Kisah Pak dosen yang memilih keluar dari kampus untuk fokus menuntut ilmu dan mengejar akhirat.
"MEMILIH ANTARA DUA JALAN"
Malam yang sunyi. Lewat waktu Isya', di gubukku yang bersahaja. Hawa dingin menyeruak masuk menyergap. Menghitung hari, mengulang tahun, tak kusadari kini usiaku lebih dari lima windu.Sebuah kisah, berharap faedah, mengumpulkan serpihan hikmah. Sebuah kisah tentang jiwa yang lemah.
Kumulai kisah jiwa itu dari akhir masa remajanya. Di sebuah SLTA terkemuka, cita-cita dibawa terbang ke angkasa. Anak-anak bangsa yang menggantungkan asa di puncak dunia.
Bersaing dalam kesempurnaan logika, mengeksplorasi talenta yang tak terbingkai. Ya, jiwa itu adalah jiwaku yang sempat menyerap gelora dunianya dan duduk di sana.
Menghabiskan masa keremajaannya, menempa kepribadiannya di sebuah lingkungan yang penuh ambisi. Persaingan yang ketat untuk menjadi anak dunia yang terbaik. Merajut prestasi, menanam investasi demi masa depan yang terhormat dan kehidupan yang serba berkecukupan.
Ya, jiwa itu adalah jiwaku yang ada disana dan tempat mengalir bersama suasana. Akan tetapi Rabbnya telah menakdirkan yang lain untuknya. Dengan segala hikmah-Nya, angan-angan anak dunia itu digugurkan begitu ia lepas dari masa remaja.
Sebuah kecelakaan yang beberapa hari setelah lulus SMA, telah mencederai kakiku dan menghancurkan asanya. Dan akibat dari kecelakaan itu pula, aku terlambat masuk bangku kuliah.
Satu tahun kemudian, di sebuah perguruan tinggi negeri di kota kelahiran, aku memulai masa perkuliahan. Angan-angan masa depan yang sempat terpenggal karena peristiwa kecelakaan kembali terajut disini.
Tahun pertama masa-masa kuliah, jiwaku kembali terbawa syahwat. Cita-cita mewujudkan idealisme keilmuan dunia kembali mengambil haknya. Sejenak kemudian, aku kembali tenggelam di dalamnya.
Maha terpuji Allah yang Maha Bijaksana. Di tengah-tengah suasana kampus yang penuh dunia, aku mendapatkan nuansa Islam. Dengan taufik dan hidayah-Nya, aku kemudian aktif mengikuti kegiatan kerohanian Islam.
Ranah yang di awal masa remaja dulu sempat pula kucicipi. Dan di situ pulalah kemudian aku bertemu dengan seseorang yang kelak menunjukiku kepada secercah cahaya menuju jalan-Nya.
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya menaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran." [Q.S. Al-'Ashr:1-3]
Terjemah surat Al-'Ashr ini demikian merasuk dalam kalbuku. Surat yang sering kubaca dalam shalat, seolah-olah sesuatu yang baru aku pahami maknanya.
Sejak itu, jiwaku seperti mengenal kebenaran. Kebenaran tentang tujuan ia diciptakan. Kesimpulan tentang tujuan hidup yang gagal dimengerti Kebanyakan orang. Yaitu, manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepada-Nya saja.
Namun demikian, jiwa ini senantiasa afiat. Hidup bercampur padanya kebenaran dan kebatilan. Jika condong kepada kebatilan, maka segera saja setan menyambarnya. Dan jika condong kepada kebenaran, setan pun lari darinya. Pada pergulatan antara kebenaran dan kebatilan itu jiwaku berada.
Dunia kampus adalah medan syahwat dan syubhat bergejolak. Syahwat harta, wanita, dan kehormatan menjajakan diri. Janji-janji kesenangan tak murni terkadang melalaikan dan menipu.
Syubhat berkedok 'ranah ilmiah' mengajak bergulat ilmu yang lemah. Tanpa taufik dan rahmat-Nya, siapa yang tak bakal musnah?
Melepas dunia kampus, aku lulus dengan nilai yang bagus. Berbekal pencerahan, aku menjauh dari bisingnya dunia syahwat. Namun, apalah dayanya ketika Sang Pencipta menghendaki ujian dan penataran berikutnya.
Ya, setelah setahun berusaha berwirausaha, aku pun bekerja menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Pada awalnya aku masih memiliki asa disana. Berharap dengan label Islamnya, bisa berkiprah di sana.
Namun tak bisa kumungkiri, kembali memasuki dunia kampus setelah pernah merasakan pahitnya, menyebabkan aku kurang bergairah. Berseragam safari, bercelana pantalon, tanpa isbal, aku mulai mengajar.
Percampuran mahasiswa dan mahasiswi menanti. Mulut ini berorasi tentang ilmu-ilmu yang kurang berarti. Di hadapanku, mata-mata tanpa harapan menatap penuh arti. Telinga-telinga kurang berfungsi sudi dipecundangi.
Berjaket almamater dan bergaya super, aku membimbing. Berdiri diantara mereka, aku tak mampu mengingkari. Ikut merestui dan memfasilitasi kegiatan kerancuan. Kebaikan bercampur kejelekan. Faedah bercampur sampah.
Manfaat dalam mubadzir.
Di sebuah pergaulan yang terus melunturkan rasa malu. Memakai topi ilmuwan, aku berusaha menegakkan idealisme. Tentang kebenaran, prinsip hidup, atau sekadar kejujuran fakta. Namun sungguh malang, bak bertepuk sebelah tangan, hanya angin yang menjawab lambaian tanganku.
Yang terbesar adalah yang mengalir bersama hawa nafsuku. Cita-cita yang tinggi di bidang keilmuan dan profesi. Ketika atasanku, seorang doktor mancanegara, mengajakku naik ke atas awan cita-citanya.
Janji-janji tinggi untuk membawaku ke luar negeri. Semua syarat telah kupenuhi, akan tetapi aku bimbang diri. Pelanggaran demi pelanggaran terus menerpaku. Hatiku bergetar teringat kata-kata ini, "Dosa-dosa akan meliputi hati. Setiap kali ia berbuat dosa, maka tutupan itu akan semakin tinggi. Hingga akhirnya hati akan tertutup seluruhnya."
Di tengah gundah gulana, yang Maha Pengasih Penyayang memberiku kesempatan emas, lari dari kegelapan. Saat itu tahun terakhir aku terikat kontrak kerja. Inilah kesempatanku untuk melepaskan diri dari kungkungan syubhat dan syahwat.
Di saat yang bersamaan Allah memberiku satu ujian lagi, yaitu sakit. Di saat-saat terjepit ini, datanglah teman sejawatku memintaku untuk kembali. Surat pengunduranku ternyata belum lagi diserahkan ke rektorat.
Namun alhamdulillah, hati ini tak sempat bergolak, bahkan ia tegar menolak segala tawaran.
Tak terpikir olehku waktu itu, di mana aku harus mencari kerja. Yang kuyakini Allah Maha Dermawan, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Namun yang cukup memengaruhiku adalah kesedihan ayahku.
Kekecewaannya yang mendalam membawanya dalam isak tangisnya menahan gejolak emosi. Setelah itu beliau tidak menyambut sapaku, seulas kata pun. Akan tetapi Dzat yang Maha Mulia, tak pernah menyelisihi janji-Nya.
Setelah kesulitan, ada masa kemudahan. Setelah enam bulan ayah mendiamkanku, kemudian Allah meluluhkan hatinya. Kemudian aku pun meninggalkan gemerlap dunia yang mapan ekonomi dan kehormatan.
Meninggalkan yang menjanjikan kenikmatan, menuju kenikmatan hakiki yang dijanjikan. Kehidupan bersama para pejuang yang menenggelamkan harta untuk menggapai surga.
"Tidaklah seseorang yang meninggalkan dunia melainkan akan ditampakkan kepadanya teman duduknya. Kalau seandainya ia berasal dari ahli dzikir, ia akan termasuk dari bagian ahli dzikir..." (Mujahid bin Jabr)Berbekal uang hasil penjualan motor warisan ayah, aku beserta istri dan 1 anakku berangkat merantau ke luar pulau Jawa demi menyambut tawaran untuk bergabung di sebuah pondok pesantren. Menyempurnakan cita-cita, bederma untuk agama dengan yang kupunya meski hanya setetes keringat.
Saling membahu dengan saudara-saudaraku, ikut andil menegakkan pusat syiar agama sembari mereguk setetes ilmu para ulama. Di sana kami bertahan sepuluh tahun sebelum akhirnya kembali ke tanah Jawa.
Wahai saudaraku, maukah engkau kuberi tahu saripati dari perjalanan hidupku? Bahwa antara seorang hamba dan rezekinya terdapat sebuah hijab. Jika ia merasa cukup dan jiwanya ridha, niscaya rezeki akan mendatanginya.Ketahuilah, tawakal akan mengantarkan rezeki kepadamu tanpa kepayahan dan membebani diri. Maka bertawakallah kepada Allah dalam mencari rezeki. Berusahalah dengan anggota badanmu sembari tetap bersandar kepada-Nya.
Dan jika ia pun mendobrak dan merobek hijab tersebut, tetap tidak akan menambah rezekinya. [Demikian disampaikan Umar Bin Khaththab]
Dan ketahuilah, dunia dan perhiasannya, terkadang justru didapatkan oleh orang yang berpaling darinya, sedangkan yang berambisi justru tidak mendapatkannya. Dan yang lebih penting dari itu, hartamu di surga. Harta yang kekal dan takkan punah.
Yakinlah, bahwa tauhid akan membukakan seseorang pintu kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan. [Wasiat Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad]. Semoga bermanfaat.
Sumber : Majalah Qudwah edisi 13/2013 hal.88 | Rubrik: Kisahku
Kisah "Memilih Antara Dua Jalan" |
KOMENTAR