TIDAK MENJAMAK SHOLAT SEBELUM BERANGKAT SAFAR, KECUALI JIKA KONDISI YANG MENYULITKAN
TIDAK MENJAMAK SHOLAT SEBELUM BERANGKAT SAFAR, KECUALI JIKA KONDISI YANG MENYULITKAN
Salah satu kemudahan yang Allah berikan kepada seorang musafir adalah kebolehan menjamak sholat, menggabungkan 2 sholat dalam satu waktu, yaitu Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Namun, kemudahan ini baru boleh dilakukan saat seseorang sudah meninggalkan daerah mukimnya atau dalam perjalanan safar. Saat seorang masih berada di rumah kediamannya saat mukim, secara asal menjamak sholat belum boleh dilakukan.Di antara beberapa hadits tentang kebolehan menjamak sholat saat safar adalah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا
Dari Anas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam jika ingin menjamak dua sholat dalam safar, beliau mengakhirkan waktu Dzhuhur hingga masuk waktu Ashar kemudian menjamak di antara keduanya (H.R Muslim)
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Muadz bin Jabal -semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika berada pada pertempuran Tabuk, jika matahari tergelincir sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar. Jika beliau pergi sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan Dzhuhur hingga beliau turun di waktu Ashar. Dan pada waktu Maghrib juga seperti itu. Jika matahari terbenam sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Maghrib dan Isya. Jika beliau pergi sebelum matahari tenggelam, beliau mengakhirkan Maghrib hingga turun di waktu Isya’, kemudian menjamak keduanya (H.R Abu Dawud)
Keringanan menjamak sholat tersebut adalah karena safar. Barulah boleh dilakukan saat sudah menyandang predikat sebagai musafir. Atau, ia sudah dalam proses perjalanan meninggalkan bangunan-bangunan yang ada dalam wilayah mukimnya. Saat itu ia sudah boleh menqoshor maupun menjamak sholat.
Sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam dan Umar bin al-Khoththob mulai mengqoshor sholat dan mengambil keringanan-keringanan safar saat sudah meninggalkan bangunan-bangunan di wilayah mukimnya. Pada saat itu, jika perjalanan sudah menempuh sekitar 3 mil, sudah terpisah dari pemukiman di wilayah mukimnya. Satu mil jika dikonversikan dalam meter adalah sekitar 1.600 meter atau 1,6 km (Taudhihul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam (2/539)).
Sehingga, setidaknya saat sudah menempuh 3 mil atau sekitar 4,8 km dari kediaman mukimnya, seseorang sudah boleh melakukan keringanan-keringanan dalam safar.
عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْقَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ (شَكَّ شعبة) صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim)
عَنِ اللَّجْلاَجِ, قَالَ : كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي الصَّلاَة وَيَفْطُرُ
Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445)
Namun, jika seseorang masih berada di tempat kediamannya, atau masjid yang dekat dengan rumah tempatnya bermukim, ia masih hendak akan berangkat safar, belum boleh melakukan keringanan-keringanan yang dilakukan musafir, termasuk menjamak sholat.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah nomor 8136 disebutkan tentang hal itu. Terjemahan fatwanya adalah sebagai berikut:
Pertanyaan: “Ada seseorang yang hendak safar, ia masih berada di tempat tinggalnya. Bolehkah bagi dia untuk menjamak sholat Dzhuhur dengan Ashar tanpa qoshor? Dalam keadaan ia tidak bisa sholat Ashar hingga sampainya ia di tempat yang dituju bersamaan dengan masuknya waktu Maghrib (di sana)?”
Jawaban al-Lajnah adDaimah:
Tidak boleh menjamak sholat Ashar dengan Dzhuhur atau Isya dengan Maghrib bagi orang yang berniat safar selama ia masih berada di tempat tinggalnya, belum mulai melakukan perjalanan (safar). Karena belum adanya kondisi yang memperbolehkannya untuk menjamak, yaitu safar. Namun, keringanan dalam mengqoshor dan menjamak (sholat) adalah saat ia sudah meninggalkan (deretan) pemukiman tempat tinggalnya (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (8/107))
Demikianlah keadaan secara asal. Tidak boleh menjamak sholat jika ia belum menjadi musafir. Namun, apabila dirasa kesulitan bagi seseorang yang mukim (hendak safar) kalau tidak menjamak sholatnya, boleh bagi dia menjamak saat masih di kediaman tempat tinggalnya. Hal itu khusus dalam kondisi yang menyulitkan. Ia menjamak sholat bukan karena sebagai musafir, namun sebagai mukim yang mengalami kesulitan melakukan sholat masing-masing pada waktunya.
Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah menjamak sholat di Madinah bukan karena takut dan juga bukan karena hujan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, dan juga bukan karena hujan. Dalam hadits Waki’ dinyatakan: Aku (Said bin Jubair) berkata kepada Ibnu Abbas: Mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas berkata: Agar tidak memberatkan umatnya (H.R Muslim)
Ada pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah bagi seorang yang hendak safar dan dirasa menyulitkan jika ia melakukan sholat di pesawat dalam perjalanan yang panjang. Beliau membolehkan menjamak sholat sebelum berangkat safar karena sebab kesulitan itu. Bukan karena keringanan dalam safar. Berikut ini terjemahan fatwa beliau:
Pertanyaan : Seseorang yang hendak safar perjalanan udara jauh, bolehkah menjamak Ashar dengan Dzhuhur dengan jamak taqdim di negerinya untuk menghindarkan kesulitan sholat di pesawat karena sulitnya tempat pelaksanaan sholat, atau kesulitan menghadap kiblat, atau karena gangguan kegaduhan atau guncangan dalam pesawat, dan semisalnya?
Jawaban Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah:
Ya, hal itu diperbolehkan. Namun ia menjamak saja tanpa mengqoshor. Karena sebab kesulitan. Bukan karena sebab safar. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkhutbah di hadapan manusia sejak Ashar. Telah terbenam matahari dan telah nampak bintang-bintang, ada yang mengatakan: (mari menegakkan) sholat... Ibnu Abbas berkata: Aku lebih tahu tentang hal itu dibandingkan engkau. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, tidak pula karena hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas menyatakan: Agar tidak menyulitkan umatnya (Tsamarootut Tadwiin min Masaail Ibn Utsaimin yang disusun Dr. Ahmad bin Abdirrahman al-Qodhiy(1/40))
Catatan:
Pada buku “Fiqh Bersuci dan Sholat” yang saya tulis di cetakan pertama, dalam Bab Sholat Musafir saya menjelaskan bolehnya menjamak sholat saat akan berangkat safar berdasarkan hadits Muadz di atas. Padahal sebenarnya hadits itu menjelaskan kondisi Nabi saat safar di Tabuk.
Penjelasan tersebut adalah suatu kesalahan yang saya bertaubat kepada Allah Ta’ala tentang hal itu, dan tulisan ini adalah sekaligus sebagai ralat dari penjelasan di buku itu.
(Abu Utsman Kharisman)
WA al I'tishom
Foto : Car Dashboard | Sumber: Pixabay |
KOMENTAR