PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)
PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)
1. Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri. Berdasarkan :
Firman Allah Ta’ala :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
“Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji anggur.” (HR. Al-Bukhari693)
«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا»
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat (kepada ulil amri), meskipun (yang menjadi ulil amri) adalah seorang budak habasyi.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676)
2. Ketaatan Kepada ulil amri tersebut wajib, baik dalam perkara yang kita sukai ataupun dalam perkara yang kita benci, selama ulil amri tersebut masih muslim
«أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Kami berbaiat (kepada Rasulullah) untuk mendengar dan mentaati (ulil amri), baik dalam kondisi kami senang atau benci, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan walaupun mereka menghalangi hak-hak kami. Dan kami berbaiat untuk tidak mencabut kepemimpinan tersebut dari orang yang memegangnya, kecuali jika kalian melihat (mendapati) kekufuran yang nyata (pada ulil amri tersebut) yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang kekufurannya.” (Al-Bukhari 7056, Muslim 1079)
3. Ketaatan kepada ulil amri tersebut wajib, baik ulil amri itu adil maupun zhalim/banyak melakukan kemungkaran
Rasulullah — shallallahu 'alaihi wa sallam — bersabda :
«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ»
“Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku atsarah (yakni korup) dan berbagai perkara yang kalian mengingkarinya.” Wahai Rasulullah kalau begitu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah menjawab,“Tunaikanlah kepada mereka (ulil amri) hak mereka (yakni taatilah mereka), dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Al-Bukhari 7052, Muslim 1843).
Menjelaskan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“berita ini merupakan salah satu mukjizat kenabian. Berita ini telah terjadi berulang-ulang, dan peristiwa tersebut didapati berkali-kali. Pada hadits tersebut terdapat dorongan untuk tetap mendengar dan mentaati (ulil amri) meskipun ulil amri-nya adalah seorang yang zhalim dan sangat lalim. Maka ulil amri tersebut tetap wajib ditunaikan haknya, yaitu ketaatan kepadanya, tidak memberontak terhadapnya dan tidak melepaskan (ketaatan) kepadanya. Namun (yang semestinya dilakukan adalah) memohon kepada Allah dalam menghilangkan gangguannya (kezhalimannya), mencegah kejelekannya, dan memperbaikinya.”
(lihat Syarh Muslim no. 1843)
Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggambarkan kezhaliman ulil amri, namun demikian tetap wajib mentaatinya, yaitu dalam hadits berikut,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati itu?”Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau mendengar dan mentaati pimpinan meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat!!” (Muslim 1847)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Pada hadits ini terdapat dalil untuk senantiasa konsisten bersama pemerintah muslimin dan pimpinannya, serta kewajiban mentaati mereka meskipun mereka berbuat fasik dan melakukan kemaksiatan berupa merampas harta dan yang lainnya. Maka wajib mentaati mereka dalam perkara selain maksiat.”
(lihat Syarh Muslim no. 1847)
4. Tidak Boleh Taat kepada ulil amri ketika diperintah kepada Kemaksiatan
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Wajib untuk mendengar dan mentaati (ulil amri) atas seorang muslim, baik dalam perkara yang ia sukai atau ia benci, selama ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Al-Bukhari 7144).
Yakni tidak mentaati perintah berbuat maksiat tersebut.
Bukan berarti kemudian keluar dari ketaatan kepada ulil amri secara total, atau menentang dan memberontak kepadanya. Tidak demikian. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan,
«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barangsiapa mendapat pada pimpinannya sesuatu (kemungkaran/kemungkaran) sehingga diapun membencinya, maka hendaknya dia bersabar (yakni tidak keluar dari ketaatan). Karena tidaklah seorangpun berpisah dari jama’ah (kaum muslimin) walaupun sejengkal saja, kemudian dia mati, kecuali matinya adalah kematian jahiliyyah.” (al-Bukhari 7143)
5. Apabila terjadi kemungkaran pada ulil amri, maka rakyat menasehatinya secara rahasia. Bukan menentangnya, atau memprotesnya di atas mimbar, atau berdemo, atau bahkan memberontaknya.
Hal ini sebagaimana bimbingan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“مَنْ أَرَاَد أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِن يَأْخُذُ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيهِ”
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang yang memiliki kekuasaan, maka janganlah menyampaikannya secara terang-terangan. Namun hendaknya dia mengambil tangannya, dan menyendiri dengannya. Apabila ia (penguasa tersebut) mau menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan). Apabila tidak, maka dia telah melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati penguasa).” (Ibnu Abi ‘Ashim hal. 508).
Majmu'ah Manhajul Anbiya
Join Telegram https://tlgrm.me/ManhajulAnbiya
Situs Resmi http://www.manhajul-anbiya.net
KOMENTAR