Bahaya Ketenaran / Cinta Popularitas / Ingin Terkenal, Kisah Ketawadhuan Salaf agar tidak terkenal
BAHAYA KETENARAN
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz hafizhahullah [Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ ذُنُوْبِيْ مَا وَطِئَ عَقِبِيْ اثْنَانِ.
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, I/495 –pent)
Ada orang-orang yang terkenal, sebagian mereka ada yang terkenal karena dia seorang qari’ Al-Qur’an, dia terkenal karena bagusnya bacaannya dan karena kemerduan suaranya, sehingga manusia banyak yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang merupakan seorang ulama yang dia terkenal karena ilmu, fatwa, wara’ dan kesalehannya, sehingga banyak manusia yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang sebagai seorang dai yang dia terkenal karena apa yang dia kerahkan dan dia upayakan untuk manusia, sehingga banyak dari mereka yang mendatanginya disebabkan karena Allah memberi mereka hidayah kepada kebenaran melalui perantaraan dia. Ada juga seseorang yang terkenal karena dia seorang yang menunaikan amanah, ada yang terkenal karena suka melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan seterusnya.
Ketenaran merupakan kedudukan yang sangat rawan untuk menggelincirkan seseorang. Oleh karena inilah Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu mewasiatkan untuk dirinya sendiri yang menjelaskan keadaan beliau dan menjelaskan apa yang wajib untuk dilakukan –katakanlah– oleh siapa saja yang memiliki pengikut, beliau mengatakan:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ ذُنُوْبِيْ مَا وَطِئَ عَقِبِيْ اثْنَانِ وَلَحَثَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِيْ.
Wajib atas siapa saja yang memiliki ketenaran atau dia termasuk orang yang menjadi idola manusia, untuk senantiasa menganggap rendah dirinya di tengah-tengah mereka, dan hendaknya dia menampakkan hal itu namun bukan agar dimuliakan oleh mereka. Tetapi dia melakukannya semata-mata agar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Jalla wa Ala. Dan poros dari hal itu adalah keikhlasan, karena sungguh diantara manusia ada yang terkadang merendahkan dirinya di hadapan manusia agar dia nampak atau menonjol (agar dianggap sebagai orang yang tawadhu’ –pent) diantara mereka. Yang semacam ini termasuk perbuatan syaithan.
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang, dan niscaya kalian akan menaburkan debu di kepalaku.”
Diantara mereka ada yang merendahkan dirinya di tengah-tengah manusia dalam keadaan Allah Jalla wa Ala mengetahui hatinya bahwa dia jujur dalam hal tersebut. Dia melakukannya karena takut perjumpaan dengan Allah Jalla wa 'Ala, dan dia takut terhadap hari ketika apa yang tersembunyi dalam dada diberi balasan setimpal, dan hari ketika semua yang ada di dalam hati dibongkar. Dan ketika itu tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dari ilmu Allah.
http://forumsalafy.net/bahaya-ketenaran/
ALLAH CINTA KEPADA SEORANG MU'MIN YANG TIDAK INGIN TERKENAL
Asy Syeikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin Ketika beliau mensyarah hadist Saad Bin Abi Waqqosh riwayat Muslim Bahwa Rosulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda "Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang At Taqiy, Al Ghoniy, Al Khofiy:
"Al Khofiy" adalah seorang mu'min yang tidak menonjolkan dirinya.
Dia tidak berambisi untuk:
- Dikenal manusia,
- Atau ingin disebut sebut,
- Atau menjadi perbincangan di kalangan manusia.
Engkau dapati dia:
- Dari rumahnya ke masjid,
- Atau dari masjidnya kerumahnya,
- Atau dari rumahnya kerumah kerabatnya atau temannya.
Dia tidak ingin menonjolkan dirinya.
Sumber: Syarah Riyadhus Sholihin 3/511
Telegram: https://bit.ly/Berbagiilmuagama
Alih bahasa: Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy
Menjauhi Popularitas
Dari Habib bin Abi Tsabit rahimahullah, katanya, “Pada suatu hari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya, lantas (ada beberapa) orang membuntutinya. Ia bertanya, ‘Apakah kalian punya keperluan?’
‘Tidak, akan tetapi kami ingin berjalan bersamamu,’ jawab mereka.
‘Kembalilah, sesungguhnya hal itu sebuah kehinaan bagi yang mengikuti dan membahayakan (fitnah) hati bagi yang diikuti,’ tukas Ibnu Mas’ud.” (Shifatush Shafwah, 1/406)
Dari al-Harits bin Suwaid rahimahullah, katanya, “Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Seandainya kalian mengetahui diriku (seperti) yang aku ketahui, pasti kalian akan menaburi tanah di atas kepalaku’.” (Shifatush Shafwah, 1/406, 497)
Dari Bistham bin Muslim rahimahullah, katanya, “Adalah Muhammad bin Sirin rahimahullah jika berjalan bersama seseorang, ia berdiri dan berkata, ‘Apakah kamu punya keperluan?’
Jika orang yang berjalan bersamanya mempunyai keperluan, maka ia tunaikan. Jika kembali berjalan bersamanya, ia bertanya lagi, ‘Apakah kamu mempunyai keperluan?’.” (Shifatush Shafwah 3/243)
Dari al-Hasan rahimahullah, salah seorang murid Ibnul Mubarak rahimahullah, katanya, “Pada suatu hari aku bepergian bersama Ibnul Mubarak. Lalu kami mendatangi tempat air minum yang manusia berkerumun untuk mengambil airnya. Ibnul Mubarak mendekat untuk minum. Tidak ada seorang pun yang mengenalnya sehingga mereka mendesak dan menyingkirkannya. Ketika telah keluar, berkatalah ia kepadaku, ‘Inilah kehidupan, yaitu kita tidak dikenal dan tidak dihormati.’
Ketika berada di Kufah, kitab manasik dibacakan kepadanya, hingga sampai pada hadits dan terdapat ucapan Abdullah bin al-Mubarak (Ibnul Mubarak, red.) dan kami mengambilnya. Ia berkata, ‘Siapa yang menulis ucapanku ini?’
Aku katakan, ‘Penulis.’
Maka ia mengerik tulisan itu dengan jari tangannya hingga terhapus kemudian berkata, ‘Siapakah aku hingga ditulis ucapannya?’.” (Shifatush Shafwah, 4/135)
Dari seseorang, katanya, “Aku melihat wajah al-Imam Ahmad sangat muram setelah dipuji seseorang (dengan ucapan) ‘Jazakallahu khairan (semoga Allah subhanahu wa ta’la membalas Anda dengan kebaikan, red.) atas perjuangan Islam Anda.’
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, ‘Bahkan Allah subhanahu wa ta’la telah memberi kebaikan Islam kepadaku. Siapakah dan apa aku ini?’.” (Siyar A’lamin Nubala, 11/225)
http://asysyariah.com/menjahui-popularitas/
Niatkan Ikhlas Semata Karena Allah
Di dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid, hingga dipanggil seraya ditunjukkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya dan dia pun mengakuinya. Kemudian ditanyakan, “Apa yang telah kamu kerjakan terhadap kenikmatan ini?”
Dia pun menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu hingga aku terbunuh mati syahid.”
Allah ‘azza wa jalla pun berkata kepadanya, “Sungguh, Engkau telah berdusta. Engkau berperang agar disebut sebagai seorang pejuang dan sebutan itu pun sudah engkau dapatkan.”
Kemudian orang tersebut diseret secara tengkurap hingga dilemparkan ke api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya,
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
(Yang kedua,) seorang pria yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya dan mampu membaca (serta menghafal) al-Qur’an. Dia dipanggil (untuk dihisab) dengan ditunjukkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya. Dia pun mengakuinya. Ditanyakan kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan terhadap kenikmatan-kenikmatan ini?”
Dia menjawab, “Aku telah menuntut ilmu kemudian mengajarkannya dan aku membaca (dan menghafal) al-Qur’an.”
Allah ‘azza wa jalla pun berkata kepadanya, “Sungguh, engkau telah berdusta. Engkau menuntut ilmu agar disebut sebagai alim ulama. Engkau membaca (dan menghafal) agar disebut qari’, dan gelar itu sudah engkau dapatkan.”
Kemudian pria tersebut diseret secara tengkurap hingga dilemparkan ke api neraka.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dan orang (yang ketiga yang didahulukan hisabnya pada hari kiamat) adalah seorang yang Allah ‘azza wa jalla melapangkan kehidupan baginya dan mengaruniainya semua jenis harta kekayaan. Dia dipanggil (untuk dihisab) seraya ditunjukkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya dan dia pun mengakuinya. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang telah kamu kerjakan terhadap kenikmatan-kenikmatan ini?”
Dia pun menjawab, “Tidak ada satu pun dari jalan yang Engkau inginkan untuk diinfakkan padanya kecuali telah aku infakkan semua demi Engkau, ya Allah!”
Allah ‘azza wa jalla pun berkata kepadanya, “Sungguh, engkau telah berdusta. Engkau lakukan itu semua agar engkau disebut sebagai dermawan, dan sebutan itu sudah engkau dapatkan.”
Lalu diperintahkan agar dia diseret secara tengkurap kemudian dilemparkan ke api neraka.
Hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya seseorang mengikhlaskan segala bentuk peribadatannya hanya semata-mata untuk Allah ‘azza wa jalla. Ketiga amalan tersebut merupakan amalan-amalan yang paling afdal dan paling mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla, apabila diniatkan ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla. Pada asalnya, semua amalan tersebut adalah jalan menuju ke surga.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk mengikhlaskan agama mereka hanya bagi Allah dan agar mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat. Dan demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)Namun, ketika tidak ikhlas atau diiringi dengan tendensi duniawi untuk mencari kedudukan serta popularitas, amalan tersebut justru bisa menjadi bumerang bagi pelakunya dan berakhir dengan kesengsaraan seperti yang dialami oleh tiga pria tersebut. Semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita darinya.
Dikutip dari http://asysyariah.com/bahaya-mencari-popularitas/
Berkata Bisyr bin Al Harits رحمه اللّهُ تعالى :
❝ Tidaklah bertaqwa kepada Allah orang yang cinta popularitas. ❞.
Siyar Ad Dzahabi (10/476).
——————————————————
: قال بشر بن الحارث رحمه الله تعالى
ما اتقى الله من أحب الشهرة
سيرالذهبي 10/476
Broadcast by :
WA Ahlus Sunnah Karawang
https://telegram.me/MutiaraASK
BBM Mutiara Salaf | Pin: 54ABD49E | Channel: C001C7FFE
KOMENTAR