Tahan! Tahan air matamu karena jalan masih panjang… Jangan kau biarkan air mata mulia mengalir… Diawal jalan, memang terasa berat…
Tahan Air Matamu
كَفْكَفْ دُمُوعَكَ فَالطَّرِيقُ طَوِيلُ … لَا تَتْرُكِ الدَّمْعَ الْعَزِيزَ يَسِيلُ
فِي أَوَّلِ الدَّرْبِ الطَّوِيلِ تَحَسَّرٌ … مَاذَا عَسَاكَ -إِنِ ابْتُلِيتَ- تَقُولُ
يَاأَيُّهَا السُّنِّي لَا تَجْزَعْ إِذَا … شَحَّ الْوُجُودُ وَهَاجَمَتْكَ فُلُولُ
وَاعْلَمْ بِأَنَّ اللّٰهَ نَاصِرُ عَبْدَهُ … وَلَهُ مَقَالِيدُ الْأُمُورِ تَؤُولُ
Tahan! Tahan air matamu karena jalan masih panjang…
Jangan kau biarkan air mata mulia mengalir…
Diawal jalan, memang terasa berat…
Hatimu bergumam, “apa yang akan terjadi padaku?”…
Wahai Sunni, jangan bimbang apabila…
Sedikit penolong dan ujian datang silih berganti…
Ketahuilah, Allah kan senantiasa menolong hamba-Nya…
Dan kunci segala urusan kepada-Nya kembali…
________o00o________
Malam yang senyap, tak ada suara kecuali desiran angin meniup debu-debu pasir. Atau, menyiul dari tiupan mulut para prajurit yang terlelap. Di waktu ini, Ahmad bin Hanbal gelisah. Matanya tak bisa terpejam. Hatinya bergolak hebat. Apa yang harus dia lakukan saat berdiri di hadapan al-Ma’mun nanti. Dia mendapat kabar bahwa al-Ma’mun dengan geram berujar, “Jika nanti aku benar melihatnya, aku cabik-cabik tubuhnya!”
Memang al-Ma’mun benar-benar murka kepadanya. Dia bergeming dari ajakan al-Ma’mun: al-Qur’an adalah makhluk. Dia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa al-Qur’an Kalamullah, bukan makhluk. Segala cara dilakukan al-Ma’mun agar ia mau mengatakan al-Qur’an makhluk. Namun Ahmad tetap tak mau. Dan sekarang ini, dia dan kawan seperjuangan satu-satunya, Muhammad bin Nuh, dibelenggu dan dibawa munuju kemarahan al-Ma’mun.
Dalam gejolak batinnya malam itu, sempat terbesit untuk menyerah saja menerima ajakan al-Ma’mun. Toh juga terpaksa. Bukankah Allah mengampuni orang yang terpaksa berbuat dosa.
Namun tiba-tiba bayangan hitam samar muncul dari kejauhan. Lama-kelamaan semakin mendekat dan jelas. Ternyata adalah seorang Arab Badui.
“Engkaukah Ahmad bin Hanbal?” tanyanya.
“Iya,” jawab Ahmad
“Bergembiralah dan tetaplah bersabar! Karena itu hanya tebasan yang engkau rasakan di dunia ini. Dan engkau akan masuk surga dari tebasan itu,” Badui membesar-besarkan hatinya.
“Cintakah engkau kepada Allah?” lanjut Badui.
“Tentu,” jawab Ahmad.
“Jika engkau mencintai Allah, tentu engkau ingin segera bertemu dengan-Nya,” nasihat Badui sambil berlalu.
Demi mendengar nasihat badui tadi, tekad Ahmad menjadi bulat kembali: hanya Jihad fy sabilillah. Tidak ada pilihan kedua!
________oo0oo________
Tekad Ahmad semakin kuat karena seseorang bernama Abu Ja’far al-Anbary. Abu Ja’far berkisah:
Saat aku mendengar Ahmad dibawa menghadap al-Ma’mun, aku bergegas mengejar rombongan prajurit yang mengawalnya. Aku berhasil mengejar. Ternyata dia sedang duduk di sebuah kemah. Aku hampiri dia.
“Abu Ja’far, berhati-hatilah! Jangan tergesa-gesa!” katanya.
“Untuk yang seperti ini, buat apa berhati-hati,” jawabku.
“Ahmad, engkau sekarang adalah panutan. Dan semua orang memandang ke arahmu. Demi Allah, jika engkau menerima ajakannya, pasti banyak kaum muslimin yang juga menerima ajakannya. Namun jika engkau menolak, pasti mereka juga akan menolak.
Apapun itu, apabila al-Ma’mun tidak jadi membunuhmu, engkau tetap akan mati. Dan setiap orang pasti akan mati. Maka bertakwalah kepada Allah dan jangan sekali-kali menjawab ajakannya sepatah kata pun!” lanjutku.
Tiba-tiba saja Ahmad menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Ma sya Allah! Ma sya Allah! Abu Ja’far, tolong ulangi lagi nasihatmu!”
Aku pun mengulanginya dan ia semakin terisak-isak.
________oo0oo________
Kawan seperjuangan Ahmad dalam perjalanan menuju kemarahan al-Ma’mun, Muhammad bin Nuh juga tak henti-hentinya membangkitkan semangat Ahmad untuk terus tegar membela kebenaran. Suatu ketika saat mereka beristirahat dalam perjalanan, Muhammad berkata membangkitkan semangat Ahmad,
“Wahai Abu Abdillah, ingatlah Allah! Ingatlah Allah! Sungguh, aku tidak sama sepertimu. Andaikan Allah mengujiku kemudian aku menjawab ajakan orang brengsek itu, tidak ada yang akan mengikutiku. Berbeda denganmu. Engkau panutan. Semua orang memandang ke arahmu menunggu apa yang akan engkau perbuat. Maka bertakwalah kepada Allah dan tetaplah tegar.”
Ahmad berkaca-kaca mendengarnya. Dan bertambah cintalah ia kepada kawannya itu.
Hingga akhirnya sampailah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh di depan istana al-Ma’mun. Mereka berdua ditempatkan di sebuah kemah terlebih dahulu. Mereka berdua tidak henti-hentinya sholat dan berdoa. Dan salah satu doa yang dipanjatkan Ahmad adalah agar tidak diperlihatkan wajah al-Ma’mun.
Tiba-tiba seorang pelayan masuk menemui keduanya. Sembari mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, ia berkata kepada Ahmad, “Sungguh aku tidak sampai hati, Abu Abdillah. Al-Ma’mun benar-benar telah menghunuskan pedangnya. Dia juga telah mengasah tombaknya. Dia berteriak, “Tidak akan aku sarungkan pedangku dari leher Ahmad dan kawannya itu sampai mereka berdua mengatakan al-Qur’an makhluk.”
Seketika Ahmad lemas, tak kuasa menahan tubuhnya, dan bersimpuh di atas lututnya. Sambil menghadap ke arah langit, ia berdoa, “Rabbku, orang ini benar-benar telah lancang dengan kelemahlembutan-Mu. Sampai-sampai dia durhaka kepada para kekasih-Mu. Ya Allah, jikalau benar al-Qur’an adalah kalam-Mu bukan makhluk, cukupkanlah kami dari fitnahnya.”
Maka, belum berlalu sepertiga malam awal, seantero istana dikejutkan dengan teriakan: AMIRUL MUKMININ MENINGGAL DUNIA!!!
Peristiwa ini terjadi pada tahun 218 H.
Hahaha...memang benar apa katamu, kawan. Membaca biografi ulama' membuat kita ingin menertawakan diri sendiri. Yang sebelumnya kita 'sok merasa sudah berbuat banyak untuk Islam ternyata belum seberapa dibandingkan mereka. Yang sebelumnya tanpa sadar 'sok merasa paling berat ujiannya nyatanya hanya bagaikan riyak-riyak kecil di lautan jika dibandingkan mereka. Allahul Musta'an.
Adapun pertanyaanmu, bukankah pusat pemerintahan kaum muslimin di Baghdad dan Imam Ahmad tinggal di Baghdad? Kenapa dibawa keluar Baghdad? Dimana istana al-Ma'mun?
Begini, kawan. Memang pusat pemerintahan kaum muslimin di Baghdad. Hanya saja al-Ma'mun gemar berperang melawan kaum kuffar. Bahkan Allah menganugrahinya kepiawaian dalam tehnik, siasat, orator dan komando peperangan. Lihat saja kesombongannya, "Mu'awiyah bin Abi Sufyan butuh 'Amr bin al-'Ash menjadi panglimanya. 'Abdul Malik bin Marwan butuh Hajjaj bin Yusuf menjadi panglimanya. Sedangkan aku, aku hanya butuh diriku sendiri."
Sehingga dia lebih memilih membangun istana baru di tapal batas daerah kaum muslimin di Tarsus dan menyerahkan kepengurusan di Baghdad kepada Ishaq bin Ibrahim.
Sepeninggal al-Ma'mun, khilafah diserahkan kepada al-Mu'tashim. Namun, sungguh kasihan al-Mu'tashim. Dia mengambil penasihat seorang ahli bid'ah bernama Ibnu Abi Duad. Berapa banyak pemimpin yang binasa saat dia mengambil penasihat dari kalangan ahli bid'ah. Dia merusak agama dan dunianya.
Dengan saran Ibnu Abi Duad, al-Mu'tashim memerintahkan Ahmad dibawa kembali ke Baghdad. Tibalah Ahmad di istana al-Mu'tashim.
Oh iya, kawan! Sebelum itu, dalam perjalanan pulang ke Baghdad, perjuangan Ahmad semakin terjal. Dia harus berjuang sendirian. Kawannya dipanggil Allah tabaraka wa ta'ala berpulang. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Kabar baiknya tak se-centi-pun Ahmad mundur dari kancah perjuangan. Bahkan Ahmad semakin merasa harus habis-habisan membela agama. Dia ingin menebus jasa kawannya yang senantiasa memberinya spirit istiqamah. Ba'dallah tentunya. Ahmad tidak ingin mengecewakan kawannya. Segera dia usap air mata dari wajahnya, mengkafani, menyolati, dan menguburkannya. Rahimahullahu Muhammad bin Nuh.
Mengenai kawannya ini, Muhammad bin Nuh, Ahmad berkata, "Tidak pernah aku temui orang yang walaupun masih muda belia namun sangat istiqamah dalam agama kecuali Muhammad bin Nuh."
Tibalah Ahmad di istana al-Mu'tashim. Ahmad melihat al-Mu'tashim dikelilingi para penasihatnya. Benar, kawan, semuanya dari kalangan ahli bid'ah.
"Mendekatlah," kata al-Mu'tashim.
"Sebenarnya aku tak ingin mengusikmu andaikan kau bukan tahanan khalifah sebelumku.
Sudahlah, Ahmad. Buat apa kau keras kepala dengan keyakinanmu itu. Mudah saja urusannya. Kau hanya cukup mengucapkan beberapa kalimat yang ku pinta. Selesai. Lalu aku sendiri yang akan melepaskan belenggu darimu. Aku juga akan sering berkunjung ke rumahmu dengan pasukanku, sebagai rasa hormatku padamu," lanjut al-Mu'tashim merayu.
Dengan tenang Ahmad menjawab, "Aku pun hanya minta satu dalil saja, Amirul Mukminin. Terserah dari al-Qur'an atau hadits. Sehingga aku penuh keyakinan mengucapkannya."
"Jawab permintaannya," seru al-Mu'tashim kepada para penasihatnya.
Para ulama' gadungan itu pun memelintir dalil seenaknya, berdusta atas nama al-Qur'an dan Sunah. Karena memang Ahmad ulama' sejati, mudah saja baginya meluruskan semua dalil yang mereka putar-balikkan maknanya. Hingga mereka semua terbungkam, tak berani berdalil lagi.
Tahu teman-temannya terbungkam, Ibnu Abi Duad segera berkata kepada al-Mu'tashim, "Amirul Mukminin, Wallahi dia ini sesat menyesatkan. Jangan sampai kau tertipu. Mereka inilah para penasihatmu yang terbimbing. Soal agama, serahkan kepada mereka."
Kawan, satu pesanku, hati-hatilah memilih teman. Karena bisa jadi hati nuranimu baik, namun temanmu menggiringmu terlampau jauh dari kebaikan. Al-Mu'tashim sejatinya menyimpan kekaguman kepada Ahmad. Dalam pertemuan tersebut al-Mu'tashim bergumam tentang Ahmad, "Demi Allah, dia itu Ulama. Demi Allah, dia itu ahli fikih.
Aku ingin orang sepertinya duduk di sampingku mendebat orang-orang kafir."
Lalu, al-Mu'tashim menoleh kepada Ahmad dan mengulangi rayuannya, "Sudahlah, Ahmad. Buat apa kau keras kepala dengan keyakinanmu itu. Mudah saja urusannya. Kau hanya cukup mengucapkan beberapa kalimat yang ku pinta. Selesai. Lalu aku sendiri yang akan melepaskan belenggu darimu. Aku juga akan sering berkunjung ke rumahmu dengan pasukanku, sebagai rasa hormatku padamu."
Namun kali ini dengan sedikit mengancam, "Tahukah kau Shalih Rasyidi? Dia adalah guruku, pembimbingku. Sayang dia menyelisihiku tentang keyakinan al-Qur'an. Maka aku suruh dia diseret dan dipenggal."
Ahmad pun menjawab dengan jawaban yang sama. Al-Mu'tashim kembali merayu. Namun seolah rayuannya adalah pupuk yang semakin mengokohkan prinsip Ahmad. Semakin dirayu semakin tak bergeming.
Sampai akhirnya al-Mu'tashim geram dan menyuruh algojonya menyeret ke tempat eksekusi.
Saat digiring ke tempat eksekusi, tiba-tiba saja ada yang menarik baju Ahmad.
"Kenal aku?" tanyanya.
"Tidak," jawab Ahmad.
"Aku Abul Haitsam. Pencuri yang bengis. Tertulis di catatan Amirul Mukminin aku dicambuk 18.000 kali cambukan. Tapi aku berusaha menahan pedihnya cambukan. Padahal dalam rangka mencari dunia menaati syaithan. Sedangkan engkau dalam rangka membela agama menaati Allah. Maka sabarlah! Sabarlah."
Karena kejadian itu, sering Ahmad berdoa, "Ya Allah, ampunilah Abul Haitsam."
Sampailah Ahmad di tempat eksekusi. Ternyata al-Mu'tashim ditemani Ibnu Abi Duad telah berada di sana.
Ctar...!!! Benar-benar gila! Tanpa perasaan!
Ctar...!!! Sakit. Pedih. Namun, Ahmad berusaha mengingat-ingat pesan badui dan kawannya.
Ctar..!!! Tiba-tiba pandangan Ahmad mulai berkunang-kunang samar. Pingsan sesaat, lalu sadar kembali. Benar-benar tak berperasaan.
Ctar..!!! Kawan, andaikan kau di sana, kau tak akan tahan melihat betapa beringasnya algojo mencambuk Ahmad.
Al-Mu'tashim sendiri tak tega. "Sungguh aku telah berbuat dosa kepadanya."
"Tidak, Amirul Mukminin!" tiba-tiba saja Ibnu Abi Duad menyela Amirul Mukminin.
"Kenapa engkau berdosa!? Dia itu kafir. Dia itu musyrik. Pendosa. Kesyirikannya tidak hanya satu." dengan menggebu-gebu Ibnu Abi Duad menyulut amarah al-Mu'tashim.
Benar saja. "Yang keras!!!" teriak al-Mu'tashim kepada algojonya.
Ctar...!!!! Oh...sakit tak tertanggungkan. Sekarang pandangan Ahmad benar-benar hitam. Ahmad baru sadar saat tabib mengambil dagingnya yang mati akibat kejamnya cambukan tadi. Namun karena perihnya terapi sang tabib, Ahmad kembali pingsan.
Di tempat lain, al-Mu'tashim benar-benar menyesali perbuatannya. Biadab. Tak berperi kemanusiaan. Hatinya gundah. Pikirannya kacau. Terlebih saat diberi tahu bahwa Ahmad berkata, "Akan aku tuntut mereka di hadapan Allah tabaraka wa ta'ala." Al-Mu'tashim pucat, takut, dan was-was. Akhirnya dia membebaskan Ahmad.
Dan diriwayatkan bahwa Ahmad berkata, "Aku telah memaafkan semuanya. Kecuali Ibnu Abi Duad dan yang semisal dengannya."
Begitulah, kawan. Semoga sedikit kisah ini bermanfaat bagiku dan bagimu. Keep istiqamah❗️
Dan sedikit bocoran: perjuangan Imam Ahmad belum habis.
Insya Allah, kita lanjutkan lain waktu.
Atau, engkau yang memberi tahuku kisah selanjutnya.
Baarakallahu fiik.
=====*****======
Jazakumullahu khairan atas nasihatmu, kawan. Memang perjuangan mempertahankan keistiqomahan amatlah berat. Dan seperti apa katamu, terkadang kita berusaha menghindar dari penyimpangan A, malah hampir terjatuh dalam penyimpangan B. Berusaha menghindar dari keduanya, hampir terperosok pada penyimpangan C. Belum lagi jiwa yang Ammaratun bis Suu' (memerintahkan kepada kejelekan). Kita sangat butuh akan belas kasih Allah.
Tahun 229 H, khalifah berganti al-Watsiq, walaupun keyakinan resmi negara tidak juga berganti. Bahkan zaman al-Watsiq semakin menjadi-jadi. Dia berani memanggil seluruh kaum muslimin, bertanya satu per satu tentang keyakinan mereka terhadap al-Qur'an. jika menjawab makhluk, dibebaskan. Jika tidak, berbagai bentuk hukuman menanti.
Hanya satu tak dipanggil olehnya. Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Watsiq khawatir kesabaran dan keteguhannya mempengaruhi kaum muslimin.
Maka Imam Ahmad diasingkan dari satu tempat ke tempat lainnya selama beberapa bulan. Hingga akhirnya beliau ditetapkan sebagai tahanan rumah. Tidak boleh keluar, dan tidak boleh menerima tamu.
Sampai akhirnya, Iblis berusaha menggelincirkan Ahmad dari pintu penyimpangan lain. Jika sebelumnya dari pintu pemahaman Jahmiyah, kali ini dari pemahaman Khawarij.
Alkisah, sekelompok ahli fikih Baghdad berusaha menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka ingin mengajak Imam Ahmad menggulingkan kekuasaan al-Watsiq. Mereka yakin apabila Imam Ahmad ikut dalam pasukan mereka, pasti banyak massa kaum muslimin yang ikut bergabung.
"Perkaranya sudah kelewat batas, Imam," bujuk mereka.
"Sudah cukup sampai di sini kedzalimannya. Kami tidak ridha dengan kepemimpinannya. Kami tidak ridha dengan pemerintahannya."
Imam Ahmad jeli. Iblis berusaha merusak akidah kaum muslimin dari pintu lainnya. Ini bukan cara mengingkari kemungkaran yang tepat. Ini bentuk penyimpangan lainnya.
"Ingkari perbuatannya dalam kalbu-kalbu kalian. Jangan sekali-kali kalian melawan penguasa. Jangan kalian patahkan tongkat kaum muslimin. Jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin yang ikut bersama kalian. Pertimbangkan lagi akibatnya. Sabarlah sampai tiba waktunya untuk istirahat, mungkin dengan meninggalnya kalian atau meninggalnya dia terlebih dahulu. Memberontak bukanlah ajaran yang benar. Ini menyelisihi bimbingan Rasul," nasihat Imam Ahmad.
Waktu terus bergulir. Semua cobaan dan fitnah dihadapi Ahmad dengan penuh kesabaran.
Hingga pada tahun 232 H, al-Mutawakkil naik menggantikan al-Watsiq. Allah tolong agama-Nya dengan sebab beliau. Allah tegakkan sunah dengan sebab beliau. Dan Allah tampakkan akidah ahlussunnah dengan sebab al-Mutawakkil setelah sebelumnya ahlussunnah mendapatkan ujian, fitnah, dan cobaan yang sangat dahsyat pada tiga khalifah sebelumnya.
Tercatat pada tahun 234 H, al-Mutawakkil mengumpulkan seluruh alim ulama' untuk membuat tabligh akbar dan dauroh di berbagai tempat dengan tema membantah pemahaman Jahmiyah dan Mu'tazilah, akar pemikiran al-Qur'an adalah makhluk. Juga menanggung biaya kehidupan siapa saja di antara para ulama' yang mau mengadakan muhadharah, kajian, dan tabligh akbar bertemakan tadi.
Suatu ketika ada di antara ahli bid'ah yang ingin memprovokasi al-Mutawakkil. Dia melaporkan bahwa ada pertikaian antara para sahabat dan murid Imam Ahmad dengan sekelompok ahli bid'ah.
Maka dengan tegas al-Mutawakkil berkata,
"Jangan kalian laporkan lagi perihal Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya. Justru seharusnya kalian membantu mereka. Mereka termasuk pemuka umat Muhammad. Sungguh Allah telah mengetahui bagaimana kejujuran Ahmad saat bersabar dan menerima cobaan. Allah telah angkat ilmunya, sepanjang hayatnya dan setelah matinya. Para sahabatnya mereka itulah sahabat sejati yang seharusnya kalian jadikan teman. Aku berkhusnudhan kepada Allah bahwa Dia telah memakaikan Ahmad pakaian ash-Shiddiqin."
Meskipun al-Mutawakkil berjasa besar dalam menolong agama Allah, namun Imam Ahmad tidak pernah melihatnya dan tidak pernah mau menerima pemberian darinya.
Pernah suatu ketika Imam Ahmad mendapat kiriman uang dari al-Mutawakkil.
Syahdan Imam Ahmad menangis dan berkata, "Aku telah selamat dari fitnah mereka. Sampai di akhir hayatku, aku mendapat fitnah yang baru dari mereka."
Imam Ahmad senantiasa berdoa kepada Allah agar tidak dipertemukan dengan al-Mutawakkil. Maka tatkala beliau diberitahu bahwa al-Mutawakkil sangat mencintai dan merindukannya, beliau menganggapnya sebagai fitnah.
Beliau berkata,
"Aku sangat mengharapkan syahid pada fitnah yang lampau. Dan aku pun berharap mati pada fitnah ini."
Kemudian beliau mengepalkan tangannya lantas membukanya seraya berkata,
"Duhai kiranya ruh-ku berada dalam genggamanku, pasti akan aku melepaskannya."
•°•°•°•°•°•
Kawan, apabila engkau benar-benar mengaku mengikuti Rasul, cinta kepada Rasul, seharusnya engkau JANGAN PERNAH MELEMAHKAN DAN MENGGEMBOSI SUNNAH DARI DALAM.
Terlebih saat sunnah benar-benar membutuhkan pertolongan.
Jangan sekali-kali engkau takut ancaman para mubtadi'.
Ingatlah sabda Rasulullah,
"Jangan sampai rasa takut dan seganmu kepada seseorang menghalangimu untuk menyuarakan kebenaran saat kamu melihatnya dan mengetahuinya, atau saat kamu mendengarnya dan mengetahuinya."
Oleh karenanya, apabila Imam Ahmad teringat para ulama' yang menjawab ajakan al-Ma'mun —walaupun dengan alasan terpaksa— karena takut ancamannya, beliau berkata,
"Mereka!!! Andaikan mau bersabar dan benar-benar berjuang untuk Allah, fitnahnya akan cepat berhenti dan tidak akan berlarut-larut. Sayang mereka lemah untuk memperjuangkannya, padahal mereka adalah pemuka kaum muslimin, sehingga al-Ma'mun lancang kepada yang lainnya."
Terkadang Imam Ahmad marah dan dengan nada tinggi beliau berucap sebagai teguran keras kepada para penggembos dakwah,
"Mereka itulah orang yang pertama kali membuat fitnah ini. Mereka itulah orang yang paling bertanggung jawab terhadap fitnah ini."
Lihatlah, kawan, al-Ma'mun sangat bersalah. Ibnu Abi Duad pun sangat bertanggung jawab atas fitnah ini.
Namun Imam Ahmad mengatakan yang paling bertanggung jawab atas fitnah ini adalah para ulama yang tidak mau membantu sunnah, padahal sunnah sangat butuh pertolongan.
Pernah Imam Yahya bin Ma'in —dan beliau adalah salah seorang ulama' yang terpaksa menjawab ajakan al-Ma'mun— datang menjenguk Imam Ahmad di saat beliau akan meninggal dunia. Imam Yahya memberi salam kepada beliau. Namun beliau tidak mau menjawab salamnya. Diulangi lagi oleh Imam Yahya, namun tetap Imam Ahmad tidak mau menjawab salam beliau.
Kawan, tahukah engkau, Imam Ahmad telah bersumpah tidak mau berbicara kepada para ulama' yang menjawab ajakan al-Ma'mun walaupun dengan alasan terpaksa. Sebagai teguran keras kepada mereka dan pembelajaran bagi mereka. Tentu juga untuk kita semua. Imam Yahya berusaha berkali-kali meminta maaf kepada Imam Ahmad. Tetap saja Imam Ahmad tidak mau berbicara kepadanya.
Begitulah, kawan. Pelajaran sangat berharga dari Imam Ahmad yang mengajarkan kepada kita arti pentingnya memperjuangkan sunnah.
Jangan pernah sekali-kali kita merasa lemah menolong sunnah karena takut dengan kekuatan musuh.
Atau jangan sekali-kali kita mundur menolong sunnah karena bermuka manis di hadapan musuh.
Hadapilah.
Dan ketahuilah, semakin engkau berusaha memperjuangkan sunnah, cobaan dan ujian juga akan semakin berat. Dan itu sudah ketetapan dari Allah.
Itulah jalan menuju ke Jannah.
Penuh tantangan dan rintangan.
Akan tetapi Allah akan membantu orang-orang yang mau memperjuangkan sunnah.
Dan barangsiapa yang Allah telah bersamanya, kepada siapa dia akan takut!?
Tahan!
Tahan air matamu karena jalan masih panjang
Jangan kau biarkan air mata mulia mengalir
Diawal jalan, memang terasa berat
Hatimu bergumam, "apa yang akan terjadi padaku?"
Wahai Sunni, jangan bimbang apabila
Sedikit penolong dan ujian datang silih berganti
Ketahuilah, Allah kan senantiasa menolong hamba-Nya
Dan kunci segala urusan kepada-Nya kembali
Ya Allah, ampunilah kami. Rahmatilah kami. Matikanlah kami dan engkau ridha kepada kami. Ya Allah, jauhkanlah kami dari fitnah yang nampak maupun yang tidak nampak.
Sumber Refrensi:
- Siyar A'laamin Nubala'
- Al-Bidayah wan Nihayah
- As-Sunnah lil Khallal
Komplek Ma'had Daarus Salaf Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo
Syabab MDS
Publikasi: WA Salafy Solo || Channel Salafy Solo || Info dan Fawaid https://bit.ly/salafysolo
KOMENTAR