Renungan Untuk Mengingat Kematian dan Bersyukur. "Setiap jiwa pasti akan merasakan mati" (Ali Imran:185)
Bismillaah...
Hari ini...keindahan Syawwal masih menyelimuti, masih menebarkan beberapa keutamaan yang begitu indah, seperti betapa besarnya keutamaan berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, juga perihal menyempurnakan separuh agama di bulan Syawwal yang sungguh menawan dan mungkin membuat banyak hati tertawan rindu..
Namun bukan itu yang ingin saya selami hari ini...
Ada sketsa lain tentang bulan Syawwal yang ingin saya renungi..saya ingin kembali membuka barisan aksara yang pernah saya tulis di Syawwal tahun lalu...
Semoga tulisan ini menjadi alarm terutama bagi diri saya bahwa kehidupan di dunia ini ada batas waktunya, maka angan-angan yang panjang akan dunia, harus segera dipangkas dengan ingatan tentang kematian, begitupun nafas yang masih diizinkan Allah Ta'ala untuk berhembus hari ini, semoga tak membuat diri lupa untuk apa diciptakan, hingga lupa siapkan bekal untuk perjalanan panjang nanti.
Jangan sia-siakan sisa usia dengan sesuatu yang sia-sia....
Kembali bercermin hari ini, saat hujan tak sekedar menyisakan tanah yang basah, namun mata pun ikut bergerimis di 23 Syawwal 1437 H...
"Setiap jiwa pasti akan merasakan mati..." (Ali Imran:185)
Kematian...sebuah kepastian yang pasti akan menghampiri kita diantara begitu banyak ketidakpastian dalam hidup ini. Namun sayangnya,,kebanyakan kita seringkali tersibukkan menyiapkan segala yang belum pasti dibanding menyiapkan diri untuk sebuah kepastian bernama kematian.
Seperti halnya kebanyakan kita hari ini...
Hari ini,,mungkin sebagian kita sedang memutar kembali ingatan bahwa tepat sekian tahun yang lalu adalah hari dimana Allah Ta'ala menakdirkannya hadir ke dunia setelah sekitar sembilan bulan berselimut kasih sayang dalam perut Ibu.
Hari ini sebagian kita mungkin tengah mempersiapkan perayaan indah bertajuk "Hari Ulang Tahun",,entah untuknya,,anaknya atau kerabat dan temannya. Mungkin mereka lupa jika manusia yang paling mulia,,Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tak pernah merayakan hari kelahiran beliau,,begitu juga tiga generasi terbaik ummat ini. Tak ada satu pun dari mereka yg merayakan hari kelahirannya. Karenanya merayakan ulang tahun sama dengan merayakan kebid'ahan,,perayaan yang berakar dari sikap tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Ada pula yang sibuk menyiapkan pakaian untuk perayaan ulang tahunnya,,padahal mungkin saja di suatu tempat,,sebuah mesin tenun sedang memintal benang-benang kain kafan,,barangkali itu untuknya.
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)*
Mungkin ada pula yang tertawa penuh kebahagiaan menyambut usia baru,,padahal mungkin saja tak lama lagi akan ada tangisan penuh kesedihan dari keluarganya yang mengantar jenazahnya ke rumah terakhir.
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)
Hari ini,,mungkin sebagian yang lain sedang sibuk menghitung jumlah usia yang diberikan Allah Ta'ala untuknya,,lalu berhura-hura dengan dalih bentuk syukur,,padahal bentuk rasa syukur itu bukan begitu.
Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika dibangun di atas lima perkara. Yaitu dengan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,,mencintai-Nya,,mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala,,memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah." (1)
Sebagian yang lain mungkin tengah dihadang gelisah menghadapi pertanyaan "kapan" yang sering bertamu dari semua sisi,,kapan menikah?,,kapan punya anak?,,kapan punya rumah?,,kapan begini dan begitu. Usia yang menanjak seharusnya tidak membuat sabar dan baiksangka kita menurun,,sebab akan selalu ada hikmah yang bisa kita petik di setiap perubahan usia kita,,hikmah yang mengajak kita untuk menjadi lebih baik,,lebih sabar,,lebih bersyukur,,lebih berbaiksangka,,lebih mengingat kematian dan lebih menambah keimanan kita kepada-Nya sebelum kita benar-benar beranjak pergi meninggalkan dunia fana ini. Karena jika nyawa telah sampai di kerongkongan maka tertutuplah semua kesempatan itu.
Jika saja kita lebih sering merenungi segala nikmat-Nya,,yang tak kan mampu kita hitung,,maka tak ada lagi keluh yang menghiasi hati dan lisan kita. Tengok saja setiap nikmat yang melekat pada raga kita,,mata yang masih bisa melihat,,telinga yang masih mendengar,,udara yang masih bisa kita hirup,,jantung yang berdetak,,mulut yang masih mengeluarkan suara. Bukankah semua itu nikmat yang tak ternilai?? Jika sedikit saja nikmat kesehatan itu Allah ambil,,maka kita hanya bisa terbaring tak berdaya,,hanya mengharap bantuan orang lain. Mungkin saat itu kita baru akan mengingat-Nya,,lalu tak henti memohon kesembuhan dari-Nya. Namun saat nikmat kesehatan kembali hadir,,kebanyakan kita lebih sering lupa mengingat-Nya,,lupa tentang kematian,,lupa jika hidup di dunia ada batas waktunya.
Kegelisahan atas pertanyaan "kapan" semestinya bisa diredam dengan keyakinan akan iman kepada taqdir-Nya
Semestinya kita lebih gelisah jika di sekian usia yang telah Allah Ta'ala berikan,,kita belum menyadari untuk apa kita diciptakan,,kita belum juga introspeksi diri apa saja yang telah kita persiapkan untuk bekal kehidupan yang kekal nanti.
Sungguh ada yang lebih penting dari mengingat hari kelahiran,,yaitu mengingat kematian.
"Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)*
Bukankah saat gigi kita dicabut ada rasa sakit yang mendera? Lalu sudahkah kita merenungi bagaimana keadaan kita ketika nyawa kita dicabut dari jasadnya?
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al-An’am: 93)
Bukankah ujian lisan jauh lebih menegangkan dari ujian tulisan? Lalu sudahkah kita meresapi bagaimana keadaan kita ketika menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur? Mampukah lisan kita menjawabnya dengan benar?
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
Bukankah nilai nol di rapor kita selama menuntut ilmu itu menyedihkan? Lalu pernahkah kita menyadari bagaimana sedihnya kita jika amalan kita selama ini tak bernilai apa-apa di hadapan-Nya
“Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqon: 23)
Lalu bukankah kita seringkali diingatkan tentang itu semua?
Tapi lagi lagi kata "lupa" lebih sering hinggap di mata dan hati kita hingga lebih rela menukar bekal untuk hari yang kekal dengan keindahan semu yang tak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk.
Maka hari ini dan hari-hari yang akan datang persiapkan bekal untuk perjalanan menuju akhirat,,hapuslah keinginan merayakan hari kelahiran dengan segala sesuatu yang sia-sia bahkan dapat menimbulkan dosa,,hapus angan-angan tentang dunia yang jauh terbentang dan melenakan diri,,karena barangkali Malaikat Maut sudah begitu dekat tuk menjemput kita.
"Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut pada saat menghadap Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."
(an-Nazi'at: 37—42)
Mari lebih serius mengingat mati,,sebagaimana orang-orang shalih terdahulu yang bergetar hati mereka ketika mengingat kematian.
Yazid Ar-Raqasyi rahimahullah berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)*
Hadirkan hati saat mengingat kematian agar menghancurkan angan-angan akan dunia.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata, "Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)*
"Yaa Allah, berikanlah taufik kepada kami untuk senantiasa dalam ketaatan kepada-Mu di sisa usia kami dan berikanlah keistiqamahan diatas jalan al haq hingga Malaikat Maut menjemput kami.
aa Hayyu yaa Qoyyum,,jadikanlah kami hamba-Mu yang selalu mengingat kematian agar kami tak tertipu dengan kehidupan dunia yang fana ini. Yaa Arhamar Rahiimin...Wafatkanlah kami dalam keadaan Islam dan diatas Sunnah. Aamiin… Yaa Rabbal ‘Alamin."
Wallahu a'lam bish-shawab.
Saudaraku fillah...meskipun tulisan ini menggunakan kata"kita" namun sejatinya itu terhujam terutama untuk diri saya.
Selesai ditulis saat kemuning pagi 14 Syawwal 1436 H menghiasi pulau kecil di Utara Maluku.
Ummu 'Abdillah Afiqoh
Catatan Kaki:
(1). http://asysyariah.com/kewajiban-mensyukuri-nikmat/
Sebagian ayat,,hadits dan juga perkataan yang diberi simbol * dikutip dari tulisan Al Ustadzah Ummu Ishaq al Atsariyah yang berjudul "Mengingat Mati"
http://asysyariah.com/mengingat-mati/
Channel Telegram: https://bit.ly/MiftahDaarSaadah
Publikasi:
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
مفتاح دار السعادة
Miftah Daaris Sa'adah
------------------------------
Hari ini...keindahan Syawwal masih menyelimuti, masih menebarkan beberapa keutamaan yang begitu indah, seperti betapa besarnya keutamaan berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, juga perihal menyempurnakan separuh agama di bulan Syawwal yang sungguh menawan dan mungkin membuat banyak hati tertawan rindu..
Namun bukan itu yang ingin saya selami hari ini...
Ada sketsa lain tentang bulan Syawwal yang ingin saya renungi..saya ingin kembali membuka barisan aksara yang pernah saya tulis di Syawwal tahun lalu...
Semoga tulisan ini menjadi alarm terutama bagi diri saya bahwa kehidupan di dunia ini ada batas waktunya, maka angan-angan yang panjang akan dunia, harus segera dipangkas dengan ingatan tentang kematian, begitupun nafas yang masih diizinkan Allah Ta'ala untuk berhembus hari ini, semoga tak membuat diri lupa untuk apa diciptakan, hingga lupa siapkan bekal untuk perjalanan panjang nanti.
Jangan sia-siakan sisa usia dengan sesuatu yang sia-sia....
Kembali bercermin hari ini, saat hujan tak sekedar menyisakan tanah yang basah, namun mata pun ikut bergerimis di 23 Syawwal 1437 H...
Sumber Gambar: Pixabay |
RENUNGAN KEMATIAN DI HARI KELAHIRAN
"Setiap jiwa pasti akan merasakan mati..." (Ali Imran:185)
Kematian...sebuah kepastian yang pasti akan menghampiri kita diantara begitu banyak ketidakpastian dalam hidup ini. Namun sayangnya,,kebanyakan kita seringkali tersibukkan menyiapkan segala yang belum pasti dibanding menyiapkan diri untuk sebuah kepastian bernama kematian.
Seperti halnya kebanyakan kita hari ini...
Hari ini,,mungkin sebagian kita sedang memutar kembali ingatan bahwa tepat sekian tahun yang lalu adalah hari dimana Allah Ta'ala menakdirkannya hadir ke dunia setelah sekitar sembilan bulan berselimut kasih sayang dalam perut Ibu.
Hari ini sebagian kita mungkin tengah mempersiapkan perayaan indah bertajuk "Hari Ulang Tahun",,entah untuknya,,anaknya atau kerabat dan temannya. Mungkin mereka lupa jika manusia yang paling mulia,,Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tak pernah merayakan hari kelahiran beliau,,begitu juga tiga generasi terbaik ummat ini. Tak ada satu pun dari mereka yg merayakan hari kelahirannya. Karenanya merayakan ulang tahun sama dengan merayakan kebid'ahan,,perayaan yang berakar dari sikap tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Ada pula yang sibuk menyiapkan pakaian untuk perayaan ulang tahunnya,,padahal mungkin saja di suatu tempat,,sebuah mesin tenun sedang memintal benang-benang kain kafan,,barangkali itu untuknya.
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)*
Mungkin ada pula yang tertawa penuh kebahagiaan menyambut usia baru,,padahal mungkin saja tak lama lagi akan ada tangisan penuh kesedihan dari keluarganya yang mengantar jenazahnya ke rumah terakhir.
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)
Hari ini,,mungkin sebagian yang lain sedang sibuk menghitung jumlah usia yang diberikan Allah Ta'ala untuknya,,lalu berhura-hura dengan dalih bentuk syukur,,padahal bentuk rasa syukur itu bukan begitu.
Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika dibangun di atas lima perkara. Yaitu dengan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,,mencintai-Nya,,mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala,,memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah." (1)
Sebagian yang lain mungkin tengah dihadang gelisah menghadapi pertanyaan "kapan" yang sering bertamu dari semua sisi,,kapan menikah?,,kapan punya anak?,,kapan punya rumah?,,kapan begini dan begitu. Usia yang menanjak seharusnya tidak membuat sabar dan baiksangka kita menurun,,sebab akan selalu ada hikmah yang bisa kita petik di setiap perubahan usia kita,,hikmah yang mengajak kita untuk menjadi lebih baik,,lebih sabar,,lebih bersyukur,,lebih berbaiksangka,,lebih mengingat kematian dan lebih menambah keimanan kita kepada-Nya sebelum kita benar-benar beranjak pergi meninggalkan dunia fana ini. Karena jika nyawa telah sampai di kerongkongan maka tertutuplah semua kesempatan itu.
Jika saja kita lebih sering merenungi segala nikmat-Nya,,yang tak kan mampu kita hitung,,maka tak ada lagi keluh yang menghiasi hati dan lisan kita. Tengok saja setiap nikmat yang melekat pada raga kita,,mata yang masih bisa melihat,,telinga yang masih mendengar,,udara yang masih bisa kita hirup,,jantung yang berdetak,,mulut yang masih mengeluarkan suara. Bukankah semua itu nikmat yang tak ternilai?? Jika sedikit saja nikmat kesehatan itu Allah ambil,,maka kita hanya bisa terbaring tak berdaya,,hanya mengharap bantuan orang lain. Mungkin saat itu kita baru akan mengingat-Nya,,lalu tak henti memohon kesembuhan dari-Nya. Namun saat nikmat kesehatan kembali hadir,,kebanyakan kita lebih sering lupa mengingat-Nya,,lupa tentang kematian,,lupa jika hidup di dunia ada batas waktunya.
Kegelisahan atas pertanyaan "kapan" semestinya bisa diredam dengan keyakinan akan iman kepada taqdir-Nya
Semestinya kita lebih gelisah jika di sekian usia yang telah Allah Ta'ala berikan,,kita belum menyadari untuk apa kita diciptakan,,kita belum juga introspeksi diri apa saja yang telah kita persiapkan untuk bekal kehidupan yang kekal nanti.
Sungguh ada yang lebih penting dari mengingat hari kelahiran,,yaitu mengingat kematian.
"Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)*
Bukankah saat gigi kita dicabut ada rasa sakit yang mendera? Lalu sudahkah kita merenungi bagaimana keadaan kita ketika nyawa kita dicabut dari jasadnya?
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al-An’am: 93)
Bukankah ujian lisan jauh lebih menegangkan dari ujian tulisan? Lalu sudahkah kita meresapi bagaimana keadaan kita ketika menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur? Mampukah lisan kita menjawabnya dengan benar?
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)
Bukankah nilai nol di rapor kita selama menuntut ilmu itu menyedihkan? Lalu pernahkah kita menyadari bagaimana sedihnya kita jika amalan kita selama ini tak bernilai apa-apa di hadapan-Nya
“Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqon: 23)
Lalu bukankah kita seringkali diingatkan tentang itu semua?
Tapi lagi lagi kata "lupa" lebih sering hinggap di mata dan hati kita hingga lebih rela menukar bekal untuk hari yang kekal dengan keindahan semu yang tak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk.
Maka hari ini dan hari-hari yang akan datang persiapkan bekal untuk perjalanan menuju akhirat,,hapuslah keinginan merayakan hari kelahiran dengan segala sesuatu yang sia-sia bahkan dapat menimbulkan dosa,,hapus angan-angan tentang dunia yang jauh terbentang dan melenakan diri,,karena barangkali Malaikat Maut sudah begitu dekat tuk menjemput kita.
"Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut pada saat menghadap Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."
(an-Nazi'at: 37—42)
Mari lebih serius mengingat mati,,sebagaimana orang-orang shalih terdahulu yang bergetar hati mereka ketika mengingat kematian.
Yazid Ar-Raqasyi rahimahullah berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)*
Hadirkan hati saat mengingat kematian agar menghancurkan angan-angan akan dunia.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata, "Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)*
"Yaa Allah, berikanlah taufik kepada kami untuk senantiasa dalam ketaatan kepada-Mu di sisa usia kami dan berikanlah keistiqamahan diatas jalan al haq hingga Malaikat Maut menjemput kami.
aa Hayyu yaa Qoyyum,,jadikanlah kami hamba-Mu yang selalu mengingat kematian agar kami tak tertipu dengan kehidupan dunia yang fana ini. Yaa Arhamar Rahiimin...Wafatkanlah kami dalam keadaan Islam dan diatas Sunnah. Aamiin… Yaa Rabbal ‘Alamin."
Wallahu a'lam bish-shawab.
Saudaraku fillah...meskipun tulisan ini menggunakan kata"kita" namun sejatinya itu terhujam terutama untuk diri saya.
Selesai ditulis saat kemuning pagi 14 Syawwal 1436 H menghiasi pulau kecil di Utara Maluku.
Ummu 'Abdillah Afiqoh
Catatan Kaki:
(1). http://asysyariah.com/kewajiban-mensyukuri-nikmat/
Sebagian ayat,,hadits dan juga perkataan yang diberi simbol * dikutip dari tulisan Al Ustadzah Ummu Ishaq al Atsariyah yang berjudul "Mengingat Mati"
http://asysyariah.com/mengingat-mati/
Channel Telegram: https://bit.ly/MiftahDaarSaadah
Publikasi:
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
مفتاح دار السعادة
Miftah Daaris Sa'adah
------------------------------
KOMENTAR