Kadaan Salaf di Dalam Ibadah (Terjemah Kitab Haalus Salaf ma'al Ibadah)
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 1
(Mukaddimah)
Amma ba'du
Sesungguhnya membicarakan tentang keadaan salaf di dalam ibadah merupakan bahasan panjang yang memiliki pengaruh di dalam jiwa.
Sebaik-baik salaf bagi kita yang patut diikuti, dijadikan tolak ukur dam yang dijadikan teladan adalah rasul kita shallallahu alaihi wasallam.
Di dalam ibadahnya beliau terdapat percontohan bagi kita dan merupakan patokan jalan petunjuk dalam kita mengambil figur dan mengambil ilmu.
Oleh karenanya aku pun memandang untuk mengangkat tema dalam muhadharah ini seputar hadits-hadits yang datang dari Rasulullah tentang perkara ibadah dan juga beberapa keadaan para shahabatnya dalam beribadah serta mengenal karakteristik ibadah yang telah dijalani oleh Rasulullah.
Allah ta'ala berfirman, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir serta yang banyak mengingat Allah." (Al Ahzab: 21).
Akupun berharap semoga dengan hal ini, kita bisa tergugah untuk bisa meneladani dan berbuat amal nyata kepada suatu tujuan dimana Allah menciptakan kita, yakni hanya beribadah kepada-Nya, tanpa beribadah kepada yang lainnya. Allah ta'ala berfirman, "Tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengibadahi-Ku." (Adz Dzariyat: 56).
Karakteristik ibadah yang Rasulullah jalani cukup banyak.
Dikumpulkan dalam kesempatan ini menjadi sepuluh sebagaimana yang akan aku sebutkan.
Insya Allah bersambung ke bagian 2
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 5-6, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 2
Rambu yang pertama
Beribadah dengan ilmu dan ittiba' (ikut sunnah nabi), bukan dengan kebodohan dan kebid'ahan.
Termasuk ciri ibadah yang dijalani oleh Rasulullah dan juga yang dijalani oleh para salafush shalih dari kalangan shahabatnya dan para pengikutnya yang ihsan (jujur) sampai hari kiamat adalah beribadah dengan ilmu dan ittiba', bukan dengan kebodohan dan kebid'ahan.
Ciri ini adalah termasuk ciri yang paling penting, dimana sudah semestinya bagi seorang muslim untuk memperhatikannya.
Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita ketika shalat untuk berlindung dari orang-orang yang dimurkai.
Mereka adalah orang-orang yahudi.
Allah murka kepada mereka karena mereka telah mendurhakai Allah dalam keadaan mereka mempunyai ilmu.
Kita juga diperintahkan untuk berlindung dari orang-orang yang sesat.
Mereka adalah orang-orang nasrani.
Mereka sesat karena sebab kebodohan.
Oleh karenanya kita diajari oleh Allah untuk berlindung dari yahudi dan nasrani.
Kita membaca di dalam shalat, "Ihdinash shirathal mustaqim, shirathal ladzina an'amta 'alaihim ghairul maghdhubi 'alaihim waladh dhalin". (Al Fathihah: 6-7).
Berkata Sufyan, "Dahulu dikatakan: Waspadalah kalian dari fitnahnya seorang abid (ahlu ibadah) yang bodoh dan fitnahnya seorang alim (orang berilmu) yang fajir. Karena keduanya akan menimpa pada setiap orang yang terfitnah." (Al Jarh wat Ta'dil 1/91-92).
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Telah diketahui bahwasanya orang-orang yang telah mengenal al haq tapi tidak mengikutinya dan menentang, maka keadaan orang ini seperti orang yahudi.
Dan orang-orang yang beribadah kepada Allah tapi tanpa di dasari ilmu syar'i, maka dia sesat seperti orang-orang nasrani.
Ini juga sebagaimana perkataan yang diucapkan oleh sebagian salaf, "Orang yang rusak dari kalangan ulama itu layaknya orang yahudi.
Sedangkan orang yang rusak dari kalangan ahlu ibadah layaknya orang nasrani.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk hati-hati dari menyerupai kedua perangai buruk seperti ini.
Yaitu dari suatu kaum yang sombong dan enggan dari ibadah dan penyembahan kepada Allah, padahal mereka telah diberikan bukti nyata berupa kitab dan bagian dari ilmu.
Dan juga harus hati-hati dari suatu kaum yang melakukan peribadahan dan penyembahan yang syirik kepada Allah.
Juga yang tersesat dari jalan Allah dan wahyunya serta syariatnya.
Hal ini terjadi karena rasa welas asih, belas kasihan dan dan kerahiban yang lebih mereka utamakan dibandingkan ibadah.
Dan perkara ini telah banyak tersebar di kalangan manusia." (Majmul Fatawa 7/633-634).
Insya Allah bersambung ke bagian 3
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 7-8, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 3
Berkata Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullahu, "Ciri ibadah seperti ini (ibadah dengan ilmu dan ittiba) telah ditunjukkan oleh hadits-hadits yang banyak, di antaranya apa yang telah datang dari shahabat Abdullah ibn Abbas radhiallahu anhuma, beliau berkata, "Suatu ketika di zaman rasulullah shallallahu alahi wasallam terdapat seorang laki-laki yang terluka di bagian kepalanya, kemudian dia pun mimpi basah.
Lalu laki-laki tersebut diperintahkan untuk mandi besar oleh teman-temannya.
Dia pun lalu mandi dan akhirnya dengan sebab itu dia meninggal.
Kejadian tersebut dilaporkan kepada rasulullah.
Beliau bersabda, "Mereka telah membunuh laki-laki tersebut, semoga Allah memerangi mereka! Bukankah obat dari kebodohan itu dengan bertanya?" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Sudah diketahui bahwasanya agama ini tegak di atas dua pondasi:
Pertama adalah kita tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah.
Kedua adalah kita beribadah kepada Allah dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Kedua pondasi di atas adalah makna dari syahadat laa ilaha illallah wa anna muhammadan rasulallah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan seorang muslim yang mengamalkan suatu amalan yang bukan bagian dari agama dengan sabdanya yang berasal dari Aisyah radhiallahu anha, "Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada panduannya dari kami maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim).
Oleh karenanya, apabila seorang muslim ingin beribadah kepada Allah, hendaknya dia jangan lakukan kecuali dengan dua syarat:
- Ikhlash, dan
- Mutaba'ah (mencontoh rasul).
Janganlah beribadah kepada Allah kecuali dengan dasar ilmu dan ittiba. Bukan dengan dasar kebodohan dan kebid'ahan.
Insya Allah bersambung ke bagian 4
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 9-11, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 4
Rambu yang Kedua
Menunaikan ibadah yang hukumnya wajib adalah sebuah prioritas
Ibadah dengan mendahulukan amalan yang wajib adalah yang utama.
Sebagian manusia didapati jika ingin beribadah maka dia akan memperindah amalan-amalan yang mustahab tapi amalan-amalan wajibnya di tinggalkan, atau dia tidak memperindah amalan-amalan yang wajibnya.
Telah datang hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah berkata: ... Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibandingkan dari penunaian yang Aku wajibkan atasnya..." (HR. Bukhari).
Hadits ini menunjukkan dalil yang jelas bagi seorang yang beribadah kepada Allah hendaknya lebih mengutamakan amalan-amalan yang wajib, kemudian setelah purna menunaikannya, barulah dia perbanyak amalan-amalan yang nafilah (mustahab).
Adapun jika ada seseorang yang menyepelekan perkara yang wajib tapi bersungguh-sungguh pada perkara yang mustahab maka yang seperti ini merupakan kesalahan dan menyelisihi dengan apa yang telah dijalani oleh Rasulullah dan apa yang diridhai oleh Allah.
Yang menguatkan tentang rambu ibadah ini juga, adalah hadits yang dibawakan oleh shahabat Thalhah ibn Ubaidillah radhiallahu anhu, beliau berkata, "Seorang lelaki datang menemui Rasulullah. Lelaki tersebut seorang tokoh yang berasal dari Najd.
Di hadapan Rasulullah dia berbicara, suaranya terdengar akan tetapi aku tidak bisa memahami apa yang sedang ia bicarakan.
Hingga aku pun mendekat, ternyata dia bertanya tentang islam.
Rasulullah berkata, "Engkau wajib menunaikan shalat di 5 waktu pada siang dan malamnya."
Orang tersebut bertanya lagi, "Apakah ada yang diwajibkan untukku dari yang selain itu?"
Rasulullah menjawab, "Tidak ada, kecuali yang ada adalah perkara yang tathawwu (mustahab)."
Rasulullah melanjutkan, "Engkau wajib pula menunaikan puasa di bulan Ramadhan."
Orang tersebut bertanya lagi, "Apakah ada yang diwajibkan untukku dari yang selain itu?"
Rasulullah menjawab, "Tidak ada, kecuali yang ada adalah perkara yang tathawwu (mustahab)."
Kemudian Rasulullah melanjutkan kembali, "Engkau wajib pula menunaikan zakat."
Orang tersebut bertanya lagi, "Apakah ada yang diwajibkan untukku dari yang selain itu?"
Rasulullah menjawab, "Tidak ada, kecuali yang ada adalah perkara yang tathawwu (mustahab)."
Orang itu pun pergi seraya berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi perkara ini."
Rasulullah ketika mendengarnya, bersabda, "Dia akan selamat jika memang jujur." (HR. Bukhari dan Muslim).
Aku katakan (Syaikh Muhammad Bazmul): Orang ini mendapat pujian dari Rasulullah pada sabdanya "Dia akan selamat jika memang jujur."
Dari lafazh itu memberikan pelajaran bahwa seorang muslim jika ingin beribadah kepada Allah maka yang utama baginya adalah membaguskan penunaian terhadap perkara-perkara yang telah diwajibkan atas dirinya.
Ini disebabkan karena kebahagiaan, kesuksesan dan keselamatan dirinya didapat jika dia jujur dalam penunaian ibadah-ibadah tersebut.
Maksud jujur di dalam ibadah adalah mengikhlashkan ibadah hanya kepada Allah dan tidak berbuat syirik (menyekutukan) kepada Allah dengan suatu apapun.
Juga, maksud jujur di sini adalah dia:
-Bersemangat untuk mengikuti sunnah nabi shallallahu alaihi wasallam
-Beribadah kepada Allah dengan bimbingan nabi-Nya.
Maka dengan demikian, dia pun akan shalat, puasa, haji dan zakat sebagaimana dengan apa yang Allah perintahkan.
Dia pun akan menunaikan thaharah (bersuci) dan ibadah-ibadah yang lainnya di atas cara yang sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.
Dia akan selalu menempatkan jalan sunnah yang jelas ini sebagai acuan, sabda nabi shallallahu alaihi wasallam, "Barang siapa yang berbuat suatu amalan yang sebelumnya tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak." (HR. Muslim).
Di atas rambu ini pula lah, dahulu para salafush shalih menjalaninya.
Maka orang (dalam hadits di atas) itu pun bersungguh-sungguh di dalam shalat 5 waktunya dan ibadah-ibadah lainnya.
Parasalafush shalih tidaklah menyepelekan ibadah dan memperbanyak amalan yang mustahab.
Pada setiap orang dari mereka akan terlihat penunaian kewajiban-kewajiban yang telah Allah diwajibkan atas dirinya sebagaimana hal ini mencocoki sabda nabi dalam hadits qudsi, "... Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibandingkan dari penunaian yang Aku wajibkan atasnya..." (HR. Bukhari).
Insya Allah bersambung ke bagian 5
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 12-15, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 5
Rambu yang Ketiga
Menjauhkan dari Segala yang Menyibukkan dan yang Melalaikan ketika Beribadah
Dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau bekata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat menghadap sebuah kain khamishah yang bermotif.
Beliau pun selintas menoleh ke motif kain tersebut.
Ketika selesai shalat, beliau bersabda, "Bawalah oleh kalian kain khamishah ini kepada Abu Jahm dan bawakanlah kain anbijaniyahnya Abu Jahm karena kain khamishahnya telah membuat lalai shalatku."
Aisyah berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Ketika shalat aku melihat ke motif-motifnya. Maka aku khawatir ini akan menggangguku." (HR. Bukhari dan Muslim).
Aku (Syaikh Muhammad Bazmul) katakan: Demikianlah dahulu keadaan salaf ridhwanullahu alaihim dalam ibadah, mereka menjauhkan segala perkara yang bisa menyibukkan dari ibadahnya.
Dikeluarkan oleh Al Imam Malik di dalam Al Muwatha-nya, Abdullah ibn Abu Bakr menuturkan bahwa Abu Thalhah al Anshary dahulu pernah shalat di kebunnya. Ketika itu kebunnya sedang berbuah.
Abu Thalhah pun terkagum-kagum dengan keelokan kebunnya tersebut hingga tak kuasa menahan, mata pun sesekali melirik, kemudian kembali shalat.
Hingga akhirnya, beliau pun lupa sudah berapa raka'atkah shalatnya.
Maka Abu Thalhah berkata, "Sungguh, aku telah tertimpa musibah karena sebab hartaku. Ini adalah ujian!"
Abu Thalhah segera menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian yang dialami di kebunnya tadi.
Abu Thalhah lalu berkata, "Wahai Rasulullah kebunku itu aku shadaqahkan untuk Allah. Silahkan engkau salurkan kebun itu sekehendakmu." (HR. Malik di dalam Muwatha).
Dikeluarkan juga dari Abdullah ibn Abu Bakr bahwasanya dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang shalat di kebunnya daerah al Quf -sebuah lembah di daerah Madinah pada musim berbuah-.
Pada waktu itu terlihat indah untaian ranumnya kurma di sana.
Lelaki itu tak sadar menoleh, terkesima dengan keindahan untaian kurma-kurma di sekitarnya.
Ketika sadar dia pun kembali shalat.
Hingga akhirnya, dia lupa sudah berapa raka'atkah shalatnya.
Dia berkata, "Sungguh, aku telah tertimpa musibah karena hartaku. Ini ujian!
Lelaki itu kemudian mendatangi Utsman ibn Affan, dan saat itu beliau adalah khalifah.
Lelaki itu menceritakan kejadian yang dialaminya lalu berkata, "Belilah kebun tersebut dan manfaatkanlah di jalan-jalan kebaikan."
Utsman ibn Affan akhirnya membeli kebun tersebut dengan harga 50.000, maka dinamai harta tersebut dengan al Khamsin" (HR. Malik dalam Al Muwaththa-nya 222).
Inilah gambaran keadaan salaf dalam beribadah. Di antara tanda dari karakteristik ibadahnya mereka adalah menjauhi segala perkara yang bisa menyibukkan dan melalaikan mereka dari beribadah.
Teladan mereka adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana telah kalian ketahui dari hadits anbajaniyah-nya Abu Jahm.
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengembalikan kain khamishah-nya Abu Jahm (yang penuh motif-motif) dan memilih kain anbajaniyah (yang tidak bermotif) agar shalatnya tidak terganggu dan lalai.
Maka sudah seyogyanya bagi seorang muslim untuk semangat dalam menjaga rambu ini ketika dia ingin beribadah dengan jalan dan keadaan ibadahnya para salaf ridhwanullahu alaihim, yang mereka bangun di atasnya berdasar bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Insya Allah bersambung ke bagian 6
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 16-19, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 6
Rambu yang Keempat
Amalan yang Paling Dicintai Allah adalah yang Terus Berjalan (Kontinu) Walaupun Sedikit
Dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau bekata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ketika mau masuk ke rumahku, melihat ada seorang wanita di sisiku. Ketika dia pergi, beliau bertanya, "Siapakah dia?"
Aku menjawab, "Fulanah." Aku pun menceritakan keadaannya yang tidak tidur setiap malam karena melakukan shalat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Tidak tidur di malam hari! Hendaklah kalian beramal dengan kadar yang bisa disanggupi. Demi Allah, Allah tidak akan merasa jenuh sampai kalian sendirilah yang merasa jenuh. Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang senantiasa dirutini oleh pelakunya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan kepada rambu ibadah yang penting. Yaitu bahwasanya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang senantiasa dikerjakan rutin oleh pelakunya walaupun hanya sedikit.
Setan akan masuk kepada bani adam terkadang melalui jalur pintu kebaikan agar bani adam tersebut bisa terjatuh ke dalam kejelekkan.
Hasan ibn Shalih rahimahullah berkata, "Sesungguhnya setan akan membuka bagi seorang hamba 99 dari pintu kebaikan yang bertujuan agar hamba tersebut kelak bisa masuk kepada satu pintu dari kejelekkan." (Talbis Iblis-Ibnul Jauzi, hal. 55).
Insya Allah bersambung ke bagian 7
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 20-21, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 7
Di antara pintu-pintu terhalus yang digunakan setan untuk bisa masuk kepada bani adam adalah melalui pintu ibadah dan memperbanyaknya.
Memang demikian, ketika setan mendatangi seseorang dan tidak mampu untuk memalingkan orang tersebut dari ibadah dan tidak sanggup pula untuk membuka pintu syahwat dan pintu syubhat, maka apa yang setan lakukan?
Setan akan menggiringnya untuk beribadah kepada Allah dan memperbanyak ibadah sampai dia sendiri merasa kepayahan, hingga akhirnya dia pun terputus dari ibadah.
Contoh dari hal ini, sebagaimana halnya seseorang yang berkata, "Saya seorang pemuda yang semangat, maka sudah semestinya saya melakukan shalat malam sebanyak 13 rakaat atau 11 rakaat."
Di bulan pertama mungkin dia masih kuat.
Di bulan kedua mulai menurun menjadi 9 rakaat.
Di bulan ketiga menurun lagi menjadi 7 rakaat.
Di bulan keempat.. turun lagi.
Terus demikian.
Menurun sampai dia tidak shalat malam lagi, bahkan witir pun dia tinggalkan.
Penyebab terjadinya hal di atas karena pemuda tersebut telah membebani dirinya terhadap sesuatu yang di luar batas kemampuannya.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Ambilah oleh kalian dari amalan yang kalian mampu. Karena sesungguhnya Allah tidak merasa jenuh sampai kalian sendirilah yang jenuh."
Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan pembahasan ini, dan juga mengetahui bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan terus-menerus walaupun sedikit.
Tiga rakaat yang ringan, tapi engkau jaga dalam penunaiannya, itu lebih baik jika dibandingkan dengan sebelas atau tiga belas rakaat yang dikerjakan hanya sebatas satu atau dua bulan saja kemudian terhenti, bahkan sampai shalat witirnya pun terhenti pada akhirnya.
Perkara ini membutuhkan siasat.
Seorang muslim hendaknya bisa mengatur dirinya di dalam menunaikan ibadah.
Telah datang sebuah atsar, "Sesungguhnya dalam setiap amalan itu terdapat masa syirrah -yakni masa lapang, luas dan semangat-.
Pada setiap masa syirrah, terdapat masa fatrah -yakni masa penurunan-.
Barang siapa yang mendapati masa fathrahnya tetap di atas sunnahku maka dia telah diberikan petunjuk.
Tetapi barang siapa yang mendapati masa fatrahnya tidak di atas sunnahku, maka dia akan binasa." (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Syaikh al Albani menshahihkan hadits ini dalam ta'liq Ibnu Khuzaimah).
Maka sudah seyogyanya bagi seorang muslim untuk mengetahui bahwa termasuk rambu-rambu ibadah dan karakteristik peribadahan kepada Allah yang telah dijalani oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan salafush shalih adalah:
Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang terus menerus dilakukan walaupun sedikit.
Akan datang nanti hadits tentang tiga shahabat nabi yang datang ke rumahnya istri Rasulullah dan bertanya tentang keadaan ibadahnya beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketika dikabarkan, mereka pun menganggap sedikit ibadahnya.
Oleh karenanya, jika keadaan rasul saja -ingat, beliau adalah seorang rasul- yang tidak memberat-beratkan dirinya dengan amalan yang beliau tidak sanggup untuk melakukannya, maka demikianlah seharusnya yang mesti dilakukan oleh umatnya jika mereka ingin bimbingan di dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Insya Allah bersambung ke bagian 8
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 21-24, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 8
Rambu yang kelima
Beribadah itu dengan mencocoki (sunnah) bukan dengan lamanya (amalan)
Yang aku (Syaikh Muhammad Bazmul) maksud adalah mencocoki sunnah dan mengikuti sunnah.
Dari Ibnu Abbas, dari Juwairiyyah radhiallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam di pagi buta keluar dari rumah istrinya, Juwairiyah radhiallahu anha untuk menunaikan shalat subuh.
Ketika ditinggalkan, posisi Juwairiyah sedang di tempat shalatnya.
Tatkala Rasulullah kembali di waktu dhuha, ternyata posisi Juwairiyah masih duduk. Rasulullah pun bertanya, "Apakah sejak aku tinggalkan engkau tetap dalam posisimu seperti ini?".
Juwairiyah menjawab, "ya, benar."
Maka Nabi bersabda, "Sungguh aku akan beritahukan kepadamu empat kalimat yang jika dibaca sebanyak tiga kali maka kalau seandainya ditimbang dengan apa yang engkau telah ucapkan selama engkau duduk tadi niscaya akan sebanding.
Kalimat tersebut adalah: SUBHANALLAHI WA BIHAMDIHI 'ADADA KHALQIHI WA RIDHA NAFSIHI WA ZINATA 'ARSYIHI WA MIDAADA KALIMATIHI". (HR. Muslim 4905)."
Aku katakan (Syaikh Muhammad Bazmul):
Dari hadits ini bisa kita pahami bahwa yang dijadikan ibrah (pelajaran) bukanlah sekedar banyaknya, akan tetapi yang menjadi ibrah adalah kecocokan dan keselarasan (di dalam sunnah).
Inilah Juwairiyah. Beliau duduk dalam rangka berdzikir kepada Allah, sedangkan Rasulullah berkata, "Kalimat ini jika engkau ucapkan sebanyak tiga kali maka akan sebanding dengan dudukmu sejak aku keluar di shubuh hari sampai waktu dhuha."
Sebanding dari sisi apa?
Para ulama berkata: Sebanding dari sisi pahala dan ganjaran.
Aku katakan (Syaikh Muhammad Bazmul): Maksud sebanding di sini adalah di tinjau dari makna kandungan dzikir-dzikir yang memuat nama Allah di dalamnya.
Sebagaimana hal ini selaras dengan sabda Nabi yang menerangkan bahwa surat Al Ikhlas itu sebanding dengan sepertiga Al Qur'an.
Maksud dari hal ini adalah dari sisi makna.
Maksudnya bahwa duduknya engkau untuk berdzikir kepada Allah dengan dzikir-dzikir yang ada, dibanding dengan engkau ucapkan kalimat ini niscaya itu lebih baik bagimu.
Di antara kalimat dzikir yang mempunyai makna secara menyeluruh adalah sebagaimana yang Rasulullah sabdakan ini.
Maka sudah semestinya bagi seorang muslim untuk mengucapkan:
SUBHANALLAHI WA BIHAMDIHI 'ADADA KHALQIHI WA RIDHA NAFSIHI WA ZINATA 'ARSYIHI WA MIDAADA KALIMATIHI".
Karena dzikir ini lebih mencangkup luas dari sisi maknanya, setaraf jika dibandingkan dengan dzikir-dzikirnya seseorang yang di mulai sejak shubuh sampai waktu dhuha.
Oleh karenanya Rasulullah menyatakan: Jika seandainya engkau mengucapkan dzikir ini sebanyak tiga kali niscaya akan sebanding dengan seluruh dzikir yang engkau lantunkan selama engkau duduk.
Maksudnya adalah sebanding dari sisi makna.
Insya Allah bersambung ke bagian 9
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 25-27, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
Keadaan Salaf di Dalam Ibadah 9
Rambu yang Keenam
Meninggalkan Takalluf (memberat-beratkan diri) dan Tasyaddud (memaksa-maksakan diri) di Dalam Ibadah
Termasuk dari karakteristik ibadahnya Rasulullah dan para salafush shalih adalah meninggalkan takalluf dan tasyaddud di dalam ibadah.
Ini adalah perkara yang penting, seyogyanya bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam beribadah kepada Allah di atas jalannya para rasul, shahabat dan salafush shalih ridwanullah alaihim.
Yahya ibn Abi Katsir berkata, "Aku dan Abdullah ibn Yazid pergi sampai kami mendatangi kediaman Abu Salamah.
Kamipun mengirim seorang utusan kepadanya untuk meminta agar beliau bisa menemui kami, kebetulan kediaman beliau letaknya dekat dengan masjid.
Kami berada di masjid hingga beliau datang menemui kami.
Beliau berkata (menawarkan), "Jika kalian mau masuklah atau jika kalian mau duduklah di tempat itu."
"Tidak (perlu masuk), kita duduk di tempat itu saja", jawab kami.
(Setelah kita duduk), maka beliau pun memberikan hadits.
"Abdullah ibn Amr ibnil Ash menyampaikan kepadaku bahwa beliau berkata, "Dahulu aku melakukan puasa dahr (puasa sepanjang hari) dan membaca Al Qur'an (sampai selesai) di setiap malam."
Maka rasul diberitahu akan keadaan ini, kemudian beliau pun memanggiku melalui seorang utusan.
Aku pun menemui rasulullah dan beliau bertanya, "Apakah benar suatu kabar bahwa engkau berpuasa dahr dan menyelesaikan Al Qur'an pada setiap malam?".
Aku menjawab, "Benar wahai nabi Allah dan aku tidak mewaksudkan hal ini kecuali perkara kebaikan."
Rasulullah berkata, "Sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari di setiap bulannya."
Aku menjawab, "Wahai nabi Allah, sesungguhnya aku mampu untuk bisa lebih dari itu."
Rasulullah berkata, "Sesungguhnya istrimu mempunyai hak, tamumu mempunyai hak dan badanmu juga mempunyai hak.
Rasul melanjutkan, "Berpuasalah dengan puasa nabiyallah dawud karena beliau adalah manusia yang paling gemar beribadah."
Aku bertanya kepada rasulullah, "Wahai nabi Allah, bagaimana bentuknya puasa dawud itu?"
"Berpuasa sehari dan berbuka sehari", jawab rasulullah.
Beliau melanjutkan, "Hendaklah engkau membaca Al Qur'an (menyelesaikannya) pada setiap bulan."
Aku berkata, "Wahai nabi Allah sesungguhnya aku sanggup melakukan dengan yang lebih dari itu."
Rasul berkata, "Selesaikanlah pada setiap dua puluh hari."
Aku berkata, "Wahai nabi Allah sesungguhnya aku sanggup melakukan dengan yang lebih dari itu."
Rasul berkata, "Selesaikanlah pada setiap sepuluh hari."
Aku berkata, "Wahai nabi Allah sesungguhnya aku sanggup melakukan dengan yang lebih dari itu."
Rasul berkata, "Selesaikanlah pada setiap tujuh hari dan janganlah lebih dari itu karena sesungguhnya istrimu mempunyai hak, tamumu mempunyai hak dan badanmu juga mempunyai hak."
Aku yang memberat-beratkan sendiri dalam hal ini maka aku pun terasa berat.
Rasul berkata kepadaku, "Sesungguhnya engkau tidak mengetahui panjangnya umurmu nanti."
Aku pun mendapati sebagaimana yang rasul katakan.
Ketika aku mendapati masa tua, aku pun menyukai kalau saja dahulu aku terima saja keringanan yang diberikan oleh nabi kepadaku." (HR. Muslim 1963)
Insya Allah bersambung ke bagian 10
(Terjemah bebas dari Haalus Salaf ma'al Ibadah-Syaikh Muhammad Bazmul, hal 25-27, cet. Darul Mirats 2012).
➖➖➖
💐 Wa Sedikit Faidah Saja (SFS)
➖➖➖
💾 Arsip lama Wa SFS, INdiC dan INONG terkumpul di catatankajianku.blogspot.com dan di link telegram http://bit.ly/1OMF2xr
Masih Berlanjut di Channel Telegram https://telegram.me/sedikitfaidahsaja, Insya Allah akan terus di update. Pantau aja ! Barakallahu fiikum
KOMENTAR