RAGU DAGING / AYAM DI RUMAH MAKAN / PASAR, BAGAIMANA YA HUKUMNYA?
RAGU DAGING DI RUMAH MAKAN / PASAR, BAGAIMANA YA HUKUMNYA?
Syaikh Ubaid Al Jabiri hafizhahullah
Tanya:
Bolehkah kita makan di daging yang ada di restoran dan rumah makan, yang kami ragu cara penyembelihannya? Restoran ini ada di negeri muslim.
Jawab:
Yang ditunjukkan oleh dalil Al Quran, hadis, dan ijmak, bahwa makanan kaum muslimin halal hukumnya, baik sembelihan dan selainnya.
Demikian juga, dalil juga menunjukkan halalnya makanan Ahlul Kitab, baik sembelihan dan selainnya.
Ini merupakan kaidah syariat yang ditunjukkan oleh dalil yang pasti.
_Sehingga, seharusnya tetap berada pada hukum asal dan kaidah ini._
Maka daging yang engkau dapatkan di tengah kaum muslimin, makanlah. Demikian pula apa yang engkau dapatkan di tengah Ahlul Kitab, makanlah.
‼️ Kecuali, jika engkau yakin bahwa sebuah pabrik, baik pabrik muslim, Yahudi, atau Nasrani menyembelih dengan cara waqd, yakni dengan cara setrum listrik, cekikan, atau dibius. Ini haram. Jika engkau tahu ciri-ciri pabrik yang seperti ini, maka jangan makan dari daging yang didatangkan darinya.
⁉️ *Adapun jika perkaranya tidak jelas, maka kembalikan ke asalnya.*
Contohnya, engkau tahu di Inggris, Amerika, atau Perancis, ada sebuah pabrik yang menyembelih dengan cara tidak syar'i, tetapi engkau tidak tahu, engkau tidak bisa membedakannya, maka engkau kembali ke hukum asalnya *(yakni, hukumnya halal)*
الذي دلَّ عليه الدليل من الكتابِ والسُّنة والإجماع؛ حِلُّ طعام المسلمين من ذبائح وغيرها، وكذلك قام هذا الدَّليل على حِلِّ طعامِ أهل الكتاب، من ذبائح وغيرها، هذه القاعدة الشرعية التي دلَّ الدَّليل القاطع عليها؛فالواجب استصحاب هذا الأصل وهذه القاعدة، فما وجدتهُ في المسلمين من لحوم فكُلْهُ، وكذلك ما وجدتهُ في أهل الكتاب فكُلْهُ، إلَّا إذا تيقَّنت أنَّ مصنعًا من المصانع سواءً كان مصنع مسلم، أو مصنع يهودي أو نصراني يذبحُ بالوقد، وهو ما يسمى الصعق الكهربائي، أو الخنق، أو التدويخ؛ فهذا حرام، إذا عرفت علامة هذا المصنع؛ فلا تأكل من اللحم الذي يُستوردُ منه.
أمَّا إذا اشتبه عليك الأمر فعُد للأصل، على سبيل المثال: لو كنت تعلمُ في بريطانيا، أو في أمريكا، أو في فرنسا، مصنع يذبحُ على غير الطريقة الشرعية، لكنك لا تعرفه، لا تميزه من غيره، فأنت تستصحب هذا الأصل.
Dengar audio:
https://archive.org/download/SyaikhUbaid_201707/Syaikh%20Ubaid.mp3
Website: tashfiyah.com ||| telegram.tashfiyah.com
Gabung Channel Majalah Tashfiyah : telegram.me/majalahtashfiyah
Sumber Gambar : Pixabay |
Permasalahan ini, juga pernah dibahas dalam rubrik di Majalah Asysyariah yang dijawab oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini, Al Makassari hafizhahullah
Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Karena ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apapun. Bahkan ada ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar.
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Tasmiyah yaitu ucapan ‘Bismillah’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib, bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan.
Apabila seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia telah mengetahui hukumnya, maka dia berdosa dan binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram.
Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ ketidaktahuan tentang hukum tersebut, maka dia tidak berdosa. Namun penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi.
Dia tidak berdosa berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa, dia mendapatkan udzur yang dengannya dia tidak berdosa. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Adapun penyembelihan yang dilakukannya dianggap tidak sah karena membaca tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan, berdasarkan:
1. Firman Allah :
“Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya).” (Al-An’am: 118)
2. Firman Allah :
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kefasikan.” (Al-An’am: 121)
3. Hadits Rafi’ bin Khadij radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Alat apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan nama Allah atasnya maka makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang. Sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya, dan bahwa binatang yang disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan, dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (35/239-240), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484-485), dan guru kami Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668).[1]
Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya, maka tidak boleh baginya untuk memakan daging tersebut.
Adapun ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak, apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240): “Namun jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, boleh baginya untuk memakannya dengan menyebut nama Allah atasnya, dengan dasar membawa (menganggap) amalan kaum muslimin kepada amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Sebagaimana telah tsabit (tetap) dalam Ash-Shahih [2]:
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
“Bahwasanya suatu kaum berkata (kepada Rasulullah): ‘Wahai Rasul Allah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang dengan membawa daging (untuk kami) sedangkan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah n menjawab: ‘Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya[3], kemudian makanlah’.”
Beliau juga berkata (35/240): “Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging sembelihan itu. Jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya.”
Semakna dengan ini penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481-482) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah di atas: “Hal ini karena seseorang dituntut untuk membenarkan amalan yang dilakukannya. Bukan dituntut untuk mengurusi sah tidaknya amalan orang lain. Karena suatu amalan bila dikerjakan oleh ahlinya maka hukum asalnya adalah bahwa amalan itu sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya.
Jadi, kita mengatakan: ‘Janganlah kalian memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya’, dan jika kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, maka kita tidak berdosa, karena Allah l berfirman:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Namun jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka tidak boleh bagi kita untuk memakannya.”
Begitu pula fatwa Al-’Allamah Muqbil Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah “Kita mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak, maka hukum asal pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah.
Namun jika engkau yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, maka yang zhahir (nampak) -dalam permasalahan ini- engkau tidak boleh memakannya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah l akan memberi ganti yang lebih baik, wallahul musta’an”.
Demikian pula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/367) setelah menyebutkan hadits Aisyah di atas: “Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang maka amalannya dibawa kepada penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah, meskipun masuk Islamnya belum lama, dalam rangka berbaik sangka kepadanya. Maka halal bagi seseorang untuk makan daging sembelihannya dan jangan membebani diri untuk menyelidiki proses penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan ketika hendak makan. Tanpa mencari tahu tentang penyebutan nama Allah atasnya saat penyembelihan.”
Tersisa satu permasalahan terkait dengan hal ini. Yaitu apabila tersebar informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau daging yang proses penyembelihannya tidak syar’i dan tidak ada kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak meyakinkan.
Namun bagi sebagian orang, informasi itu kuat sehingga menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa hal itu benar. Maka wajib atas mereka untuk bertanya dan meminta informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Al-Hakim dan yang lainnya, dari Al-Hasan bin Ali z dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` (1/44) dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/222).
Yang serupa dengan ini adalah fatwa Al-’Allamah Al-Albani t ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging-daging sembelihan dari Eropa4, yang diduga kuat bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i, sedangkan daging-daging itu dijual di pasar bercampur dengan daging-daging sembelihan lokal yang syar’i, tanpa bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Apakah wajib atas seorang muslim untuk menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada pihak yang tepercaya?
Beliau menjawab: “Selama ada prasangka kuat –sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan– bahwa daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang syar’i, maka wajib atasnya untuk bertanya. Demikian pula, dibangun atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan tidak boleh menghadirinya. Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai –sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian atsar– adalah yang dipicu oleh rasa was-was[5]. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat, karena bukan sembelihan kaum muslimin, maka tidak termasuk was-was. Melainkan termasuk dalam bab pengamalan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Al-Hawi min Fatawa Al-Albani (hal. 370-371).
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis Ahli Kitab, karena tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan ahli kitab (Yahudi dan Nashara) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (tetap) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram. Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang meyakinkan. Sehingga pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i.
Kemudian Al-Lajnah Da’imah berkata: “Berdasarkan hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal menjadi haram. Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa-bangsa kafir selain kaum muslimin dan ahli kitab, maka hukumnya adalah haram. Karena sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai.
Meskipun demikian, barangsiapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Lihat Fatawa Al-Lajnah (22/400-402).
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
- Pendapat yang lain mengatakan apabila lupa membaca tasmiyah maka sembelihannya sah dan halal untuk dimakan -pen.
- Yaitu Shahih Al-Bukhari no. 2057 dan 5507.
- Yaitu membaca ‘Bismillah’ -pen.
- Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman firman Allahl:
“Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (Ahli Kitab) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Hukum asal sembelihan mereka adalaha halal seperti halnya sembelihan kaum muslimin. Kecuali jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan itu berstatus bangkai yang haram dikonsumsi. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/397) dan Asy-Syarhul Mumti’ (7/488-490) -pen - Yaitu keraguan dan prasangka lemah yang tidak beralasan. pen-
KOMENTAR