Anak yang belum baligh diperintahkan berpuasa jika mampu, Hukum Menyuruh Anak Kecil yang Sudah Mumayyiz Berpuasa
ANAK YANG BELUM BALIGH DIPERINTAHKAN BERPUASA JIKA MAMPU
Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-'Utsaimin رحمه الله :
Pertanyaan :
Apakah anak kecil yang belum mencapai usia 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana halnya sholat?
Jawaban :
YA, anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh diperintahkan untuk puasa jika mereka mampu. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para sahabat terhadap anak-anak mereka. Sungguh para ulama telah mengatakan dengan tegas bahwa seorang pemimpin itu memerintahkan orang yang dibawah kepemimpinannya, seperti anak-anak kecil untuk berpuasa agar mereka terlatih dan prinsip dasar islam tertanam dalam jiwa mereka, hingga menjadi kepribadian mereka.
Akan tetapi jika hal ini memberatkan mereka atau menimbulkan mudhorat pada mereka, tidak diharuskan bagi mereka untuk melaksanakannya. Dan saya ingin memberi peringatan terhadap apa yang dilakukan oleh para bapak dan ibu, yang melarang anak-anak mereka untuk berpuasa, karena menyelisihi apa yang dilakukan oleh para shahabat. Para bapak dan ibu itu menganggap bahwa mereka melarang anak-anak mereka berpuasa karena sayang dan merasa kasihan. Yang benar, mengasihi anak-anak itu ialah dengan memerintahkan mereka mengerjakan syariat-syariat islam dan membiasakannya. Karena sesungguhnya, hal ini tidak diragukan lagi adalah sebaik-baik cara mendidik mereka dan kesempurnaan dalam mengatur orang yang dibawah pimpinannya.
Dan sungguh telah tsabit dari Nabi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, melalui sabda beliau :
(إن الرجل راع في أهل بيته ومسؤل عن رعيته)
"Sesungguhnya seseorang itu pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya. (HR Bukhari 2409 dan Muslim 1829)
Sepantasnya bagi para wali, yaitu orang-orang yang Alloh jadikan pemimpin terhadap keluarganya dan anak-anak agar bertaqwa kepada Alloh dalam urusan mereka dan hendaklah para pemimpin itu memerintahkan mereka dengan syariat islam.
📚 ثمانية وأربعون سؤاﻻ في الصيام
┉┉✽̶»̶̥▪️»✽̶┉┉
السؤال
هل يؤمر الصبيان دون الخامسة عشر بالصيام كما في الصلاة ؟
الجواب
نعم يؤمر الصبيان الذين لم يبلغوا بالصيام إذا أطاقوه كما كان الصحابة رضي الله عنهم يفعلون ذلك بصبيانهم . وقد نصَّ أهل العلم على أن الولي يأمر من له ولاية عليهم من الصغار بالصوم من أجل أن يتمرَّنوا عليه ويألفوه وتتطبع أصول الإسلام في نفوسهم حتي تكون كالغريزة لهم.
ولكن إذا كان يشق عليهم أو يضرهم فإنهم لا يلزمون بذلك . وإنني أنبه هنا علي مسألة يفعلها بعض الآباء أو الأمهات وهي منع صبيانهم من الصيام على خلاف ما كان الصحابة رضي الله عنهم يفعلونه . يدَّعون أنهم يمنعون هؤلاء الصبيان رحمة بهم ، وإشفاقا عليهم ، والحقيقة أن رحمة الصبيان بأمرهم بشرائع الإسلام وتعويدهم عليها وتأليفهم لها. فإن هذا بلا شك من حسن التربية وتمام الرعاية .
وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم قوله :
(إن الرجل راع في أهل بيته ومسؤل عن رعيته)
والذي ينبغي على أولياء الأمور بالنسبة لمن ولاهم الله عليهم من الأهل والصغار أن يتقوا الله تعالى فيهم ، وأن يأمروهم بما أمروا أن يأمروهم به من شرائع الإسلام.
📚 ثمانية وأربعون سؤاﻻ في الصيام
✍🏼 Miqdad al-Ghifary hafizhahullaah || WA Riyadhul Jannah As-Salafy
📝💻 Majmu'ah Hikmah Salafiyyah || ▶️ https://t.me/hikmahsalafiyyah
Hukum Menyuruh Anak Kecil yang Sudah Mumayyiz Berpuasa
Pertanyaan: Apakah anak kecil yang mumayyiz (sudah bisa membedakan baik dan buruk) diperintahkan untuk berpuasa? Dan apakah puasanya sah jika ia baligh ketika sedang bepuasa?
(Nomor bagian 15; Halaman 181)
Jawaban:
Apabila anak-anak kecil laki-laki dan perempuan mencapai umur tujuh tahun lebih, maka mereka dianjurkan berpuasa untuk membiasakannya. Dan para walinya diperintahkan untuk menyuruh mereka mengerjakannya, sebagaimana mereka memerintahkan salat.
Apabila mereka sudah baligh, maka mereka diwajibkan untuk berpuasa. Dan apabila mereka mencapai baligh ketika di siang hari Ramadan, maka puasa hari itu tetap sah.
Seandainya diasumsikan bahwasanya ada seorang anak kecil yang baru mencapai umur lima belas tahun setelah Zuhur sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya hari itu tetap sah (sebagai puasa wajib). Setengah harinya itu dianggap sebagai puasa sunah dan setengah hari setelahnya dianggap puasa wajib, jika memang ia belum mencapai baligh sebelum itu dengan tanda tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan yang disebut dengan bulu kemaluan atau dengan keluarnya mani karena syahwat baik dalam kondisi terjaga maupun dalam mimpi.
Demikian juga anak kecil perempuan, mereka dihukumi sama dengan anak laki-laki dalam menentukan baligh. Namun bagi perempuan ditambahkan perkara keempat, yaitu haid.
Sumber : http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?languagename=id&View=Page&PageID=2790&PageNo=1&BookID=4
Perintahkan Anakmu Untuk Berpuasa ! via Pexels |
BERLATIH PUASA
(Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Anak yang belum baligh memang tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa Ramadhan. Namun, tentu tidak ada salahnya bila para orang tua mulai melatih mereka untuk berpuasa yang dengan latihan ini akan memberi banyak manfaat pada diri anak.
Ramadhan telah tiba kembali. Seluruh kaum muslimin menyongsong bulan ini dengan penuh kerinduan dan merenda harapan, semoga mendapatkan pahala yang berlipat dalam segala kebaikan yang ditunaikan. Mereka bersemangat menyambut perintah Allah subhanahu wa ta'ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Anak-anak kecil pun tak luput dari kegembiraan ini. Mereka berlomba-lomba untuk berpuasa. Orang tua pun turut meng-hasung mereka untuk menunaikan ibadah ini, bahkan terkadang dengan iming-iming hadiah bila berhasil menyelesaikan puasa hingga Ramadhan berakhir.
Namun, bagaimana sesungguhnya yang dilakukan para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak mereka yang belum baligh saat menghadapi perintah puasa? Adakah di antara mereka yang menyuruh anak-anak mereka berpuasa sebagaimana yang banyak dilakukan kaum muslimin sekarang ini?
Dikisahkan oleh seorang shahabiyah, Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu 'anha tentang hal ini, ketika datang perintah puasa ‘Asyura', puasa wajib sebelum difardhukannya puasa Ramadhan:
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus seseorang pada pagi hari ‘Asyura ke kampung-kampung Anshar untuk memerintahkan: ‘Barangsiapa yang pagi hari itu dalam keadaan tidak berpuasa, hendaknya dia sempurnakan hari itu dengan puasa, dan barangsiapa yang pagi itu berpuasa, hendaknya melanjutkan puasanya.’ Maka kami pun menunaikan puasa ‘Asyura setelah itu, dan kami suruh anak-anak kami untuk berpuasa, dan kami buatkan untuk mereka mainan dari wol. Apabila mereka menangis karena minta makanan, kami berikan mainan itu. Demikian hingga tiba waktu berbuka.” (HR. Al-Bukhari, kitab Ash-Shaum bab Shaum Ash-Shibyan no. 1961 dan Muslim, kitab Ash-Shiyam bab Man Akala fi ‘Asyura’ falyakuffa Baqiyyata Yaumihi no. 1136)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa dalam hadits ini terdapat hujjah disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, karena siapa pun yang masuk dalam usia kanak-kanak sebagaimana yang disebutkan dalam hadits belumlah mukallaf (dibebani pelaksanaan syariat). Namun perintah untuk berpuasa itu semata sebagai latihan. (Fathul Bari, 4/257)
Demikian pula Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam penjelasan beliau tentang hadits ini. Beliau mengatakan bahwa hadits ini menunjuk-kan adanya latihan bagi anak-anak untuk melaksanakan ketaatan, membiasakan mereka untuk beribadah, namun mereka bukanlah mukallaf. Al-Qadhi mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari ‘Urwah bahwa ketika anak-anak itu mampu berpuasa, maka mereka wajib berpuasa. Ini adalah pendapat yang keliru yang terbantah dengan hadits shahih:
“Pena (catatan amalan) diangkat dari tiga golongan, (di antaranya) dari anak kecil sampai dia ihtilam1.” Dalam riwayat yang lain: “Hingga dia baligh.”
Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 8/13)
Adapun mengenai batasan usia seorang anak mulai dilatih untuk berpuasa, ada perselisihan di dalam hal ini. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan disenanginya memerintahkan anak-anak berpuasa untuk melatih mereka apabila mereka mampu. Yang berpendapat seperti ini adalah sekelompok dari kalangan salaf, di antaranya Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Asy-Syafi’i dan yang lainnya. Murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i berselisih dalam hal batasan usia seorang anak mulai diperintahkan untuk puasa. Di antaranya ada yang berpendapat tujuh tahun, ada pula yang berpendapat sepuluh tahun, dan ini pula yang dipegangi oleh Al-Imam Ahmad. Ada pula yang berpendapat duabelas tahun, demikian pendapat Ishaq. Sementara Al-Imam Al-Auza’i berpendapat, apabila seorang anak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan dia tidak menjadi lemah dengan puasanya, maka diperintahkan untuk berpuasa. Pendapat yang masyhur dari kalangan Malikiyah, puasa tidaklah disyariatkan pada anak-anak. Namun pendapat ini terbantah dengan hadits di atas, karena sungguh sangat tidak mungkin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ini. (Nailul Authar, 4/250-251)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, apakah anak-anak kecil di bawah usia limabelas tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana mereka diperintah shalat? Beliau rahimahullah menjawab, “Ya. Anak-anak yang belum mencapai baligh diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu, sebagaimana hal ini dilakukan pula oleh para shahabat radhiyallahu 'anhum terhadap anak-anak mereka. Ahlul ilmi telah menyatakan pula bahwa wali memerintahkan anak-anak yang ada di bawah perwaliannya untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa melakukannya, dan pokok-pokok agama Islam pun terbentuk dalam jiwa mereka sehingga menjadi tabiat pada diri mereka. Akan tetapi, apabila hal ini berat atau membahayakan mereka, maka mereka tidak diharuskan berpuasa.
Di sini saya juga memperingatkan tentang suatu permasalahan yang dilakukan oleh sebagian ayah atau ibu, yaitu melarang anak-anak mereka berpuasa, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para shahabat g. Mereka beranggapan, mereka melarang anak-anak berpuasa karena rasa sayang dan iba terhadap anak-anak. Padahal pada kenyataan-nya, kasih sayang terhadap anak-anak itu dilakukan dengan memerintahkan mereka untuk melaksanakan syariat Islam dan membi-asakan mereka terhadapnya. Tidak diragukan lagi, yang demikian ini merupakan pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna. Telah tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya seorang laki-laki adalah penanggung jawab terhadap keluarganya dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”2
Maka yang selayaknya dilakukan oleh wali terhadap orang yang Allah jadikan di bawah perwaliannya, baik keluarga maupun anak-anak kecil, hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam mengurusi mereka dan memerintahkan mereka dengan segala sesuatu yang dia diperintahkan untuk memerintahkan-nya, berupa syariat Islam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 19/83-84)
Berkaitan dengan hal ini, ada satu catatan penting yang diberikan oleh Fadhilatusy Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya tentang seorang anak kecil yang ingin terus menunaikan puasa, sementara orang tuanya khawatir karena usianya yang masih kecil dan ditakutkan mengganggu kesehatan-nya. Beliau rahimahullah menjawab, “Apabila dia masih kecil dan belum baligh, maka tidak diharuskan puasa. Akan tetapi jika dia mampu dan tidak merasa berat, maka dia diperintahkan untuk berpuasa. Dahulu para shahabat menyuruh anak-anak mereka berpuasa. Sampai-sampai jika ada di antara anak-anak itu menangis, mereka memberikan mainan untuk membuat mereka lupa. Namun jika memang hal ini benar-benar membahayakan, maka orang tua boleh melarangnya, karena Allah subhanahu wa ta'ala melarang kita memberikan harta milik anak-anak kepada mereka karena khawatir akan rusaknya harta tersebut. Maka tentunya kekhawatiran akan bahaya yang menimpa badan lebih utama untuk dicegah. Akan tetapi, larangan tersebut bukan dengan cara yang keras, karena hal ini tidaklah layak dilakukan terhadap anak-anak pada saat mendidik mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 19/83)
Demikian yang dapat terbaca dari teladan para shahabat radhiyallahu 'anhum di saat menyong-song perintah berpuasa. Mereka menghasung anak-anak mereka untuk melaksanakan syariat Allah yang mulia, hingga syariat Allah nantinya menjadi sesuatu yang menyatu dalam diri mereka.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Ihtilam yang dimaksud di sini adalah baligh.
2 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Kitab Al-Jumu’ah, Bab Al-Jumu’ah fil Qura wal Mudun (893) dan Muslim, Kitab Al-Imarah, Bab Fadhilatil Imamil ‘Adil wa ‘Uqubatil Ja`ir (1829)
KOMENTAR