perbedaan hadits qudsi alquran, Hadits Qudsi adalah (terbagi menjadi 2 pendapat)
بسم الله الرØمن الرØيم
الØمد لله وصلى الله وسلم على نبينا Ù…Øمد وعلى اله وصØبه وسلم تسليم
Berkata al-‘Allamah ahli fiqih dan ilmu ushul Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullah- di dalam kitab beliau (Syarh al-‘Arba’in an-Nawawi):
“Para ulama -rahimahumullah- berbeda pendapat tentang penyebutan “hadis qudsi”, apakah hadis tersebut termasuk kalam Allah (makna dan lafalnya berasal dari Allah -pent)? atau Allah ta’ala hanya mewahyukan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam secara makna saja, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam?
Ada dua pendapat dalam perkara ini :
1. Seandainya hadis qudsi berasal dari Allah baik lafal dan maknanya, maka tentulah sanadnya akan lebih tinggi daripada al-Qur’an. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam meriwayatkan langsung dari Allah ta’ala tanpa adanya perantara, sebagaimana yang nampak dari konteksnya. Adapun al-Qur’an diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam melalui perantaraan Jibril ‘alaihi as-Salam.
Sebagaimana Allah berfirman :
( Ù‚ُÙ„ْ Ù†َزَّÙ„َÙ‡ُ رُÙˆØُ الْÙ‚ُدُس من ربك )
{Katakanlah (wahai Nabi) telah menurunkannya (al-Qur’an) ruh al-Qudus (Jibril) dari Rabbmu} [an-Nahl : 102]
Allah juga berfirman :
( Ù†َزَÙ„َ بِÙ‡ِ الرُّÙˆØُ الْØ£َÙ…ِينُ*عَÙ„َÙ‰ Ù‚َÙ„ْبِÙƒَ Ù„ِتَÙƒُونَ Ù…ِÙ†َ الْÙ…ُÙ†ْØ°ِرِينَ * بِÙ„ِسَانٍ عَرَبِÙŠٍّ Ù…ُبِينٍ)
{Telah turun ruh al-Amin (Jibril) dengan membawanya (al-Qur’an). Ke dalam hatimu (wahai Nabi) agar engkau termasuk orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas} [asy-Syu’ara : 193-195].
2. Seandainya lafal hadis qudsi berasal dari Allah, maka tidak akan ada bedanya antara hadis qudsi dengan al-Qur’an. Karena keduanya jika ditetapkan demikian maka merupakan kalam Allah ta’ala. Sehingga mengharuskan persamaan keduanya di dalam hukum jika asal keduanya sama. Padahal telah diketahui bahwa antara al-Qur’an dan hadis qudsi ada perbedaan yang banyak.
Diantaranya :
- Bahwa hadis qudsi tidak bisa dijadikan ibadah dengan cara tilawah. Maknanya bahwa seseorang tidak dianggap beribadah kepada Allah ta’ala dengan hanya semata-mata membacanya. Sehingga ia tidak akan diberi ganjaran pada setiap huruf dengan sepuluh kebaikan. Sedangkan al-Qur’an dijadikan ibadah dengan cara menilawahkannya, setiap huruf darinya diganjar sepuluh kebaikan.
الØمد لله وصلى الله وسلم على نبينا Ù…Øمد وعلى اله وصØبه وسلم تسليم
Berkata al-‘Allamah ahli fiqih dan ilmu ushul Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullah- di dalam kitab beliau (Syarh al-‘Arba’in an-Nawawi):
“Para ulama -rahimahumullah- berbeda pendapat tentang penyebutan “hadis qudsi”, apakah hadis tersebut termasuk kalam Allah (makna dan lafalnya berasal dari Allah -pent)? atau Allah ta’ala hanya mewahyukan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam secara makna saja, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam?
Ada dua pendapat dalam perkara ini :
# Pendapat pertama : bahwa hadis qudsi berasal dari Allah baik lafal maupun maknanya. Dikarenakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam menyandarkannya kepada Allah ta’ala.
Sedangkan telah maklum bahwa asal suatu ucapan yang disandarkan maka lafalnya berasal dari si pengucap langsung bukan lafal dari penukilnya. Terlebih lagi bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam (sebagai penukilnya -pent) adalah orang yang paling kuat amanahnya dan paling kokoh periwayatannya.# Pendapat yang kedua : bahwa hadis qudsi maknanya berasal dari sisi Allah tetapi lafalnya berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
Hal ini ditinjau dari dua sisi :1. Seandainya hadis qudsi berasal dari Allah baik lafal dan maknanya, maka tentulah sanadnya akan lebih tinggi daripada al-Qur’an. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam meriwayatkan langsung dari Allah ta’ala tanpa adanya perantara, sebagaimana yang nampak dari konteksnya. Adapun al-Qur’an diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam melalui perantaraan Jibril ‘alaihi as-Salam.
Sebagaimana Allah berfirman :
( Ù‚ُÙ„ْ Ù†َزَّÙ„َÙ‡ُ رُÙˆØُ الْÙ‚ُدُس من ربك )
{Katakanlah (wahai Nabi) telah menurunkannya (al-Qur’an) ruh al-Qudus (Jibril) dari Rabbmu} [an-Nahl : 102]
Allah juga berfirman :
( Ù†َزَÙ„َ بِÙ‡ِ الرُّÙˆØُ الْØ£َÙ…ِينُ*عَÙ„َÙ‰ Ù‚َÙ„ْبِÙƒَ Ù„ِتَÙƒُونَ Ù…ِÙ†َ الْÙ…ُÙ†ْØ°ِرِينَ * بِÙ„ِسَانٍ عَرَبِÙŠٍّ Ù…ُبِينٍ)
{Telah turun ruh al-Amin (Jibril) dengan membawanya (al-Qur’an). Ke dalam hatimu (wahai Nabi) agar engkau termasuk orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas} [asy-Syu’ara : 193-195].
2. Seandainya lafal hadis qudsi berasal dari Allah, maka tidak akan ada bedanya antara hadis qudsi dengan al-Qur’an. Karena keduanya jika ditetapkan demikian maka merupakan kalam Allah ta’ala. Sehingga mengharuskan persamaan keduanya di dalam hukum jika asal keduanya sama. Padahal telah diketahui bahwa antara al-Qur’an dan hadis qudsi ada perbedaan yang banyak.
Diantaranya :
- Bahwa hadis qudsi tidak bisa dijadikan ibadah dengan cara tilawah. Maknanya bahwa seseorang tidak dianggap beribadah kepada Allah ta’ala dengan hanya semata-mata membacanya. Sehingga ia tidak akan diberi ganjaran pada setiap huruf dengan sepuluh kebaikan. Sedangkan al-Qur’an dijadikan ibadah dengan cara menilawahkannya, setiap huruf darinya diganjar sepuluh kebaikan.
- Bahwa Allah ‘azza wa jalla menantang manusia untuk mendatangkan ucapan yang semisal dengan al-Qur’an atau satu ayat saja darinya, tetapi tidak pernah datang yang semisal ini pada hadis qudsi.
- Bahwa al-Qur’an terjaga dari sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana Allah berfirman
Sesungguhnya kami telah menurunkan adz-Dzikra (al-Qur’an) dan sungguh kami pula yang menjaganya} [al-Hijr : 9].
Berbeda dengan hadis-hadis qudsi, yang di dalamnya ada yang shahih dan hasan, bahkan disandarkan pula kepadanya sesuatu yang dho’if dan palsu. Demikianlah meskipun tidak pernah didapati darinya, akan tetapi tetap bisa disandarkan kepadanya. Padanya terdapat pula susunan yang di kedepankan, diakhirkan, ada tambahan dan kurang.
Sesungguhnya kami telah menurunkan adz-Dzikra (al-Qur’an) dan sungguh kami pula yang menjaganya} [al-Hijr : 9].
Berbeda dengan hadis-hadis qudsi, yang di dalamnya ada yang shahih dan hasan, bahkan disandarkan pula kepadanya sesuatu yang dho’if dan palsu. Demikianlah meskipun tidak pernah didapati darinya, akan tetapi tetap bisa disandarkan kepadanya. Padanya terdapat pula susunan yang di kedepankan, diakhirkan, ada tambahan dan kurang.
- Bahwa al-Qur’an tidak boleh dibaca secara makna sesuai kesepakatan kaum muslmimin. Adapun hadis qudsi maka terdapat perbedaan pendapat tentang bolehnya menukil hadis Nabi secara makna, dan kebanyakan ulama’ membolehkannya.
- Bahwa al-Qur’an disyariatkan untuk dibaca ketika sholat, bahkan diantaranya ada yang mengakibatkan sholatnya tidak sah bila tidak dibaca, berbeda dengan hadis qudsi.
- Bahwa al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali orang yang suci berdasarkan pendapat yang paling benar, hal ini berbeda dengan hadis qudsi.
- Bahwa al-Qur’an tidak boleh dibaca oleh seorang yang dalam kondisi junub sampai ia mandi berdasarkan pendapat yang rajih. Berbeda dengan hadis qudsi.
- Bahwa al-Qur’an telah tetap dengan mutawatir (jalur penukilan yang banyak sehingga tidak mungkin ada kedustaan -pent) yang pasti dan berfaedah ilmu yakin. Seandainya ada yang mengingkari darinya satu huruf saja yang telah disepakati oleh para ahli qira’ah maka ia telah kafir. Berbeda dengan hadis qudsi, dikarenakan seandainya ada seorang yang mengingkari hadis qudsi dengan dakwaan bahwa hadis tersebut tidak tetap (periwayatannya) maka ia tidak dikafirkan. Adapun jika ia mengingkarinya bersamaan dengan hal itu ia tahu bahwa hal tersebut memang dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, maka ia telah kafir disebabkan pendustaannya terhadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
Akan tetapi terkadang bisa disandarkan kepada si pengucap secara makna saja bukan lafalnya. Sebagaimana di dalam al-Qur’an al-Karim, sungguh Allah ta’ala menyandarkan berbagai ucapan kepada pengucapnya, sedangkan kita mengetahui bahwa hal tersebut disandarkan secara makna bukan lafal. Seperti pada kisah-kisah para Nabi dan yang selainnya, ucapannya burung Hud-hud dan semut. Karena ucapan tersebut bukanlah dengan lafalnya yang sebenarnya.Dengan ini menjadi jelas akan kuatnya pendapat ini (pendapat yang kedua).
Namun perbedaan pendapat ini tidak sebagaimana perselisihan antara ahlus sunnah dan Asya’irah tentang kalam Allah ta’ala. Karena perselisihan antara keduanya adalah pada asal kalam Allah ta’ala. Maka ahlus sunnah mengatakan : kalam Allah ta’ala merupakan kalam yang hakiki yang bisa didengar, Allah subhanahu wa ta’ala berucap dengan suara dan huruf. Adapun Asya’irah tidak menetapkan demikian, hanya saja mereka mengatakan : kalam Allah ta’ala merupakan suatu makna yang berdiri sendiri, bukan huruf dan suara, akan tetapi Allah ta’ala menciptakan suara yang dengannya diibaratkan sebagai suatu makna yang berdiri sendiri.
Tidak ada keraguan lagi akan kebatilan ucapan mereka, dan pada hakikatnya ini adalah ucapannya Mu’tazilah. Karena Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, yaitu kalam Allah. Mereka juga mengatakan : al-Qur’an adalah makhluk, yang merupakan suatu pengibaratan dari kalam Allah. Telah sepakat seluruh manusia bahwa apa yang ada diantara dua sampul mushaf adalah makhluk.
Kemudian kalau dikatakan dalam permasalahan kita ini -kalam di dalam hadis qudsi- : bahwa yang lebih pantas adalah meninggalkan sikap berdalam-dalam tentang hal ini, karena khawatir termasuk perbuatan berlebih-lebihan yang bisa membinasakan pelakunya.
Maka ringkasan atas permasalahan ini bahwa hadis qudsi adalah “apa yang diriwayatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dari Rabbnya”, cukup. Maka hal ini sudah mencukupi, dan barangkali ini ucapan yang paling selamat. Wallahu a’lam”.
Sumber :
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121883
di terbitkan oleh team redaksi salafy.or.id
http://salafy.or.id/blog/2016/01/20/apa-yang-dimaksud-dengan-hadjis-qudsi/
Akan tetapi terkadang bisa disandarkan kepada si pengucap secara makna saja bukan lafalnya. Sebagaimana di dalam al-Qur’an al-Karim, sungguh Allah ta’ala menyandarkan berbagai ucapan kepada pengucapnya, sedangkan kita mengetahui bahwa hal tersebut disandarkan secara makna bukan lafal. Seperti pada kisah-kisah para Nabi dan yang selainnya, ucapannya burung Hud-hud dan semut. Karena ucapan tersebut bukanlah dengan lafalnya yang sebenarnya.Dengan ini menjadi jelas akan kuatnya pendapat ini (pendapat yang kedua).
Namun perbedaan pendapat ini tidak sebagaimana perselisihan antara ahlus sunnah dan Asya’irah tentang kalam Allah ta’ala. Karena perselisihan antara keduanya adalah pada asal kalam Allah ta’ala. Maka ahlus sunnah mengatakan : kalam Allah ta’ala merupakan kalam yang hakiki yang bisa didengar, Allah subhanahu wa ta’ala berucap dengan suara dan huruf. Adapun Asya’irah tidak menetapkan demikian, hanya saja mereka mengatakan : kalam Allah ta’ala merupakan suatu makna yang berdiri sendiri, bukan huruf dan suara, akan tetapi Allah ta’ala menciptakan suara yang dengannya diibaratkan sebagai suatu makna yang berdiri sendiri.
Tidak ada keraguan lagi akan kebatilan ucapan mereka, dan pada hakikatnya ini adalah ucapannya Mu’tazilah. Karena Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, yaitu kalam Allah. Mereka juga mengatakan : al-Qur’an adalah makhluk, yang merupakan suatu pengibaratan dari kalam Allah. Telah sepakat seluruh manusia bahwa apa yang ada diantara dua sampul mushaf adalah makhluk.
Kemudian kalau dikatakan dalam permasalahan kita ini -kalam di dalam hadis qudsi- : bahwa yang lebih pantas adalah meninggalkan sikap berdalam-dalam tentang hal ini, karena khawatir termasuk perbuatan berlebih-lebihan yang bisa membinasakan pelakunya.
Maka ringkasan atas permasalahan ini bahwa hadis qudsi adalah “apa yang diriwayatkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dari Rabbnya”, cukup. Maka hal ini sudah mencukupi, dan barangkali ini ucapan yang paling selamat. Wallahu a’lam”.
Sumber :
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121883
di terbitkan oleh team redaksi salafy.or.id
http://salafy.or.id/blog/2016/01/20/apa-yang-dimaksud-dengan-hadjis-qudsi/
KOMENTAR