Tuntunan Khitbah (Melamar) dalam Islam, Tata Cara Khitbah Lamaran Menurut Islam.
Alhamdulillah, sebuah nikmat berharga kita masih bisa menghirup udara pagi ini. Tergerak hati untuk bisa terus menimba ilmu syar'i. Berikut kami sajikan artikel bermanfaat tentang khitbah / melamar yang insyaallah bermanfaat bagi pembaca. Barakallahu fiikum:
Tuntunan Khitbah (Melamar) dalam Islam
Tuntunan Khitbah (Melamar) dalam Islam via Pexels |
Apa yang perlu kita lakukan sebelum melamar?
Sebelum melamar, maka kita harus mengenal terlebih dahulu pasangan yang hendak kita lamar. Kemudian melihat parasnya. Proses ini biasa disebut dengan ta'aruf dan nazhor.
Artikel tentang ta'aruf dan nazhor bisa kita baca melaluli link berikut : klik disini.
Jangan Asal Lamar, Kenali Dulu Calon Pasanganmu!
Sebelum masuk tahap khitbah, hendaklah seorang pria muslim bertanya kepada diri sendiri, “Apakah wanita yang akan kupinang itu termasuk wanita yang salihah? Mengapa aku memilih wanita itu untuk kujadikan istri?”
Ketahuilah, istri adalah fondasi dan tiang rumah tangga. Jika istri itu salihah, akan baiklah rumah tangga.
Sebaliknya, jika si istri rusak, hancurlah rumah tangga. Seorang muslim harus berpikir panjang dalam hal memilih pasangan hidupnya. Hendaklah dia menggunakan akal yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya dan tidak semata-mata menggunakan perasaan.
Dia harus teliti dan berhati-hati ketika memilih pasangan hidupnya dalam mendayung bahtera rumah tangga. Sebab, kebanyakan problem dan pertikaian rumah tangga bersumber dari kesalahan memilih pasangan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, teladan kita, memerintah orang yang akan menikah untuk memilih wanita yang memiliki agama (berpegang teguh pada agama Islam dan berakhlak mulia), yaitu wanita yang salihah.
Wanita salihah akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Kesalehannya mendorongnya untuk melaksanakan hak-hak suaminya dan menahannya sehingga tidak membangkang kepada suaminya. Dengan demikian, si suami mendapat ketenteraman dan kesenangan hidup bersamanya. Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berfirman,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ
“Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian kecintaan dan kasih sayang.”(ar-Rum: 21)
Tidak ada kesenangan dan perhiasan di dunia ini yang bisa menandingi wanita salihah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang salihah.”(HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma)
Demikian juga si wanita. Ketika dipinang, hendaknya dia bertanya kepada dirinya, “Apakah pria tersebut termasuk pria yang saleh dan bertakwa?”
Kesalehan dan ketakwaan suami memberikan banyak pengaruh positif dalam kehidupan rumah tangga yang sarat dengan problem. Allah berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah memberikan jalan keluar baginya dan memberikan rezeki dari sisi yang tidak ia sangka.”(ath-Thalaq: 2—3)
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah memudahkan segala urusannya.”
(ath-Thalaq: 4)
(ath-Thalaq: 4)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”(HR. at-Tirmidzi, beliau berkata, “Ini hadits hasan shahih.”)
Jika sudah mantap, baru khitbah.
Setelah seseorang mengetahui keadaan si wanita dan mantap untuk menjadikannya sebagai istri, dilakukanlah tahap khitbah. Khitbah adalah seorang pria meminta wanita dari walinya dengan tujuan menikahinya.
Permintaan ini harus diungkapkan dengan jelas, seperti, “Saya ingin menikahi putri Bapak” atau “Saya ingin putri Bapak menjadi istri saya.”
Khitbah bertujuan mengetahui persetujuan si wanita dan walinya, karena keridhaan si wanita dan izin walinya adalah rukun pernikahan. Tidak sah pernikahan tanpa dua hal tersebut.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam melarang menikahi seorang wanita tanpa izinnya. Beliau bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga diajak musyawarah, sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, ”(Izinnya adalah) diamnya.”
Dari hadits ini diketahui bahwa seorang janda harus dimintai persetujuannya secara terang-terangan oleh walinya ketika hendak dinikahkan. Adapun gadis, persetujuannya cukup dengan diamnya karena seringnya gadis itu malu untuk menyatakan izin terang-terangan.
Namun, harus diperhatikan bahwa diamnya itu karena ridha, bukan karena menolak. Hal itu biasanya tidak akan samar bagi walinya dan akan tampak tanda-tandanya. Adapun tentang disyaratkannya persetujuan wali, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
Namun, harus diperhatikan bahwa diamnya itu karena ridha, bukan karena menolak. Hal itu biasanya tidak akan samar bagi walinya dan akan tampak tanda-tandanya. Adapun tentang disyaratkannya persetujuan wali, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada (tidak sah, –pent.) nikah tanpa wali.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
Khitbah bisa berbeda-beda caranya sesuai dengan situasi dan kondisi. Bisa dengan cara :
- si pria mendatangi sendiri wali si wanita, lalu menyatakan niatnya;
- bisa dengan cara mengutus utusan, dan
- bisa juga melalui surat.
Jika pria yang meminang ingin mengurungkan niatnya untuk menikah, hendaknya dia mengabarkan hal itu dengan penuh adab dan sopan santun serta tidak menyiarkan pengunduran dirinya. Hal ini dilakukan agar tidak melukai hati si wanita dan keluarganya.
Larangan bagi Pria Meminang Wanita yang Sedang Dipinang oleh Saudaranya Sesama Muslim
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melarang pria muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh saudaranya sesama muslim. Sebab, hal ini mengandung kezaliman dan tidak menghargai hak saudaranya, sehingga bisa mengundang permusuhan dan kebencian. Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah salah seorang dari kalian meminang (wanita) yang telah dilamar oleh saudaranya, hingga pelamar sebelumnya meninggalkan si wanita atau memberi izin kepadanya.”(Muttafaqun ‘alaihi)
"Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju." (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Jika seorang pria muslim telah meminang si wanita, pria lain tidak boleh meminangnya, kecuali pada salah satu dari tiga keadaan berikut.
- Diketahui dengan jelas bahwa pelamar pertama ditolak.
- Pelamar pertama meninggalkan lamarannya.
- Pelamar pertama memberi izin kepada pria kedua untuk meminang, yang hal ini berarti pelamar pertama mengundurkan diri.
Adapun kisah Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha yang meminta nasihat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tatkala dilamar oleh tiga sahabat mulia, yaitu Abu Jahm, Mu’awiyah, dan Usamah radhiyallahu ‘anhum, hal ini dibawa kepada pemahaman bahwa para sahabat tersebut tidak saling mengetahui lamaran saudaranya.
Wali Boleh Menawarkan Anaknya Kepada Pria yang Shalih
Wali boleh menawarkan putrinya kepada pria yang saleh untuk dinikahkan dengannya, sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya, Hafshah radhiyallahu ‘anha.
‘Umar menawarkan Hafshah kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, tetapi ‘Utsman belum berhasrat untuk menikah lagi. Kemudian, ‘Umar menawarkannya kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, tetapi Abu Bakr tidak memberikan keputusan—karena menjaga rahasia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kemudian, datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meminang Hafshah dan menikahinya.
Kesalahan-kesalahan yang biasa terjadi dalam proses Khitbah
1. Cincin tunangan
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Mengenakan cincin pertunangan bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Jika diyakini bahwa cincin itu bisa menumbuhkan cinta antara pasangan suami istri dan tidak memakainya akan memengaruhi keharmonisan hubungan mereka, hal ini terhitung kesyirikan (yang pelakunya akan diazab di neraka, -pent.).
Hal ini termasuk keyakinan jahiliah. Oleh karena itu, cincin pertunangan tidak boleh sama sekali dipakai karena:
Hal ini termasuk keyakinan jahiliah. Oleh karena itu, cincin pertunangan tidak boleh sama sekali dipakai karena:
Tindakan tersebut adalah perbuatan membebek kepada orang-orang yang tidak ada kebaikan sama sekali pada mereka. Itu adalah adat (asing, –pent.) yang datang kepada kaum muslimin, bukan adat kaum muslimin.
Jika disertai keyakinan bisa memengaruhi keharmonisan suami istri, pemakaian cincin tersebut termasuk kesyirikan. Wala haula wala quwwata illa billah.”
(al–Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al–Fauzan)
2. Berkhalwat (berdua-berduaan) setelah khitbah
Ingat, setelah khitbah antara laki-laki dan perempuan masih belum halal sebagai suami istri. Jadi haram berkhalwat, chatting, SMS-an, telponan-an dan segala sesuatu yang mengantarkan kepada fitnah (zina).
3. Melamar wanita yang sudah di-khitbah oleh saudara kita muslim
Sudah dijelaskan di atas. Scroll up!
Apa yang dilakukan setelah khitbah?
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Tulisan ini bersumber:
* https://qonitah.com/etika-meminang-dalam-islam/
* https://asysyariah.com/proses-syar%E2%80%99i-sebuah-pernikahan/
Jazaakallohukhoiron
BalasHapusJazaakallahu khoiron
BalasHapusJazakallahu khoyr
BalasHapus