orang-orang kafir di dalam penyimpangan dari manhaj Allah yang benar dan permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan bergabung bersama mereka pada perkara-perkara yang dengannya mereka pantas mendapatkan bagian dari sikap keras, baarakallahu fiikum.
Sikap keras bukan berarti dengan mengumpat dan mencaci maki, sikap keras adalah menjelaskan kebenaran dengan cara yang terhormat. Maksudnya sebagian manusia ketika kita tulis bahwa dia termasuk ahli bid’ah hal itu dianggap keras, sampai-sampai seorang salafy juga ada yang mengatakan kepadamu “keras.”
Ada orang yang mengatakan bahwa dirimu keras, namun jika dia berbicara dan menghadapi lawan bicara pada masalah yang lebih ringan yang kita tulis, engkau justru melihatnya bersikap keras.
Saya tidak mencela mereka karena seseorang ketika menghadapi kebathilan harus menggunakan cara yang terhormat.
Cara yang terhormat dan kuat mereka namakan dengan keras. Ini merupakan kesalahan besar, baarakallahu fiikum. Saya menulis –demi Allah– banyak perkara yang engkau anggap benar (kalimat yang tidak jelas) sampai dia tidak mengatakan bahwa salafiyun keras.
Demi Allah, mereka jika menulis mereka lebih keras dibandingkan diriku dan mereka mengatakan ungkapan-ungkapan yang tidak pernah kukatakan sama sekali, tetapi anehnya mereka mengatakan: "Rabi’ keras." Dan orang-orang yang suka melemparkan fitnah menyerangnya –baarakallahu fiikum– dan mereka mengatakan: “Keras, keras, keras.”
Demi Allah, kita tidak bisa mencapai kelembutan salaf. Demi Allah, sungguh kita masih banyak melakukan basa-basi, karena kita belum mampu tegas dengan sebenarnya. Ketika engkau membaca biografi al-Imam Ahmad dan selain beliau engkau akan menjumpai mereka jauh lebih keras dibandingkan kita, baarakallahu fiikum.
Yang jelas, di masing-masing tempat memiliki perkataan tersendiri sesuai keadaannya.
Allah berfirman berkaitan dengan penegakan hukuman had bagi zina:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ.
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki (yang belum menikah) cambuklah masing-masing dari mereka sebanyak seratus kali cambukan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya menghalangi kalian untuk menjalankan perintah agama Allah, jika kalian adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nuur: 2)
Jadi terkadang seseorang wajib untuk bersikap keras di dalam menolong kebenaran dan tidak mundur dalam menjalankan agama Allah hanya karena celaan orang yang suka mencela.
Ketika ada seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan dia termasuk keturunan bangsawan Quraisy, awalnya dia meminjam barang-barang kepada wanita lain lalu dia tidak mau mengembalikannya. Ketika Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam ingin memotong tangannya maka hal itu dirasakan berat oleh Quraisy dan mereka mengatakan: “Tidak ada yang berani memintakan ampunan kepada Rasulullah untuk dia kecuali orang yang beliau cintai dan anak dari orang yang beliau cintai, yaitu Usamah bin Zaid –radhiyallahu anhuma–."
Usamah pun melakukannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
أَتَشْفَعُ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ الله وَاللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
“Apakah engkau memintakan ampunan pada penegakan salah satu dari hukum had yang Allah wajibkan, demi Allah seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.”
(HR. Al-Bukhary no. 3475 dan Muslim no. 1688 –pent)
Terkadang sikap basa-basi dianggap hikmah, sikap lembek dianggap hikmah, sedangkan menyatakan kebenaran dengan terang-terangan dan tegas dianggap keras, gegabah, kedunguan, dan seterusnya.
Intinya, kami nasehatkan kepada ikhwah agar tidak bersikap keras, namun jika seseorang dikalahkan oleh tabiatnya sehingga dia bersikap keras maka kita tidak boleh menghancurkan dia. Baarakallahu fiikum.
Cara ini yaitu ketika muncul dari saudaramu Salafiyyun yang menyatakan bahwa engkau keras dan si fulan keras, INI AKAN MERUGIKAN, karena orang yang lemah hatinya dia akan hancur dan berhenti (dari membela as-Sunnah), baarakallahu fiikum.
Jadi sikap keras adalah sesuatu yang baik dan kelembutan juga baik, hanya saja saya khawatir sikap lembut akan berubah menjadi sikap lembek, dan ini tentu bukan yang dimaukan.
Kelembutan –baarakallahu fiik– tidak menafikan untuk melaksanakan kebenaran dan menegakkan hujjah, serta menghancurkan kebathilan dengan hujjah dan dalil.
Kita memohon taufik kepada Allah.
https://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=27084
KOMENTAR