Hukum Memanfaatkan Barang Gadaian Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :
HUKUM MEMANFAATKAN BARANG GADAIAN
Murtahin ( Penerima Gadai ) memanfaatkan barang gadaian/rahn
Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :
1. Pertama, yang tidak membutuhkan biaya, seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya. Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”
2. Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin, selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan memberi biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR. al-Bukhari).
Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah.
Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.
Pendapat pertama lebih kuat, sesuai dengan teks hadits. Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat diambil susunya atau ditunggangi.
Barang seperti ini bisa dibagi menjadi dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan, budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan dinaiki karena adanya hadits.”
Pendapat lain membolehkan jika pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin memperbaikinya, itu dianggap sedekah.
Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya, menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian, menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya, karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai…. (lihat al-Mughni, 6/509-513)
http://asysyariah.com/hukum-hukum-barang-gadaian-selama-dalam-status-digadaikan/
————————————————
📕 Majmu'ah Al Istifadah 📘
————————————————
KOMENTAR