Hukum Membantah Ulama yang Memiliki Jasa Besar dalam Dakwah, Bolehkah? Apakah dapat menimbulkan perpecahan?
BENARKAH TIDAK BOLEH MEMBANTAH KESALAHAN ULAMA YANG MEMILIKI JASA BESAR TERHADAP AHLUS SUNNAH?!
Al-Allamah asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdurrahim al-Bukhary hafizhahullah
PERTANYAAN:
Sebagian orang ada yang mengatakan: Jika salah seorang dari Ahlus Sunnah melakukan kesalahan padahal dia seorang yang memiliki jasa di dalam menyebarkan as-Sunnah dan mendakwahkan agama Allah, maka dia tidak boleh dibantah secara terang-terangan dan tidak boleh ditahdzir karena hal ini akan mencerai-berai dan memecah-belah persatuan salafiyyun, bagaimana menjawabnya?
JAWABAN:
Termasuk perkara yang wajib diketahui oleh orang-orang yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwasanya kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan bahwasanya Allah Jalla wa Alla telah memerintahkan manusia agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya.
Allah berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا.
“Dan perpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah secara keseluruhan dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Berpegang teguh dengan tali Allah padanya terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْ اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ.
“Sungguh pada diri Rasulullah bagi kalian terdapat teladan yang baik bagi siapa saja yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan di hari kiamat nanti.” (QS. Al-Ahzab: 21)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah) takut akan tertimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Bukhary:
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى.
“Semua manusia akan masuk surga kecuali orang yang enggan.”
Para shahabat bertanya: “Siapakah orang yang enggan masuk surga itu wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.
“Siapa yang mentaatiku maka dia pasti akan masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku berarti dia enggan masuk surga.”
Berpegang tegung dengan agama Allah –maksud saya– persatuan itu harus dibangun di atas kebenaran, dengan kebenaran dan di dalam kebenaran. Dan termasuk prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersatu di atas kebenaran dan menyingkirkan perpecahan dan perselisihan, ini yang pertama.
Yang kedua; bahwasanya sebuah kesalahan jika telah menyebar luas dan nampak jelas, sama saja menyebarnya kesalahan ini melalui kaset, atau kitab, atau makalah atau selainnya, dan nampak jelas bahwa itu merupakan kesalahan, maka wajib membantahnya dalam rangka menjaga syariat.
Karena Nabi shallallahu alaihi was salam bersabda sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih (Muslim) dari riwayat Abu Sa’id:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلٍ.
“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan setelah itu tidak ada lagi iman yang tersisa walaupun seberat biji sawi.”
Jadi wajib membantah kesalahan dan menjelaskan kebenaran kepada manusia, karena ini merupakan kewajiban syar’i yang hukumnya fardhu kifayah. Membantah kesalahan hukumnya wajib.
Dan manusia wajib untuk memahami –dan ini adalah perkara ketiga– bahwasanya tidak otomatis ketika engkau membantah orang yang bersalah berarti kesalahan ini atau orang yang mengatakan kesalahan ini berarti seorang mubtadi’. Tidak ada kemestian antara membantah orang yang salah dengan memvonis seseorang sebagai mubtadi’.
Jadi terkadang pihak yang dibantah memang seorang mubtadi’ dan berhak divonis demikian, namun bisa juga dia masih seorang sunni dan bukan seorang mubtadi’. Tidak ada kemestian diantara keduanya.
Barangsiapa yang memperhatikan perkataan-perkataan para imam di masa lalu dan sikap-sikap mereka dahulu dan di masa ini, akan jelas perkara ini baginya.
Perkara keempat; yaitu di dalam perkataan si penanya ini bahwasanya tidak boleh membantah secara terang-terangan dan tidak boleh mentahdzirnya karena hal ini akan mencerai-berai dan memecah-belah persatuan.
(Bantahannya): Bukankah terus-menerus dalam kesalahan dan mendiamkan kesalahan tersebut merupakan sikap membenarkan kesalahan dan akan mengulang kesalahan serupa, serta akan menghancurkan barisan Salafiyyun dari dalam karena mendiamkan kebatilan, sehingga kebatilan ini akan nampak dalam bentuk kebenaran di pandangan manusia sehingga diyakini oleh manusia, atau dikatakan oleh manusia atau dianggap sebagai agama Allah?! Ini lebih besar lagi kejahatannya.
Dan tidak boleh bagimu untuk mengatakan ucapan ini, dan tidak akan mengatakan ucapan seperti ini orang yang mengetahui jalan yang telah ditempuh oleh para salaf ketika membantah orang yang salah. Terlebih lagi jika kesalahan itu telah tersebar luas ke mana-mana.
Berbeda jika kesalahan itu terbatas, tidak tersebar, tidak meluas, tidak terang-terangan, tidak diketahui oleh manusia, tidak ada seorang pun yang mendengarnya, tidak ada seorang pun yang membacanya, tidak ditulis kepada seorang pun, dan tidak sampai kepada seorang pun.
Tetapi engkau sendirian yang mengetahui kesalahan itu yang dia ucapkan kepadamu, maka nasehatilah dia dengan baik dan jangan mencelanya, jika dia orang yang sifatnya seperti dalam pertanyaan, yaitu orang yang di atas as-Sunnah dan suka menyebarkannya. Dia jelaskan kepadanya dan dia nasehati.
Tetapi juga yang harus diketahui jika dia orang yang di atas as-Sunnah dan suka menyebarkan as-Sunnah, namun kesalahannya terang-terangan maka wajib untuk membantah kesalahannya dan kesalahan ini tidak boleh disetujui.
Nu’aim bin Hammad merupakan seorang imam Ahlus Sunnah, namun beliau dibicarakan dalam hal dhabt (kekuatan dan ketelitian hafalannya -pent). Tetapi beliau adalah orang yang kokoh di atas as-Sunnah dan keras terhadap ahlul bid’ah.
Suatu hari beliau duduk menyampaikan sebuah hadits di hadapan para muridnya sambil membawa kertas lalu para muridnya menulisnya. Di majelis itu dihadiri oleh Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Ma’in. Nu’aim berkata meriwayatkan sebuah hadits: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al-Mubarak dari Ibnu Aun demikian demikian…”
Maka Yahya berkata di majelis tersebut: “Saya kira riwayat hadits ini bukan dari jalan Ibnul Mubarak dari Ibnu Aun.”
Maka Nu’aim pun marah seraya mengatakan: “Engkau berani menyalahkan diriku?!” (kalimat yang kami tidak paham -pent) Yahya bukan muridnya, beliau hanya menghadiri saja.
Nu’aim melanjutkan: “Kami membaca tulisan, sedangkan engkau berani menyalahkanku dengan ingatanmu saja?”
Yahya menjawab: “Saya menunjukkan kesalahan Anda agar Anda menjadi baik.” Namun beliau marah dan para murid-muridnya pun ikut marah seraya melotot kepada Yahya.
Yahya berkata: “Tatkala saya melihat beliau marah maka saya katakan, “Demi Allah, riwayat hadits yang benar bukan dari Ibnul Mubarak dari Ibnu Aun. Tadi sudah saya katakan bahwa sepertinya bukan haditsnya. Adapun jika dianggap bahwa kami menentang, maka demi Allah bukan demikan perkaranya.”
Lihatlah sikap adil Nu’aim dan teguhnya beliau di dalam berpegang dengan as-Sunnah. Beliau tidak keras kepala dan tidak sombong serta tidak marah berlebihan!
Beliau bangkit menuju rumahnya dan mengeluarkan kitab catatan haditsnya, lalu beliau keluar seraya berkata, “Mana orang yang berani menyatakan bahwa Abu Zakariyya (Yahya bin Ma’in) bukan Amirul Mu’minin dalam bidang hadits. Wahai Abu Zakariyya, engkau benar dan saya yang keliru. Tadi bukan riwayat Ibnul Mubarak dari Ibnu Aun, tetapi dari jalan Ibnul Mubarak dari si fulan.”
Oleh karena inilah para imam menyebutkan kisah ini sebagai salah satu keutamaan di dalam biografi Nu’aim. Beliau diberitahu kesalahannya dan bersedia rujuk.
Sudah jelas?! Jadi jangan engkau katakan bahwa hal ini akan mencerai-berai dan memecah belah!!
Mendiamkan kesalahan adalah kesalahan. Barangsiapa mengetahui sebuah kesalahan maka wajib untuk menjelaskannya dan wajib untuk menerangkannya.
Orang yang diketahui keimamannya di dalam as-Sunnah dan diketahui telah lama di atas as-Sunnah serta diketahui keteguhannya dalam berpegang as-Sunnah dan usahanya menolong as-Sunnah dengan pengorbanan lahir batin, kehormatannya tetap dijaga namun kesalahannya tetap wajib untuk dibantah.
Adapun orang-orang yang berpenampilan dengan baju as-Sunnah, tapi dia menipu manusia dengan mempengaruhi manusia dengan kedok as-Sunnah hingga menipu orang banyak. Apabila mereka telah merasa aman maka mereka pun akan mengeluarkan racun-racun mereka dari waktu ke waktu dan menampakkan apa yang selama ini mereka sembunyikan. Padahal Allah mengetahui makar yang mereka siapkan.
Tetapi tidak ada satu perkara pun, tidak ada seorang pun yang merahasiakan sebuah perkara, melainkan Allah pasti akan menampakkan hakekatnya melalui kebodohan lisannya.
Al-Mufadhdhal bin Muhalhal berkata sebagaimana disebutkan di dalam al-Ibanah al-Kubra karya Ibnu Baththah rahimahullah:
“Seandainya seorang ahli bi’dah di awal majelisnya langsung menyampaikan kebid’ahan kepadamu, niscaya engkau akan memperingatan bahayanya dan lari menghindarinya, tetapi dia akan menyampaikan as-Sunnah kepadamu di awal majelisnya, lalu dia akan menyusupkan kebid’ahan. Lalu jika bid’ah itu telah masuk ke dalam hatimu, kapankah kiranya dia akan keluar?!”
Maksudnya bid’ah yang disembunyikan ini, kapan dia akan keluar?! Engkau membutuhkan usaha yang sangat berat.
Seorang penyair berkata:
عَشِقْتُ الْهَوَى قَبْلَ أَن أَعْرِفَ الْهَوَى فَصَادَفَ قَلْبًا خَالِيًا فَتَمَكَنَا
Aku menyukai hawa nafsu sebelum aku mengenal hawa nafsu
Jadilah dia menjumpai hati yang kosong sehingga bersarang di dalamnya
Sudah jelas?! Maka berhati-hatilah –baarakallahu fiikum– terhadap ungkapan-ungkapan semacam ini!!
Channel Telegram = https://t.me/jujurlahselamanya
KOMENTAR